Sebagai
insan religius yang meyakini akan ke Esaan dan kebesaran sang Khalik pencipta
alam semesta ini, maka marilah sejenak kita bersama menundukan kepala seraya
memanjatkan puji dan syukur kehadhirat-Nya, karena pada malam yang berbahagia
ini atas berkat dan rahmat-Nya pula kita dapat bersama hadir dengan suasana
bathin yang dipenuhi oleh rasa kasih dan kedamaian dalam acara “Bersama untuk Indonesia”.
Dan atas kuasa-Nya yang maha tak terbatas jua lah kita bangsa Indonesia masih
diberi kesempatan dan kekuatan untuk menata diri dan memperbaiki kondisi bangsa
yang dilanda krisis nasional karena kealpaan kita semua serta kelalaian para
pemimpin bangsa akan tugas dan tanggung jawab kemasyarakatannya.
Saudara-saudara
yang berbahagia..
Kita
sebagai negara bangsa saat ini tengah dihadapkan pada situasi yang cukup kritis
paska tumbangnya rezim militeristik Orde Baru, meskipun telah terjadi beberapa
kali pergantian rezim, baik itu masa Habibie, Gus Dur maupun sekarang ini masa
pemerintahan Megawati-Hamzah Haz masa kritis ini atau yang kemudian popular
dengan istilah masa transisi tak kunjung menemukan bentuk dan format yang dapat
menjawab kebutuhan kolektif semua komponen bangsa. Berbagai problematika
kebangsaan yang melingkupi kita dimasa transisi ini, diantara lain persoalan
ekonomi, social politik, hukum dan budaya menjadi ancaman nyata bagi eksistensi
kita sebagai sebuah negara bangsa yang berdaulat ditengah pergaulan tata dunia
global. Memang berbagai problem kebangsaan ini tidaklah terjadi begitu saja,
tetapi merupakan persoalan kumulatif sebagai hasil dari proses kebangsaan kita
yang tidak selaras dengan apa yang telah digagas oleh para The Foundhing Fathers
dan cita-cita kebangsan kita yang termaktub dalam tujuan Revolusi 17 Agustus
1945 serta kegagapan kita dalam merespon gerak globalisasi. Namun demikian
tidaklah bijak jikalau kita hanya berhenti pada upaya mencari siapa yang harus
dipersalahkan ataupun berdiam diri dan berpangku tangan memperpanjang
penderitaan masyarakat Indonesia yang tercinta.
Saudara
– saudara sebangsa setanah air..
Sejarah
kebangsaan kita setidaknya mengalami tiga gelombang politik yang cukup
signifikan membentuk wajah Indonesia saat ini. Pertama, adalah pada
saat Indonesia terintegrasi dalam sistem perdagangan global melalui kekuatan
transnasional corporation/VOC milik imperialis Belanda. Masa itu merupakan fase
politik pintu terbuka I. Kedua, adalah fase politik pintu
terbuka II yakni paska pemerintahan Soekarno yang ditandai dengan munculnya
undang-undang penanaman modal asing tahun 1967 yang dikeluarkan oleh
pemerintahan Orde Baru. Dalam politik pintu terbuka II ini, meskipun Indonesia
terintegrasi dalam sebuah sistem ekonomi global yang kapitalistik setidaknya
kita masih memiliki kesempatan untuk mengatur dan mengelola negara sendiri. Ketiga,
pada saat ini kita masuk dalam fase politik pintu terbuka III, fase ini sejalan
dengan jatuhnya Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi. Dalam politik pintu
terbuka III yang mendompleng masa transisi ini, kita secara total terintegrasi
dalam sistem global tanpa punya daya kritis. Globalisasi tanpa kenal ampun
telah memaksa kita untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian, baik dalam sistem moneter
dan ekonomi, politik, sosial budaya maupun hukum kedalam standar-standar
internasional yang dimotori oleh kekuatan modal barat atas nama universalisme.
Lembaga-lembaga internasional seperti halnya IMF, World Bank maupun WTO secara
kritis harus diwaspadai sebagai operator-operator kekuatan globalis yang sangat
berpotensi bekerja untuk menjebak, menciptakan ketergantungan serta menanamkan
hegemoni dan dominasi atas kedaulatan kita. Salah satu hal yang dapat dijadikan
sebagai contoh adalah menguatnya tema mengenai Hak Azasi Manusia dan Demokrasi
menjelang kejatuhan Soeharto, disatu sisi HAM dan Demokrasi adalah sesuatu yang
selama ini menjadi impian kolektif bangsa Indonesia dan dapat membawa kearah
kemajuan, tetapi disisi lain secara kritis dapat dimaknai sebagai bentuk
“paksaan” barat apabila HAM dan Demokrasi ditentukan oleh standar-standar barat
yang secara objektif berbeda dengan Indonesia.
Dalam
gerak sejarah, globalisasi merupakan proses inheren dan akan terus berjalan,
hanya pada saat ini mengalami akselerasi karena revolusi dibidang tekhnologi
informasi dan komunikasi telah merelatifkan sekat ruang dan waktu. Sebagaimana
halnya yang pernah dikatakan oleh Bapak Revolusi kita, Bung Karno, bahwa akan
tiba saat dimana dunia menjadi tidak bersekat/ borderless world dan batas-batas
teritorial ini tidak akan lagi menjadi penghalang bagi hubungan antar modal
maupun negara, maka saat ini adalah saat nyata bagi apa yang pernah diucapkan
oleh beliau. Dalam menghadapi globalisasi berkembang dua sikap yang terpolarisasi
yakni antara kubu yang optimis dan meyakini bahwa globalisasi merupakan
kendaraan untuk mencapai akhir sejarah dan dapat membawa kemajuan bagi
peradaban umat manusia, sementara itu disisi lain adalah kubu yang skeptis
karena justru globalisasi menyajikan persoalan yang baru yakni ketertindasan
dan ketidakadilan global yang meskipun memiliki tampilan lebih manusiawi tetapi
tidak mengurangi derajat kualitasnya. Kita tidak sedang mencoba untuk
berpolemik atau bahkan berdebat antara sepakat atau tidak sepakat terhadap
globalisasi karena globalisasi merupakan paradoks, dan kita saat ini hidup
dalam globalisasi. Mau tidak mau kita harus mempersiapkan diri dan bersikap
kritis sehingga kita tidak hanya menjadi objek dari percaturan dan perubahan
global yang didesain oleh kekuatan modal Transnational Corporations/TNCs maupun
Multinational Corporations/MNCs tetapi kita dapat menjadi aktor dalam
globalisasi.
Saudara
– saudara yang saya hormati…
Transisi
yang sedang berjalan ini dapat kita lewati jika semua komponen bangsa dapat
bersatu padu, bahu membahu dan ikhlas untuk bergotong royong tanpa harus
tercerai berai dalam fasksionalisasi idelogi politik ataupun kepentingan
pragmatis. Beberapa persoalan yang mendesak untuk segara diatasi menurut kami
antara lain, pertama, persoalan ekonomi dan moneter. Ketergantungan
terhadap lembaga donor internasional (IMF/World Bank) maupun negara-negara
donor untuk mendapatkan utang luar negeri pada saat ini dalam fase yang cukup
kronis dan mempengaruhi kemandirian kita sebagai bangsa. Kuantitas utang luar
negeri yang cukup besar tentunya merupakan beban bagi negara dan masyarakat
kita. Hal ini tidak dapat kita selesaikan dengan kebijakan yang bersifat tambal
sulam, tetapi dengan kebijakan yang komprehensif sebagai koreksi total atas
kebijakan lama.
Kedua, adalah penegakan Hukum, hukum
sebagai produk politik bersama antara pemerintah dan DPR tentunya digunakan
untuk menciptakan tertib sosial dan mengatur penggunaan hak dan kewajiban dalam
penyelenggaraan negara. Hukum yang selama ini ditempatkan pada posisi
subordinat dalam struktur kekuasaan negara mengakibatkan penggunaan sumber daya
kekuasaan berlangsung secara sewenang-wenang dan tidak dapat terjangkau oleh
mekanisme sangsi dan hukuman secara tegas dan adil bagi siapapun pelanggarnya.
Sehingga tidak terlalu mengherankan jika para koruptor, pelanggar HAM dan
pelaku kejahatan lainnya dapat berjalan berlenggang kaki secara bebas dan
santai.
Ketiga, adalah persoalan politik, bahwa
sistem politik multi partai merupakan manifestasi dari keinginan untuk
memnciptakan tata politik dan budaya politik yang demokratis dan partisipatoris
dari seluruh komponen masyarakat. Akan tetapi apabila tidak diimbangi oleh
kesiapan infrastruktur dan suprastruktur politik akan menciptakan kemandegan
dan bumerang bagi demokratisasi.
Upaya
membangun kesiapan ini sangat erat terkait dengan segera direalisasikannya
Undang-Undang Pemilu, Susduk DPR dan DPD, Partai Politik dan Undang-undang
tentang Pemilihan Presiden Langsung. Paket Undang-undang Politik ini hendaknya
mengacu pada kepentingan kolektif, proses demokratisasi politik dan itikad
untuk menjaga persatuan dan kutuhan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Keempat, adalah sosial dan budaya, fakta
empirik bahwa selama tiga dekade dibawah kepemimpinan Orde Baru bangsa
Indonesia dipaksa secara represif untuk hidup dalam homogenitas dan doktrin
teritorialisme sempit menyebabkan masyarakat kehilangan kolektif memori dimasa
lalu sebagai bangsa majemuk yang pernah bahu-membahu berjuang untuk membebaskan
negeri ini dari belenggu imperialisme dan kolonialisme. Keragaman pernah
ditafsirkan secara monopolistik oleh kekuasaan sebagai sebuah ancaman bagi
kelanggengan rezim. Tatanan kemapanan yang dibangun diatas kekerasan negara
terhadap masyarakat yang telah runtuh seiring dengan jatuhnya Soeharto membawa
dampak bagi ikatan sosial kemasyarakatan, kohesi sosial itu menjadi retak
ketika bentuk ikatan yang dipaksakan telah dihancurkan melalui gelombang
reformasi. Sehingga untuk itu perlu dibangun kembali sendi-sendi perekat sosial
melalui proses dialogis yang lebih egaliter, manusiawi, dan demokratis.
Dalam
hal budaya, kita sebagai bangsa dapatlah dikatakan kehilangan budaya nasional
kita. Globalisasi tak hanya soal penetrasi ekonomi, politik ataupun hukum
tetapi juga diikuti oleh penetrasi budaya. Kebudayaan tak lagi sebagai kata
benda tetapi lebih dari itu adalah kata kerja. Kebudayaan saat ini merupakan
desain dari kekuatan modal besar yang tentunya digunakan untuk kepentingan
akumulasi modalnya. kebudayaan sebagai kata kerja harus menjadi milik kolektif
kita dan lahir dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Kelima, adalah persoalan pergaulan
internasional, seperti halnya yang termaktup dalam konstitusi dasar kita dan
menjadi landasan filosofif dan historis kemerdekaan kita maka kita mengakui
bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Peran kita dalam pergaulan
internasional secara bebas aktif menjadi pijakan bagi penentuan sikap politik
kita dalam memandang persoalan internasional. Kasus terorisme tak hanya
persoalan internasional semata tetapi juga persoalan kolektif kita. Disatu sisi
terorisme dapat dimaknai sebagai bentuk perlawanan praktis terhadap upaya
dominasi dan hegemoni barat tetapi disisi lain terorisme atas dasar apapun
tidak dapat dibiarkan dan direstui karena berlawanan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan. Terorisme sebagai persoalan global tidak dapat ditangani hanya
dengan mengandalkan kekuatan kekerasan atau militer tetapi perlu ada pendekatan
lain yang lebih dialogis dengan memperhatikan akar-akar persoalan. Hal lain
adalah ketegangan yang terjadi antara Amerika Serikat dan Irak, menurut kami
bahwa persoalan AS versus Irak ini harus tetap diselesaikan dengan cara-cara
damai. Langkah operasi militer Amerika atas Irak merupakan bentuk ekspansi yang
melanggar batas-batas kedaulatan negara.
Saudara
– saudara sebangsa setanah air
Probelamtika
kebangsaan ini dapat kita selesaikan bersama. Sikap saling menyalahkan dan
mencari kambing hitam adalah sikap kekanak-kanakan yang tidak perlu diteruskan.
Para pimpinan politik seharusnya lebih memperhatikan dan mengutamakan
kepentingan bangsa, bukan saling berebut untuk memenangkan kepentingan
pragmatis kelompok. Karena tanpa persatuan dan kerjasama niscaya kita akan
terus berada dalam krisis berkepanjangan
Demikian
beberapa hal yang dapat kami sampaikan. Kami mohon maaf apabila ada hal-hal
yang tidak berkenan. Semoga apa yang kita perjuangkan bersama dapat menjadi
keniscayaan.
Merdeka
!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar