Sebagai negara merdeka,
sudah banyak yang
dicapai dalam kurun enam dasawarsa lebih itu.
Meski belum optimal,
setidaknya dua tujuan utama dari keberadaan suatu negara relatif telah dapat diwujudkan.
Kedua hal itu adalah (1) stabilitas-keamanan dan (2)
kesejahteraan sosial-ekonomi.
Orang
boleh berbeda pendapat mengenai hal ini. Kita,
misalnya, bisa mempersoalkan kualitas, besaran,
atau kedalaman dari dua hal di atas.
Apakah stabilitas-keamanan dan kesejahteraan sosial-ekonomi yang
ada bersifat genuine atau semu?
Apakah kemakmuran yang
kita nikmati itu telah merata terdistribusikan ke
sebagian besar rakyat,
atau masih merupakan kemewahan yang
dinikmati kalangan terbatas?
Apapun jawabannya, satu hal yang
jelas adalah bahwa pada umumnya indikator mengenai kondisi stabilitas-keamanan dan
kemakmuran sosial-ekonomi berkecenderungan progresif—membaik
dari waktu ke waktu. Meski demikian,
harus juga diakui bahwa hal itu bukan tanpa persoalan,
dan yang seringkali malah membuat dahi kita berkerut.
Untuk menyegarkan kembali ingatan kita mengenai perjalanan selama 65
tahun ini, ada baiknya kita melihat beberapa snapshot sejarah secara ringkas.
Ketika kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, apa yang
sekarang ini kita saksikan, baik yang
bersifat fisik maupun non-fisik,
sebagian besar belum ada. Lima
tahun pertama setelah proklamasi kemerdekaan,
negeri ini masih diliputi suasana revolusi. Dari
pertangahan 1945 sampai akhir 1949, Indonesia
disibukkan oleh berbagai peristiwa yang
lahir dari sesuatu yang sebenarnya bertolak-belakang:
keinginan Belanda untuk kembali menjajah di
satu pihak, dan tekad bangsa Indonesia
untuk mempertahankan kemerdekaan di pihak lain.
Dalam situasi seperti itu,
tidak ada yang lebih penting bagi Indonesia
kecuali berjuang untuk mempertahankan eksistensinya sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat. Hal-hal yang
berkaitan dengan tugas atau fungsi dasar negara,
termasuk menciptakan stabilitas-keamanan dan menyejahterakan rakyat,
terpaksa dinomor-duakan. Seluruh perhatian dan enersi dimobilisasi untuk mengusir penjajahan.
Dan hanya dengan tekad “merdeka atau mati,”
sebagaimana tertulis di
banyak tembok pada waktu itu,
pengakuan kemerdekaan dan pemindahan kekuasaan dapat diperoleh.
Suasana cukup melegakan setelah Belanda pergi.
Namun, hal itu tidak lantas membuat segala sesuatu lebih mudah.
Usaha bina-negara (state-crafting) yang
dilakukan oleh para
pendiri republik ternyata bukan perkara gampang.
Ideologi negara dan
undang-undang dasar memang sudah dirumuskan sejak pertengahan 1945—beberapa
bulan sebelum Indonesia merdeka. Meski demikian,
untuk membuat keduanya diterima sebagai pijakan bersama,
sebagai konsensus ideologis dan politis nasional,
kesepakatan antar elite yang lebih luas diperlukan.
Melalui pemilu pertama yang
diselenggarakan pada 1955,
lembaga untuk membicarakan ideologi negara dan
undang-undang dasar dibentuk, yang
diberi nama Dewan Konstituante.
Kurang lebih tiga tahun Konstituante bekerja keras.
Sayang,
tugas utama untuk merumuskan dasar negara dan
konstitusi tak dapat diselesaikan.
Pembilahan ideologis yang tak
terjembatani antara mereka yang menginginkan Islam
atau Pancasila sebagai dasar negara menyebabkan sidang Konstituante mengalami kebuntuan
(deadlock).
Kenyataan ini dijadikan alasan oleh Soekarno,
dengan dukungan tentara,
untuk mengeluarkan dekrit pada Juni 1959.
Peristiwa itu mengembalikan kedudukan Pancasila dan
UUD 1945 sebagai ideologi dan konstitusi kita.
Berakhirnya perdebatan ideologis ini mestinya menjadi momentum
di mana negara bisa menjalankan fungsi dasarnya secara lebih fokus.
Seperti diisyaratkan di atas,
selama satu dasawarsa setelah proklamasi kemerdekaan diakui dan
pemindahan kekuasaan terjadi (1949-1959), perhatian elite politik kita,
terutama yang ada di eksekutif maupun legislatif,
lebih diarahkan untuk merumuskan hal-hal yang bersifat state-crafting.
Ini dimaksudkan agar
aturan-aturan dasar bernegara tertata terlebih dahulu.
Akibatnya, agenda pembangunan yang lebih sistematis, yang
lebih mencerminkan kehendak rakyat, masih banyak yang
terbengkalai.
Apa mau dikata,
periode pasca berakhirnya pergolakan ideologis ini belum juga ditandai oleh kegiatan-kegiatan pembangunan yang
lebih bersifat tangible dan “non-politis.” Alih-alih,
negara masih menjadi ajang rivalitas politik kekuasaan
(power politics), yang
untuk periode ini melibatkan Presiden Soekarno,
tentara, dan partai politik –khususnya PKI.
Sementara itu, apa yang
dilakukan Soekarno tidak banyak membantu.
Sebagai kepala negara, dan terutama tokoh yang paling
berpengaruh, Soekarno lebih memposisikan diri sebagaisolidarity-maker.
Melalui pidato-pidato yang
menggelegar tentang banyak hal –nasakom, manipol-usdek,
nekolim, new emerging forces, gotong royong,
marhaenisme dan sebagainya, ia
ingin meyakinkan publik bahwa perjuangan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia
masih panjang.
Meskipun Indonesia telah merdeka,
kemerdekaan itu hanyalah “jembatan emas.”
Sementara itu, kekuatan neo-kolonialisme tetap mengancam.
Karena itu, menurut Soekarno,
cita-cita Indonesia
harus diperjuangkan secara revolusioner. Rakyat Indonesia
harus bersatu,
harus berani hidup dengan menyerempet-nyerempet bahaya–vivere peri
coloso.
Sebagai tokoh dengan pengalaman panjang dalam memerangi penindasan dan
ke-tidak-adilan, sebagai orator yang
sangat percaya akan kekuatan kata, tema-tema di
atas membuat Soekarno terpana. Namun, pada waktu yang sama,
ia abai—atau setidaknya kurang tertarik—terhadap tanggung-jawabnya
sebagai administratur pemerintahan yang
juga harus mengurusi soal-soal yang
bersifat teknis dan “non-politis.” Di tambah dengan kecenderungan politik yang
autarkik,
semua itu menyebabkan proyek stabilitas politik dan
pembangunan ekonomi tertatih-tatih.
Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika akhir pemerintahan Soekarno
ditandai dengan pendapatan per kapita yang hanya US $
80 dolar, dan inflasi yang mencapai 650 persen.
Buruknya kondisi ekonomi ini dilukiskan oleh Anwar Nasution dengan kalimat:
“production and trade were stagnant, economic infrastructure in disrepair,
public administration had deteriorated, and foreign debts were mounting.”
Ini semua menunjukkan bahwa,
sampai pemerintahan Soekarno jatuh pada 1966,
negara belum berfungsi sebagai agen pembangunan yang
sistematis dan terencana. Kecuali kenyataan sejarah bahwa Indonesia
telah menjadi bangsa merdeka, tak banyak yang
secara material dapat dinikmati oleh rakyat.
Pemerintahan Orde Baru yang lahir pada 1966
dimaksudkan sebagai panasea terhadap situasi sosial-ekonomi dan
politik masa-masa sebelumnya.
Dalam pandangan Presiden Soeharto,
pemerintah perlu menciptakan stabilitas-keamanan.
Dengan itu,
diharapkan situasi menjadi lebih kondusif untuk membangun.
Dalam konteks ini,
dua kebijakan penting segera diambil:
restrukturisasi kehidupan politik dan
mendatangkan ivestasi –termasuk utang.
Dalam banyak hal, keinginan pemerintah untuk mewujudkan dua cita-cita dasar,
yaitu stabilitas-keamanan dan
kemakmuran ekonomi boleh dikatakan cukup berhasil.
Inilah periode di mana Indonesia mulai membangun dengan sungguh-sungguh.
Jalan, jembatan, dam, dan infrastruktur ekonomi lain seperti pelabuhan,
lapangan terbang, mulai dibangun.
Dengan kebijakan ekonomi yang
sesuai serta didukung oleh ketersediaan sumber daya alam yang
melimpah, khususnya minyak, batubara, kayu dan lain sebagainya,
antara pertengahan 1970an sampai awal 1990an Indonesia
mengalami pertumbuhan rata-rata 7 persen.
Karenanya wajar jika pada 1996 pendapatan per
kapita mencapai US $ 1,120, dengan PDB hampir Rp. 400
triliun. Angka-angka ini membuat Bank
Dunia menganggap Indonesia sebagai anak emas dan
calon negara industri baru—sebanding dengan Malaysia dan Thailand.
Meski demikian,
capaian-capaian itu harus dibayar mahal dengan hilangnya kebebasan publik.
Tiga piramida kekuasaan yang terdiri dari Soeharto,
tentara, dan Golkar telah membuat politik dan
ekonomi menjadi kemewahan yang
hanya dinikmati oleh kalangan terbatas.
Partisipasi hanya dimungkinkan sepanjang mengikuti apa yang
didektekan oleh tiga pilar kekuasaan di atas.
Inilah antara lain yang
menyokong krisis 1997, yang memuncak dan
menimbulkan implikasi luas pada 1998, yang
menyebabkan mundurnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan yang
pernah digenggamnya selama 32 tahun. Inilah masa di mana
kita semua kembali pada titik awal—meskipun
bukan tanpa modal yang cukup—untuk menata kehidupan sosial,
ekonomi, politik, hukum dan lain sebagainya.
Mirip dengan suasana tahun-tahun pertama paska kemerdekaan,
kita harus merumuskan kembali cita-cita dan
dengan cara apa hal itu dapat dicapai dengan baik.
Mundurnya pemerintahan Orde Baru
membawa implikasi luar biasa. Ibarat kontak Pandora
yang sudah terbuka, kebebasan menjadi sesuatu yang
sangat menonjol. Lebih dari apapun,
fenomena ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap situasi masa
lampau. Walaupun, terdapat pula maksud baik, yaitu untuk mengoreksi otoritarianisme rezim Orde Baru,
untuk melakukan reformasi terhadap praktik pemerintahan yang
tidak baik. Demikian kuatnya keinginan untuk “berbeda”
dari apa yang telah terjadi di waktu terdahulu,
sampai-sampai kebebasan yang bergulir antara lain ikut melahirkan banyak partai—jumlah
keseluruhan pernah mencapai angka 300-an sebagaimana terdaftar di
Kementrian Hukum dan Perundangan-Undangan di awal tahun
2000-an.
Dalam situasi demikian, tak ada yang
tidak ingin diubah.
Pada tahun-tahun pertama reformasi,
pernah ada keinginan untuk menghindupkan gagasan mengenai Piagam Jakarta.
Jika upaya ini berhasil, maka sila
pertama Pancasila akan berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluknya.” Aspirasi ini gagal diwujudkan sebab hanya didukung suara yang
tidak seberapa. UUD 1945 yang
selama periode pemerintahan Soekarno dan
Soeharto dinilai sakral, sejak 1999
mengalami empatkali perubaran (amandemen)—karena dinilai executive
heavy dan
kurang mengakomodir prinsip-prinsip hak azasi manusia.
Jika hal-hal penting dalam kehidupan bernegara saja berubah,
apalagi turunanya. UU pemilu dan
kepartaian diubah sedemikian rupa,
terutama UU pemilihan presiden,
sehingga menjadi demokratis. Dalam kerangka apa yang
telah disebutkan di atas, cukuplah dikatakan bahwa sejak 1998
Indonesia
menjadi negara demokratis terbesar setelah India dan
Amerika Serikat. Akan tetapi,
hal itu masih lebih bersifat prosedural daripada substansial.
Di banyak segi, hal-hal yang
bersifat substantif justru tidak mengalami perubahan yang
berarti. Bahkan, ada yang
berpendapat bahwa dalam beberapa hal kehidupan sosial-ekonomi dan
politik semakin mengkhawatirkan.
Demokrasi mestinya menjadi instrumen terbaik untuk menghantarkan sebuah negara kepada cita-cita dasarnya.
Jika cita-cita dasar itu adalah terciptanya negara yang
dalam perspektif Jawa “gemah ripah loh jinawi toto
tenterem kerto raharjo”,
maka demokrasi hendaknya menjadi sistem terbaik untuk membawa masyarakat Indonesia
kepada situasi aman dan makmur. Akan tetapi,
rasa-rasanya secara substansial, di luar hal-hal yang
bersifat prosedural, tidak banyak yang
berubah berkaitan dengan kinerja kenegaraan dan
pemerintahan kita.
Berbagai perkembangan menunjukkan bahwa kehidupan politik,
baik dalam konteks nasional maupun regional,
masih sangat bersifat power politics.
Politik dianggap lebih sebagai lapangan kerja,
tempat di mana para pelakunya mencari penghidupan—alih-alih
memperlakukannya sebagai sebuah panggilan mulia (beruf).
Karenanya yang
menjadi pertimbangan dalam memutuskan suatu kebijakan,
dalam merumuskan undang-undang,
bahkan dalam memilih seseorang untuk menduduki jabatan publik,
adalah apa yang menguntungkan diri dan kelompoknya (micro
incentive), bukan kepentingan publik (macro incentive).
Sementara itu, rakyat yang
memilih wakil mereka hanya dianggap penting pada waktu pemilihan.
Itupun banyak diantara mereka yang
bersedia menghargai dukungan yang
diberikan kepada para wakil rakyat dengan uang.
Akibatnya, ketika para calon itu menjadi anggota parlemen,
mereka merasa tidak perlu lagi memperjuangkan kehendak masyarakat pemilih. Inilah anggapan yang
akhir-akhir ini makin mengental terhadap para
wakil rakyat. Dengan keinginan-keinginan yang
mereka ajukan, dari soal dana aspirasi hingga rumah aspirasi,
semuanya dipersepsi hanya untuk kepentingan para
anggota parlemen.
Penilaian ini semakin diteguhkan dengan kinerja legislasi yang
sangat lemah, ketidak-hadiran yang semakin sering, dan
permainan politik kepentingan yang semakin mencolok—seperti
dalam kasus Bank Century dan lain sebagainya.
Bidang penegakan hukum juga tidak kalah mengkhawatirkan kondisinya.
Sudah sering orang
menilai tentang tidak berjalannya penegakan hukum yang
adil, terutama bagi kelompok lemah dan miskin. Terlalu sering kasus penegakan hukum yang
dipersoalkan, akan tetapi kasus-kasus itu tak kunjung berhenti,
dan selalu berulang lagi. Kasus pajak yang
melibatkan sejumlah orang di Direktorat Pajak tak
kunjung bisa menentapkan siapa yang
memberi sogokan.
Begitupala kinerja pemerintah yang
akhir-akhir ini dinilai sangat lemah.
Kasus kompor gas yang meledak hingga kini tak
mendapatkan penanganan yang memadai,
sehingga masyarakat terpaksa mencari jalan keluar sendiri.
Demikian juga adanya tindak kekerasan yang hanya menimbulkan kesan seperti dibiarkan.
Semua itu hanya melanggengkan kesan bahwa setelah 65
tahun merdeka pun Indonesia masih menjadi negara yang
dulu pernah disebut Gunnar Myrdal
sebagai “negara lembek” (the soft state).
Sebenarnya, selama 12
tahun terakhir ini banyak yang sudah diwujudkan.
Kehidupan menjadi lebih bebas dan aturan-aturan dasar yang
ada dinilai lebih demokratis. Tapi,
itu semua hanya sarana—bukan tujuan itu sendiri.
Dengan kehidupan ekonomi-politik yang
kita alami dewasa ini, rasanya jalan masih sangat panjang untuk bisa sampai pada cita-cita sederhana kita,
sebagaimana termaktub dalam preambule UUD 1945.
Itu semua hanya bisa direalisasikan dengan kerja keras dan
sungguh-sungguh. Kebebasan yang tidak terstruktur,
politik kekuasaan yang dijalankan hanya demi kekuasaan itu sendiri hanya akan menjauhkan kita dari apa yang
hampir tujuh dasawarsa lalu digagas dan
dirumuskan oleh para pendiri bangsa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar