KULIAH BUKAN UNTUK MENCARI IJAZAH..TAPI, UNTUK BELAJAR

"Seribu Orang Tua Hanya Bisa Bermimpi. Tetapi seorang Pemuda Bisa Mengubah Dunia"

"Saat Kita Punya Sedikit saja rasa peduli akan SEKITAR. Disitu Kita telah Memperbaiki Kualitas Pendidikan Negara Kita"

(bernata manalu)

Jumat, 23 Oktober 2015

SURAT DARI INDONESIA 2045

[SURAT DARI INDONESIA 2045]
Kawan muda yang baik,
Perkenalkan aku Indonesia 2045. Bagaimana kabarmu? Aku dengar kalian sering marah-marah dengan presiden kalian hari ini. Kenapa dengan dia? Ceritakan padaku. Hmm, senior kalian dulu mungkin akan ditangkap intel kalau marah-marah dengan presiden.
Sekarang kalian bebas ya? Disituasi bebas bolehkah kalian ceritakan apa yang sudah kalian perjuangkan? Bolehkah kalian cerita soal gagasan-gagasan tentang Indonesia? Aku sungguh penasaran, kalian pasti lebih dari Soekarno, Hatta, Semaun, atau Natsir muda kan?
Di masa tak ada sosial media yang memudahkan kalian berjejaring, mereka bisa berkumpul dan berjuang ke masyarakat loh. Ah untuk apa aku ceritakan, handphone kamu pasti lebih banyak informasi perihal mereka.
Tuhkan pasti kalian lebih dari mereka? Soalnya ketika aku ketik “pemuda Indonesia hari ini” yang keluar selalu seks bebas, tawuran, kehidupan malam, cinta-cintaan dan lain-lain. Ceritakan padaku apa persiapan kalian ketika memimpinku? Jangan malu, sampai jarang aku temukan cerita masa muda kalian dengan diriku di mesin google.
Aku dengar para mahasiswa sedang bingung menentukan arah pergerakan. Sebagian tak suka demo, lalu kau bilang ia apatis. Sebagian lagi nyinyir kalau kalian terlalu beromantika dengan masa lalu. Memang gerakan seperti apa yang kalian cari? Ada yang bilang juga kalau gerakan kalian cari-cari eksistensi kelompok. Kok kalian jarang ngobrol atau jangan-jangan memang bermusuhan?
Aku dengar sedang terjadi bencana. Bagiku justru itu ada baiknya. Toh timeline media sosial kalian jadi sesak dengan tagar kabut asap daripada official akun percintaan yang quotes-nya ‘ngena’ banget sama kisah percintaan kalian. Aku dengar kalian sedang nyaman-nyamanya dengan hidup kalian. Permainan apa di-gadget kalian yang lagi digandrungi kalangan muda? Followers media sosial kalian sudah berapa banyak? Hari ini sudah update apa aja? Di mana? Sama siapa? Seru banget ya!
Sekarang, bolehkah kalian dengarkan aku? Usiaku sudah 100 tahun, usia kalian nanti kira-kira 40 – 50 tahun dan akan memimpinku. Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam bukunya Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty menerangkan bahwa kita bisa lihat apakah negara gagal atau tidak diusia dekade 90-100 tahun.
Aku di sini sangat ketakutan. Makanya aku buru-buru menulis surat ini sebagai peringatan untuk kalian, akan dibawa ke mana aku ini? Gagal atau jaya? Sebab hampir jarang aku mendengar kalian berbicara soal aku. Kalian sibuk dengan masa depan kalian masing-masing, padahal masa depan kalian ada pada bagiamana aku.
Aku sempat bersyukur bahwa jumlah kalian nanti akan jauh lebih banyak daripada usia tua. Di situ aku sempat lega karena banyak yang akan mengurusku nanti. Tetapi aku tak pernah bertanya kira-kira yang akan mengurusku nanti manusia yang seperti apa?
Sebab aku cukup kecewa dengan kebanyakan senior kalian hari ini. Semua berada di garda terdepan jika bela negara, tetapi kalau sudah merugikan pribadi atau kelompok nyalinya kendor. Hal ini diperparah dengan kasus korupsi disegala lini, lemahnya kepastian hukum, tumpang tindih antar kepentingan institusi, dan pemimpin-pemimpin politik pun hadir kalau punya bandar. Aku berharap kalian menjadi obat pilu Indonesia ke depan.
Kalau kalian semakin acuh, nangis aku ketakutan. Daron dan Robinson seperti menamparku. Ia bilang negara yang kelembagaan ekonomi-politiknya bersifat ekstraktif yakni dijalankan oleh segelintir elit yang menguras sumber daya negara untuk kepentingan mereka sendiri dan hanya menyisakan sedikit hasil untuk kepentingan rakyat, tinggal menunggu waktu untuk terseret ke dalam jurang kemiskinan, instabilitas politik, dan menjadi negara gagal.
Aku berpesan dengan Indonesia 2015-an, bagaimana calon-calon pemimpinku? Sudah siapkah mereka dengan situasi ini? Lalu ia menjawab, tinggalah mereka menentukan mau ke mana arahnya, sebab sampai pada tataran institusi pendidikan pun disulap bak perusahaan.
Produknya mahasiswa yang bagaiamana?
Produknya mahasiswa yang bagaiamana caranya bisa laku dibeli pasar. Boro-boro memikirkan aku katanya, mereka juga ketakutan, apakah mereka laku dibeli pasar? Ia kadang prihatin, katanya kalian sedang bingung dengan skripsi yang tak kunjung rampung dan gundah kalau-kalau tak mampu mencari nafkah. Aku jadi serba salah menuntut kalian yang macam-macam, jangankan menoleh kepadaku, untuk menatap ke depan saja kalian masih bingung. Tapi kok tidak sesuai dengan kehidupan kalian. Yang kaya makin tinggi diri dengan mengkonsumsi brand terkini agar dibilang trendy, yang miskin malah terlihat sok kaya. Kalian katanya suka sekali hura-hura padahal sebelumnya menghujat pemerintah karena rupiah anjlok, itupun juga tahu dari headline berita. Sebab kalian lebih suka membaca cerita-cerita dramatis di account official padahal tak tahu sumber beritanya. Kalian juga ingin daerahnya berubah, tetapi milih pemimpin masih ‘cap cip cup’. Kalau ada hari nasional seperti hari sumpah pemuda misalnya, buru-buru update quotes agar terlihat peduli. Apa betul gelar agen perubahan itu hanya sampai diujung bibir, tak ada langkah nyata. Kalian juga begitu suka sekali caci maki sana-sini. Semua cela hampir diprotes. Ada lagi tipe kumpulan pemuda yang buat aku bangga karena kontribusinya untuk Indonesia. Tapi kok kalian suka sekali merendahkan kumpulan lain. Organisasi belum terkenal, dikira tak se-level. Minta kerjasama sulitnya bukan main. Katanya kalian menunjunjung sinergitas? Tapi kok kontribusinya berjalan sendiri-sendiri. Atau memang orientasinya popularitas bukan sinergitas? Sebegitunya kah kalian? Aku tak ingin kalian dicap menjadi generasi wacana, generasi marah-marah, generasi kaya kritik namun miskin solusi. Karena kalian dilahirkan oleh revolusi nasional yang berhasil menghalau imperialisme disusul perjuangan menuntaskan revolusi. Mulai dari sekarang, ketika kalian selesai membaca surat ini renungkan dan tanyakan pada diri kalian, mau jadi seperti apa kalian nanti? Mau republik seperti apa yang ingin kamu wariskan? Kawan muda yang baik, calon-calon pemimpinku. Maaf bila kiranya aku menjadi beban kalian. Surat ini aku tulis semata-mata bukan ingin mengganggu kenyamanan kalian. Aku menulis surat ini bukan untuk ambisi-ku pribadi, tetapi ini soal kita, Indonesia. Ini soal masa depan kalian akan jadi seperti apa, agar anak-anak kalian bisa sekolah tinggi, orangtua kalian meninggal dengan bangga karena kesuksesan anaknya, istri kalian tidak akan merongrong karena harga bahan pokok sangat mahal, atau suami kalian tidak akan frustasi karena sulitnya mendapat pekerjaan. Kalian tidak perlu membalas surat ini. Balas saja dengan tindakan. Aku di sini tinggal meneropong dari kejauhan, mengamati gerakan kalian setelahnya. Jikalau memang aku, Indonesia tahun 2045 gagal, setidaknya jadikan bahan pelajaran untuk anak-anak kalian agar tidak seperti kalian. Namun sebaliknya, jika Indonesia tahun 2045 jaya, kalian boleh berbangga, bahwa di era ini kalian tidak tinggal diam, kalian ikut mewariskan Republik yang semakin tegak berdirinya kepada anak dan cucu kalian.