KULIAH BUKAN UNTUK MENCARI IJAZAH..TAPI, UNTUK BELAJAR

"Seribu Orang Tua Hanya Bisa Bermimpi. Tetapi seorang Pemuda Bisa Mengubah Dunia"

"Saat Kita Punya Sedikit saja rasa peduli akan SEKITAR. Disitu Kita telah Memperbaiki Kualitas Pendidikan Negara Kita"

(bernata manalu)

Minggu, 24 Mei 2015

MERDEKA-MAHASISWA PAKKAT

Sebagai insan religius yang meyakini akan ke Esaan dan kebesaran sang Khalik pencipta alam semesta ini, maka marilah sejenak kita bersama menundukan kepala seraya memanjatkan puji dan syukur kehadhirat-Nya, karena pada malam yang berbahagia ini atas berkat dan rahmat-Nya pula kita dapat bersama hadir dengan suasana bathin yang dipenuhi oleh rasa kasih dan kedamaian dalam acara “Bersama untuk Indonesia”. Dan atas kuasa-Nya yang maha tak terbatas jua lah kita bangsa Indonesia masih diberi kesempatan dan kekuatan untuk menata diri dan memperbaiki kondisi bangsa yang dilanda krisis nasional karena kealpaan kita semua serta kelalaian para pemimpin bangsa akan tugas dan tanggung jawab kemasyarakatannya.
Saudara-saudara yang berbahagia..
Kita sebagai negara bangsa saat ini tengah dihadapkan pada situasi yang cukup kritis paska tumbangnya rezim militeristik Orde Baru, meskipun telah terjadi beberapa kali pergantian rezim, baik itu masa Habibie, Gus Dur maupun sekarang ini masa pemerintahan Megawati-Hamzah Haz masa kritis ini atau yang kemudian popular dengan istilah masa transisi tak kunjung menemukan bentuk dan format yang dapat menjawab kebutuhan kolektif semua komponen bangsa. Berbagai problematika kebangsaan yang melingkupi kita dimasa transisi ini, diantara lain persoalan ekonomi, social politik, hukum dan budaya menjadi ancaman nyata bagi eksistensi kita sebagai sebuah negara bangsa yang berdaulat ditengah pergaulan tata dunia global. Memang berbagai problem kebangsaan ini tidaklah terjadi begitu saja, tetapi merupakan persoalan kumulatif sebagai hasil dari proses kebangsaan kita yang tidak selaras dengan apa yang telah digagas oleh para The Foundhing Fathers dan cita-cita kebangsan kita yang termaktub dalam tujuan Revolusi 17 Agustus 1945 serta kegagapan kita dalam merespon gerak globalisasi. Namun demikian tidaklah bijak jikalau kita hanya berhenti pada upaya mencari siapa yang harus dipersalahkan ataupun berdiam diri dan berpangku tangan memperpanjang penderitaan masyarakat Indonesia yang tercinta.
Saudara – saudara sebangsa setanah air..
Sejarah kebangsaan kita setidaknya mengalami tiga gelombang politik yang cukup signifikan membentuk wajah Indonesia saat ini. Pertama, adalah pada saat Indonesia terintegrasi dalam sistem perdagangan global melalui kekuatan transnasional corporation/VOC milik imperialis Belanda. Masa itu merupakan fase politik pintu terbuka I. Kedua, adalah fase politik pintu terbuka II yakni paska pemerintahan Soekarno yang ditandai dengan munculnya undang-undang penanaman modal asing tahun 1967 yang dikeluarkan oleh pemerintahan Orde Baru. Dalam politik pintu terbuka II ini, meskipun Indonesia terintegrasi dalam sebuah sistem ekonomi global yang kapitalistik setidaknya kita masih memiliki kesempatan untuk mengatur dan mengelola negara sendiri. Ketiga, pada saat ini kita masuk dalam fase politik pintu terbuka III, fase ini sejalan dengan jatuhnya Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi. Dalam politik pintu terbuka III yang mendompleng masa transisi ini, kita secara total terintegrasi dalam sistem global tanpa punya daya kritis. Globalisasi tanpa kenal ampun telah memaksa kita untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian, baik dalam sistem moneter dan ekonomi, politik, sosial budaya maupun hukum kedalam standar-standar internasional yang dimotori oleh kekuatan modal barat atas nama universalisme. Lembaga-lembaga internasional seperti halnya IMF, World Bank maupun WTO secara kritis harus diwaspadai sebagai operator-operator kekuatan globalis yang sangat berpotensi bekerja untuk menjebak, menciptakan ketergantungan serta menanamkan hegemoni dan dominasi atas kedaulatan kita. Salah satu hal yang dapat dijadikan sebagai contoh adalah menguatnya tema mengenai Hak Azasi Manusia dan Demokrasi menjelang kejatuhan Soeharto, disatu sisi HAM dan Demokrasi adalah sesuatu yang selama ini menjadi impian kolektif bangsa Indonesia dan dapat membawa kearah kemajuan, tetapi disisi lain secara kritis dapat dimaknai sebagai bentuk “paksaan” barat apabila HAM dan Demokrasi ditentukan oleh standar-standar barat yang secara objektif berbeda dengan Indonesia.
Dalam gerak sejarah, globalisasi merupakan proses inheren dan akan terus berjalan, hanya pada saat ini mengalami akselerasi karena revolusi dibidang tekhnologi informasi dan komunikasi telah merelatifkan sekat ruang dan waktu. Sebagaimana halnya yang pernah dikatakan oleh Bapak Revolusi kita, Bung Karno, bahwa akan tiba saat dimana dunia menjadi tidak bersekat/ borderless world dan batas-batas teritorial ini tidak akan lagi menjadi penghalang bagi hubungan antar modal maupun negara, maka saat ini adalah saat nyata bagi apa yang pernah diucapkan oleh beliau. Dalam menghadapi globalisasi berkembang dua sikap yang terpolarisasi yakni antara kubu yang optimis dan meyakini bahwa globalisasi merupakan kendaraan untuk mencapai akhir sejarah dan dapat membawa kemajuan bagi peradaban umat manusia, sementara itu disisi lain adalah kubu yang skeptis karena justru globalisasi menyajikan persoalan yang baru yakni ketertindasan dan ketidakadilan global yang meskipun memiliki tampilan lebih manusiawi tetapi tidak mengurangi derajat kualitasnya. Kita tidak sedang mencoba untuk berpolemik atau bahkan berdebat antara sepakat atau tidak sepakat terhadap globalisasi karena globalisasi merupakan paradoks, dan kita saat ini hidup dalam globalisasi. Mau tidak mau kita harus mempersiapkan diri dan bersikap kritis sehingga kita tidak hanya menjadi objek dari percaturan dan perubahan global yang didesain oleh kekuatan modal Transnational Corporations/TNCs maupun Multinational Corporations/MNCs tetapi kita dapat menjadi aktor dalam globalisasi.
Saudara – saudara yang saya hormati…
Transisi yang sedang berjalan ini dapat kita lewati jika semua komponen bangsa dapat bersatu padu, bahu membahu dan ikhlas untuk bergotong royong tanpa harus tercerai berai dalam fasksionalisasi idelogi politik ataupun kepentingan pragmatis. Beberapa persoalan yang mendesak untuk segara diatasi menurut kami antara lain, pertama, persoalan ekonomi dan moneter. Ketergantungan terhadap lembaga donor internasional (IMF/World Bank) maupun negara-negara donor untuk mendapatkan utang luar negeri pada saat ini dalam fase yang cukup kronis dan mempengaruhi kemandirian kita sebagai bangsa. Kuantitas utang luar negeri yang cukup besar tentunya merupakan beban bagi negara dan masyarakat kita. Hal ini tidak dapat kita selesaikan dengan kebijakan yang bersifat tambal sulam, tetapi dengan kebijakan yang komprehensif sebagai koreksi total atas kebijakan lama.
Kedua, adalah penegakan Hukum, hukum sebagai produk politik bersama antara pemerintah dan DPR tentunya digunakan untuk menciptakan tertib sosial dan mengatur penggunaan hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan negara. Hukum yang selama ini ditempatkan pada posisi subordinat dalam struktur kekuasaan negara mengakibatkan penggunaan sumber daya kekuasaan berlangsung secara sewenang-wenang dan tidak dapat terjangkau oleh mekanisme sangsi dan hukuman secara tegas dan adil bagi siapapun pelanggarnya. Sehingga tidak terlalu mengherankan jika para koruptor, pelanggar HAM dan pelaku kejahatan lainnya dapat berjalan berlenggang kaki secara bebas dan santai.
Ketiga, adalah persoalan politik, bahwa sistem politik multi partai merupakan manifestasi dari keinginan untuk memnciptakan tata politik dan budaya politik yang demokratis dan partisipatoris dari seluruh komponen masyarakat. Akan tetapi apabila tidak diimbangi oleh kesiapan infrastruktur dan suprastruktur politik akan menciptakan kemandegan dan bumerang bagi demokratisasi.
Upaya membangun kesiapan ini sangat erat terkait dengan segera direalisasikannya Undang-Undang Pemilu, Susduk DPR dan DPD, Partai Politik dan Undang-undang tentang Pemilihan Presiden Langsung. Paket Undang-undang Politik ini hendaknya mengacu pada kepentingan kolektif, proses demokratisasi politik dan itikad untuk menjaga persatuan dan kutuhan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keempat, adalah sosial dan budaya, fakta empirik bahwa selama tiga dekade dibawah kepemimpinan Orde Baru bangsa Indonesia dipaksa secara represif untuk hidup dalam homogenitas dan doktrin teritorialisme sempit menyebabkan masyarakat kehilangan kolektif memori dimasa lalu sebagai bangsa majemuk yang pernah bahu-membahu berjuang untuk membebaskan negeri ini dari belenggu imperialisme dan kolonialisme. Keragaman pernah ditafsirkan secara monopolistik oleh kekuasaan sebagai sebuah ancaman bagi kelanggengan rezim. Tatanan kemapanan yang dibangun diatas kekerasan negara terhadap masyarakat yang telah runtuh seiring dengan jatuhnya Soeharto membawa dampak bagi ikatan sosial kemasyarakatan, kohesi sosial itu menjadi retak ketika bentuk ikatan yang dipaksakan telah dihancurkan melalui gelombang reformasi. Sehingga untuk itu perlu dibangun kembali sendi-sendi perekat sosial melalui proses dialogis yang lebih egaliter, manusiawi, dan demokratis.
Dalam hal budaya, kita sebagai bangsa dapatlah dikatakan kehilangan budaya nasional kita. Globalisasi tak hanya soal penetrasi ekonomi, politik ataupun hukum tetapi juga diikuti oleh penetrasi budaya. Kebudayaan tak lagi sebagai kata benda tetapi lebih dari itu adalah kata kerja. Kebudayaan saat ini merupakan desain dari kekuatan modal besar yang tentunya digunakan untuk kepentingan akumulasi modalnya. kebudayaan sebagai kata kerja harus menjadi milik kolektif kita dan lahir dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Kelima, adalah persoalan pergaulan internasional, seperti halnya yang termaktup dalam konstitusi dasar kita dan menjadi landasan filosofif dan historis kemerdekaan kita maka kita mengakui bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Peran kita dalam pergaulan internasional secara bebas aktif menjadi pijakan bagi penentuan sikap politik kita dalam memandang persoalan internasional. Kasus terorisme tak hanya persoalan internasional semata tetapi juga persoalan kolektif kita. Disatu sisi terorisme dapat dimaknai sebagai bentuk perlawanan praktis terhadap upaya dominasi dan hegemoni barat tetapi disisi lain terorisme atas dasar apapun tidak dapat dibiarkan dan direstui karena berlawanan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Terorisme sebagai persoalan global tidak dapat ditangani hanya dengan mengandalkan kekuatan kekerasan atau militer tetapi perlu ada pendekatan lain yang lebih dialogis dengan memperhatikan akar-akar persoalan. Hal lain adalah ketegangan yang terjadi antara Amerika Serikat dan Irak, menurut kami bahwa persoalan AS versus Irak ini harus tetap diselesaikan dengan cara-cara damai. Langkah operasi militer Amerika atas Irak merupakan bentuk ekspansi yang melanggar batas-batas kedaulatan negara.
Saudara – saudara sebangsa setanah air
Probelamtika kebangsaan ini dapat kita selesaikan bersama. Sikap saling menyalahkan dan mencari kambing hitam adalah sikap kekanak-kanakan yang tidak perlu diteruskan. Para pimpinan politik seharusnya lebih memperhatikan dan mengutamakan kepentingan bangsa, bukan saling berebut untuk memenangkan kepentingan pragmatis kelompok. Karena tanpa persatuan dan kerjasama niscaya kita akan terus berada dalam krisis berkepanjangan
Demikian beberapa hal yang dapat kami sampaikan. Kami mohon maaf apabila ada hal-hal yang tidak berkenan. Semoga apa yang kita perjuangkan bersama dapat menjadi keniscayaan.

Merdeka !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar