MENYEMAI BENIH SEMANGAT BAH SHALAL
Kiai Sahal meninggal pada 24 Januari 2014,
sudah satu tahun kita kehilangan sosok guru bangsa. Peringatan haul pertama
kali ini diadakan pada 14 Januari bertepatan dengan 22 Rabiul Awwal
dengan acara puncak rangkaian tahlil akbar dan khotmil qur’an.
Kiai Sahal terkenal sebagai pencetus fikih
sosial. Keilmuan dan pemikiran inilah yang membawa beliau mendapatkan gelar
doktor Honoris Causa (HC) pada tahun 2003 dalam bidang fikih dari
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Diantara perjuangan Kiai Sahal dalam
mendengungkan fikih sosialnya terkait pendayagunaan zakat untuk pemecahan
problem kemiskinan dan kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Kedua,
pelestarian lingkungan hidup yang harus dijaga. Ketiga, relokasi prostitusi.
Keempat, sikap mendorong persaudaraan islam (ukhwah islamiyyah) terhadap
perbedaan di kalangan umat Islam, seperti organisasi sosial kemasyarakatan
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyyah dan yang lainnya.
Pemikiran ini terlahir dari kampung halaman
tempat beliau tinggal di Kajen Pati, karena ingin mengentaskan kemiskinan
dengan ilmu yang dimilikinya yaitu fikih.
Dengan spesialisasi keilmuan inilah beliau
memantapkan diri untuk menjadi aktivis organisatoris misal Nahdlatul Ulama
(NU), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (P3M), Lembaga Studi Pembangunan (LSP) dan lainnya.
Perjuangan ini tidak terhenti dalam bidang
agama dan kemasyarakatan, hal ini ditambah dalam bidang ekonomi seperti
pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Huda Abadi, bisnis percetakan,
dealer masda motor dan usaha yang lainnya.
Dalam berorganisasi, karir Kiai Sahal dimulai
dari tingkat paling bawah yaitu kecamatan hingga internasional. Tentu fondasi
utama yang tidak dapat ditinggalkan adalah pesantren Maslakul Huda dan
Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) yang beliau asuh. Ketika menjadi
pemimpin PIM terdapat banyak inovasi dan kreasi yang beliau pelopori. Dengan
menggunakan manajemen modern PIM mulai merintis berdirinya madrasah Aliyah,
kalender hijriyyah sebagai kalender akademik hingga pendirian Sekolah Tinggi
Mathali’ul Falah (STAIMAFA) pada tahun 2008.
Nama PIM digunakan mulai tahun 1960 memiliki
arti spirit dinamisme dan progresivisme yang ada dalam perguruan Islam.
Sebelumnya masih menggunakan madrasah, harapannya dengan nama yang baru ini
Mathaliul Falah maju dan berwawasan luas ke depan dalam mempersiapkan kader
umat dan bangsa yang mendalam ilmu agamanya (tafaaqquh fiddin),
professional (sholih) dan menjunjung tinggi aspek ketuhanan.
Dalam mengelola PIM Kiai Sahal tidak
menggunakan cara-cara kekerasan dalam mendidik santrinya. Beliau lebih
mengedepankan bagaimana mengingatkan santrinya menggunakan isyarat tanpa harus
menyakiti santri secara fisik. Namun, metode ini ternyata lebih efektif untuk
mengingatkan santri dibandingkan harus memukul secara fisik.
Belajar Dari Kiai Sahal
Tetapi Sahal adalah Sahal, sekali prinsip
dipegang, ia akan mempertahankanya dengan teguh. Sahal tak bergeming dan terus
berjalan dengan ide-ide besarnya. Hasilnya memang sangat luar biasa. Dengan
kemampuan manajemen keorganisasian yang dipelajarinya, Sahal kemudian mampu
memegang berbagai peranan penting dalam organisasi, khususnya NU. (Kiai Sahal
Sebuah Biografi: 2012)
Kiai Sahal belajar berorganisasi ketika
menuntut ilmu di pesantren Kediri, khususnya ilmu ketatanegaraan dan
keadministrasian. Yang pada waktu itu masih dianggap tabu untuk dipelajari.
Perjuangan tak kenal lelah dan kekonsistenan
Kiai Sahal menunjukkan kualitas yang baik dalam mengelola NU. Sebagai rois amm
syuriyah PBNU memegang teguh khittah 1926. Beliau secara tegas menolak turut
campur dalam dunia perpolitikan. Kita bisa mengikutinya dalam kasus Gus Dur dan
Hasyim Muzadi.
Dengan piawai pula NU dengan fleksibel mampu
memposisikan diri dengan baik ketika salah satu kadernya menjadi presiden
ataupun ketika menjadi calon wakil presiden. Selama 15 tahun memimpin NU Kiai
Sahal tidak pernah berhenti mengingatkan kepada anggota jam’iyyah dan jama’ahnya
akan pentingnya khittah 1926. Ini menjadi tulang punggung NU untuk bergerak
agar bisa dinamis sepanjang zaman.
Tidak hanya piawai dalam berorganisasi beliau
setidaknya memiliki sepuluh kitab yang telah dikarang oleh Kiai Sahal, salah
satunya adalah Thariqatal-Hushul ila Ghayahal-Ushul, kitab ini
bernafaskan ilmu Ushul Fiqh. Bahkan dipakai di pesantren Sarang, Kediri
dan Lirboyo.
Selain itu juga dipakai di madrasah-madrasah
sebagai bahan ajar di Tarim, Yaman. Belum karya lain yang diterbitkan oleh
LKiS, Pustaka Ciganjur, Thoha Putra, Pustaka Firdaus dan penerbit lain, serta
makalah yang tidak dipublikasikan, masih banyak lagi.
Terakhir, beliau juga mendapatkan penghargaan
Tokoh Perdamaian Dunia (1984), Manggala Kencana Kelas I (1985-1986), Bintang
Mahaputra Utama (2000) dan Tokoh Pemersatu Bangsa (2002). Selain itu kita juga
bisa melihat karya tulis, buku dan kitab yang telah beliau sumbangkan dalam
dunia pemikiran Islam. Dari sekian banyak kontribusinya inilah kita bisa
meneladani semangat yang telah dikobarkan oleh Kiai Sahal. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar