KULIAH BUKAN UNTUK MENCARI IJAZAH..TAPI, UNTUK BELAJAR

"Seribu Orang Tua Hanya Bisa Bermimpi. Tetapi seorang Pemuda Bisa Mengubah Dunia"

"Saat Kita Punya Sedikit saja rasa peduli akan SEKITAR. Disitu Kita telah Memperbaiki Kualitas Pendidikan Negara Kita"

(bernata manalu)

Minggu, 24 Mei 2015

Hantu Mitos Gerakan Mahasiswa

PEMAPARAN tentang kondisi mahasiswa hari ini oleh kawan Oki Alex Sartono dan Yoga Prayoga menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut. Dalam tulisannya, Oki menjabarkan realitas yang sangat nyata di depan mata kita, bahwa mahasiswa semakin apatis, semakin masuk ke dalam budaya hedonistis dan pada akhirnya gerakan mahasiswa semakin kehilangan esensi, bahkan peminatnya sama sekali.[1] Di lain pihak, Yoga mengonfirmasi tulisan Oki tersebut dengan menambahkan salah satu penyebab yang (dianggap) membuat mahasiswa demikian, yaitu menjamurnya bimbingan belajar.[2] Dalam tulisan ini, penulis akan turut campur dalam perbincangan tentang mahasiswa tersebut. Tulisan ini secara garis besar akan berangkat dari kritik saya terhadap tulisan Oki dan Yoga dan kemudian memberikan opini tersendiri terkait dengan topik yang sedang diperbincangkan.

Hantu Mitos Gerakan Mahasiswa
Pada tulisan kawan Oki, yang pertama kali dilihat oleh penulis adalah kutipan dari Soe Hok Gie, senior penulis di Jurusan Ilmu Sejarah UI angkatan 1961, mengenai keterlibatan kaum intelektual dalam kondisi masyarakat. Kutipan tersebut secara tidak langsung menjelaskan bahwa kaum intelektual terpisah dari Rakyat dan baru mau turun apabila keadaan sedang mendesak. Pernyataan ini selaras dengan pemikiran Soe Hok Gie mengenai mahasiswa yang dianalogikan sebagai seorang koboy di daerah yang sedang ditindas oleh bandit. Sang koboy tersebut datang ke daerah yang dikuasai bandit yang menindas warga setempat dan berhasil mengalahkan bandit tersebut. Ketika warga menginginkan koboy penyelamat tersebut untuk bertahan di wilayah tersebut dan diangkat sebagai sheriff, ia menolak dan memilih untuk melanjutkan perjalanannya.[3] Analogi ini menegaskan bahwa mahasiswa apabila sudah turun menyelesaikan permasalahan Rakyat, maka harus kembali lagi ke tempatnya berasal, yaitu kampus.
Analogi pengelana jagoan tersebut mirip dengan peran mahasiswa sebagai resi dalam konsep kuasa foedal Jawa menurut tulisan Suryadi Rajab (1991) yang berjudul Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru.[4] Para resi tersebut tinggal di lereng-lereng gunung terpencil sebagai tempat pertapaan, sama seperti mahasiswa yang hidup di kampus, dan baru mau turun ketika ada ketidakberesan yang terjadi di masyarakat beserta kritik sosial kepada penguasa. Mahasiswa dicitrakan sebagai kekuatan moral yang bebas dari kepentingan politik praktis dengan melancarkan kritik sosial. Persamaan ini memperlihatkan bahwa posisi gerakan mahasiswa terpisah dari masyarakat dan hidup sebagai entitas tersendiri, sekaligus memperlihatkan keterasingan gerakan mahasiswa dari gerakan Rakyat lainnya. Keterpisahan tersebut dikuatkan dengan pernyataan Oki, yakni mahasiswa sebagai kaum intelektual dalam hubungannya dengan Rakyat, yang harusnya menjadi kawan sejati dalam berjuang melawan penindasan baru (contohnya: kapitalisme, neoliberalisme), justru dibuang dan dikhianati.
Apa yang dibutuhkan oleh mahasiswa yang berkecimpung di dalam dunia gerakan saat ini, sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai stratak gerakan, adalah menjawab terlebih dahulu dimana posisi mahasiswa dalam masyarakat. Hal ini penting sebab, selama ini, dalam pengamatan yang serba kurang dari penulis, gerakan mahasiswa selalu mengatasnamakan rakyat tanpa jelas betul rakyat mana yang dimaksud. Dalam demonstrasi, yang mana menurut Yoga dipandang sebagai ‘kreasi yang sama sekali tidak kreatif karena gagap dalam berorasi dan paling banter hanya bisa membakar ban’, dapat dengan mudah kita jumpai kalimat-kalimat ‘hidup rakyat Indonesia’ tetapi disaat yang bersamaan rakyat yang diatasnamakannya acuh tak acuh. Rakyat tak mengerti apa yang mahasiswa suarakan, bahkan tidak kurang yang ngedumel melihat mahasiswa-mahasiswa yang hanya bisa memacetkan jalanan. Mungkin hanya tukang es di belakang massa aksi yang bersyukur karena dagangannya dipastikan akan laku, tetapi tetap bukan karena mahasiswa ‘memperjuangkan’ kepentingannya.
Dimanakah posisi mahasiswa dalam masyarakat? Dalam tulisan Oki dan Yoga, mahasiswa diyakini sebagai entitas tersendiri yang berada di atas rakyat. Misalnya, terlihat jelas saat Oki menyatakan bahwa “mahasiswa tidak lagi keinginan untuk ‘blusukan’”, atau saat Yoga mengagung-agungkan mahasiswa ‘zaman baheula’ dengan sebutan ‘golongan cerdik’ pandai, seakan rakyat itu bodoh dan tidak mengerti apapun. Yang paling jelas, saat Oki mengutip ucapan Soe Hok-Gie yang menganggap bahwa mahasiswa ‘harus lepas dari masyarakat yang kacau… Tetapi mereka bertindak jika keadaan mendesak’. Pertanyaannya kemudian yang harus dijawab adalah: bagaimana awal mula pemahaman tentang mahasiswa yang sejenis ini muncul?
Pernyataan-pernyataan tersebut pada dasarnya merupakan turunan dari segala atribut yang menempel pada gerakan mahasiswa selama puluhan tahun: bahwa mahasiswa adalah agen perubahan, pemimpin masa depan, kelas menengah yang menghubungkan antara kepentingan rakyat dan penguasa, agen kontrol sosial dan lain sebagainya. Padahal, kesemua atribut yang menempel pada mahasiswa tersebut tidak lain merupakan sebuah konstruksi sosial yang sengaja diciptakan penguasa, utamanya oleh Orde Baru, dan telah menjadi mitos dalam gerakan mahasiswa. Mitos tersebut pula yang terus menghantui gerakan mahasiswa hingga sekarang dalam keterasingannya dari gerakan rakyat.

Membuang Mitos ke Tempat Sampah
Untuk membahas hal ini, tulisan Suryadi Rajab (1991) berjudul Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru memberikan analisa yang sangat mencerahkan. Dalam tulisan tersebut, Rajab menjelaskan dengan sangat baik bagaimana diskursus gerakan mahasiswa dibangun sedemikian rupa oleh penguasa Orde Baru (bahkan sebelum Orde Baru berdiri) agar sejalan dengan kepentingan politik mereka.
Persepsi dan konsepsi tentang peran sosial yang dimainkan mahasiswa dibentuk dan menguat sejalan dengan menguatnya hegemoni Negara Orde Baru, demikian tulis Rajab. Aksi demonstrasi menuntut Presiden Soekarno turun dari jabatannya yang diorganisir oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) adalah titik berangkat terbangunnya persepsi tentang peran penting mahasiswa dalam gelanggang politik nasional. Memang, pada saat itu di berbagai belahan dunia ketiga sedang berlangsung tren merebaknya aksi-aksi protes yang digalang dari dalam kampus ke pusat kekuasaan. Konteks sosial inilah yang sedikit banyak membentuk persepsi tentang gerakan mahasiswa. Saat Orde Baru mulai terkonsolidasikan, maka muncullah aliansi segitiga antara tentara (khususnya Angkatan Darat), teknokrat, dan mahasiswa. Ketiganya dianggap akan menjadi pelopor modernisasi yang juga sedang melanda berbagai negara di belahan dunia ketiga. Tetapi, aliansi ini tidak bertahan lama setelah KAMI pecah karena perbedaan pandangan tentang apa peran mahasiswa dalam konsolidasi politik selanjutnya. Saat inilah muncul kecenderungan isu kembali ke kampus (yang salah satunya lantang disuarakan oleh Soe Hok-Gie) dan mahasiswa kemudian menemukan peran yang cocok untuknya, yaitu sebagai ‘inteligensia’.
Peran ini dikondisikan oleh suatu diskursus bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan moral, dan bukan gerakan politik. Dalam pandangan ini, protes-protes mahasiswa tidak ada hubungannya sama sekali dengan urusan politik praktis, apalagi bertujuan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Mahasiswa hanya akan turun jika dan hanya jika keadaan sudah mulai kacau, mirip seperti petapa-petapa suci di atas lereng gunung sana.
Persepsi yang dikondisikan ini kemudian juga digunakan oleh Orde Baru untuk menjadikan mahasiswa semacam ‘semi oposisi’, atau bisa juga disebut ‘oposisi bohong-bohongan’. Hal ini berguna bagi Orde Baru untuk menyelamatkan citra mereka di dunia internasional sebagai negara yang demokratis. Sebab, salah satu ciri negara yang demokratis adalah adanya oposisi. Dalam hal ini, Orde Baru sendirilah yang menciptakan oposisinya, yaitu mahasiswa. Sementara gerakan rakyat lainnya dibumihanguskan, gerakan mahasiswa tetap diperbolehkan bersuara. Dalam konteks seperti inilah atribut-atribut tentang gerakan mahasiswa semakin terkonsolidasi dan bersemayam di alam bawah sadar mereka (dan terus menerus direproduksi hingga saat ini). Saat gerakan rakyat lain dibumihanguskan (harus diingat bahwa taktik politik Orde Baru adalah depolitisasi rakyat yang pada masa Soekarno begitu politis dan terorganisir) sementara gerakan mahasiswa masih diperbolehkan bersuara, maka klaim bahwa mahasiswa adalah ‘penyambung lidah rakyat’ tidak bisa tidak harus diterima.
Kritik mahasiswa saat itu diperbolehkan, bahkan diakomodir, hanya sampai pada batas yang diijinkan oleh penguasa dan tidak mengancam stabilitasnya. Misalnya, kritik mahasiswa terkait dengan korupsi, bahkan diakomodir oleh Orde Baru dengan dibentuk ‘Komisi Empat’ atau Komite Anti Korupsi (KAK). Tetapi, saat kritik mahasiswa sudah ‘berada di luar panggung yang ditentukan’, saat kritik sudah mengancam stabilitas politik, maka gerakan mahasiswa tidak segan-segan diberangus oleh Orde Baru. Hal tersebutlah yang kita jumpai dalam Peristiwa Malari yang dilanjutkan dengan kebijakan NKK-BKK.
Dalam uraian singkat tersebut, dapat disimpulkan bahwa segala persepsi yang kita yakini selama ini sebagai identitas mahasiswa sudah sama sekali tidak relevan saat ini dan harus dibuang jauh-jauh ke tempat sampah. Hal ini bukan saja karena alasan bahwa hal tersebut sedikit banyak merupakan hasil dari konstruksi Orde Baru, melainkan juga karena memiliki implikasi yang signifikan bagi perkembangan gerakan mahasiswa ke depan.

Kapitalisme sebagai inti Permasalahan
Baik tulisan kawan Oki dan Yoga menyesalkan budaya konsumerisme sebagai bentuk dari mundurnya gerakan mahasiswa dan intelektualitasnya saat ini, yang disebut sebagai hedonisme oleh Oki dan budaya instan ala bimbel oleh Yoga. Dua hal tersebut memang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan mundurnya intelektualitas mahasiswa saat ini. Konsumerisme yang memunculkan generasi yang hedonis, serta generasi instan yang maunya serba cepat memang menjadi pemandangan hidup generasi muda sekarang. Secara empiris memang fenomena seperti itu yang terlihat, tetapi apabila kita kritis memandang itu semua, maka apa sebenarnya inti dari permasalahan yang melahirkan fenomena tersebut? Tidak salah apabila secara kritis kita memandang bahwa ini semua merupakan dampak dari berkuasanya kapitalisme pada era modern saat ini.
Kapitalisme dapat menghadirkan inovasi yang membuat kebutuhan, bahkan yang tidak penting, menjadi suatu komoditi yang dapat memperkaya kaum modal dengan menghisap tenaga pekerja. Kapitalisme tidak membutuhkan orang yang cerdik pandai, tetapi mereka yang memiliki spesialisasi tertentu yang cocok dengan kebutuhan kapitalisme. Budaya konsumerisme hedonis dan budaya instan merupakan ekses dari kedigdayaan kapitalisme di negeri ini. Kapitalisme yang menyebabkan universitas kini menjadi semacam ‘pabrik’ bagi para calon tenaga kerja (mahasiswa) sebagai komoditi layak jual sebagaimana yang dikatakan oleh Oki. Kapitalisme menciptakan hal yang instan dengan menciptakan bimbingan belajar, sehingga mahasiswa yang harusnya berpikir terstruktur, sistematis dan logis, justru dihancurkan dengan budaya instan yang ingin cepat menuntaskan masalah tanpa perlu usaha keras sebagaimana pendapat Yoga, sehingga kemunduran intelektualitas menjadi hal umum para mahasiswa.
Dengan demikian, secara kritis kita dapat memandang bahwa kapitalisme memang menjadi inti permasalahan bagaimana mahasiswa menjadi mundur dan terbelakang, baik secara gerakan mau pun intelektual. Hal ini dapat terlihat secara empiris dengan munculnya budaya konsumerisme hedonis dan instan yang dengan baik dijelaskan oleh Oki dan Yoga. Pembacaan kritis atas sejarah juga membuktikan, bahwa posisi mahasiswa sebagai agen perubahan, moral forces, iron stock, dan social control (sebagaimana selalu didoktrin kepada mahasiswa baru selama masa orientasi di UI) adalah bentukan dari rezim Orde Baru dan seharusnya sudah harus dibuang ke tempat sampah.
Mahasiswa, sebagaimana Rakyat lainnya seperti buruh, petani, kaum miskin kota, sesunggguhnya adalah korban dari penghisapan kapitalisme itu sendiri. Mahasiswa bukan suatu identitas tersendiri, sebagaimana dikatakan Oki sebagai middle class elite. Mahasiswa adalah masyarakat prakelas yang akan ditentukan kelasnya pada saat ia mulai lulus meninggalkan kampus. Apabila pendapat Oki yang menjelaskan bahwa kampus merupakan ‘pabrik’ tenaga kerja, maka kecenderungan mahasiswa setelah lulus adalah sebagai pekerja juga. Mahasiswa sebagai tenaga kerja terspesialisasi yang tidak harus cerdik, melainkan sesuai dengan kebutuhan kapitalisme.
Maka apa solusinya? Solusi untuk memanusiakan mahasiswa adalah dengan harus menghancurkan apa yang menjadi penyebab intinya, yaitu kapitalisme!*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar