PEMAPARAN
tentang kondisi mahasiswa hari ini oleh kawan Oki Alex Sartono dan Yoga Prayoga menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut. Dalam tulisannya,
Oki menjabarkan realitas yang sangat nyata di depan mata kita, bahwa mahasiswa
semakin apatis, semakin masuk ke dalam budaya hedonistis dan pada akhirnya
gerakan mahasiswa semakin kehilangan esensi, bahkan peminatnya sama sekali.[1] Di lain pihak, Yoga mengonfirmasi tulisan Oki
tersebut dengan menambahkan salah satu penyebab yang (dianggap) membuat
mahasiswa demikian, yaitu menjamurnya bimbingan belajar.[2] Dalam tulisan ini, penulis akan turut campur
dalam perbincangan tentang mahasiswa tersebut. Tulisan ini secara garis besar
akan berangkat dari kritik saya terhadap tulisan Oki dan Yoga dan kemudian
memberikan opini tersendiri terkait dengan topik yang sedang diperbincangkan.
Hantu Mitos Gerakan Mahasiswa
Pada
tulisan kawan Oki, yang pertama kali dilihat oleh penulis adalah kutipan dari
Soe Hok Gie, senior penulis di Jurusan Ilmu Sejarah UI angkatan 1961, mengenai
keterlibatan kaum intelektual dalam kondisi masyarakat. Kutipan tersebut secara
tidak langsung menjelaskan bahwa kaum intelektual terpisah dari Rakyat dan baru
mau turun apabila keadaan sedang mendesak. Pernyataan ini selaras dengan
pemikiran Soe Hok Gie mengenai mahasiswa yang dianalogikan sebagai seorang
koboy di daerah yang sedang ditindas oleh bandit. Sang koboy tersebut datang ke
daerah yang dikuasai bandit yang menindas warga setempat dan berhasil
mengalahkan bandit tersebut. Ketika warga menginginkan koboy penyelamat
tersebut untuk bertahan di wilayah tersebut dan diangkat sebagai sheriff, ia
menolak dan memilih untuk melanjutkan perjalanannya.[3] Analogi ini menegaskan bahwa mahasiswa apabila
sudah turun menyelesaikan permasalahan Rakyat, maka harus kembali lagi ke
tempatnya berasal, yaitu kampus.
Analogi
pengelana jagoan tersebut mirip dengan peran mahasiswa sebagai resi dalam
konsep kuasa foedal Jawa menurut tulisan Suryadi Rajab (1991) yang berjudul Panggung
Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru.[4] Para resi tersebut tinggal di lereng-lereng
gunung terpencil sebagai tempat pertapaan, sama seperti mahasiswa yang hidup di
kampus, dan baru mau turun ketika ada ketidakberesan yang terjadi di masyarakat
beserta kritik sosial kepada penguasa. Mahasiswa dicitrakan sebagai kekuatan
moral yang bebas dari kepentingan politik praktis dengan melancarkan kritik
sosial. Persamaan ini memperlihatkan bahwa posisi gerakan mahasiswa terpisah
dari masyarakat dan hidup sebagai entitas tersendiri, sekaligus memperlihatkan
keterasingan gerakan mahasiswa dari gerakan Rakyat lainnya. Keterpisahan
tersebut dikuatkan dengan pernyataan Oki, yakni mahasiswa sebagai kaum
intelektual dalam hubungannya dengan Rakyat, yang harusnya menjadi kawan sejati
dalam berjuang melawan penindasan baru (contohnya: kapitalisme,
neoliberalisme), justru dibuang dan dikhianati.
Apa
yang dibutuhkan oleh mahasiswa yang berkecimpung di dalam dunia gerakan saat
ini, sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai stratak gerakan, adalah
menjawab terlebih dahulu dimana posisi mahasiswa dalam masyarakat. Hal ini
penting sebab, selama ini, dalam pengamatan yang serba kurang dari penulis,
gerakan mahasiswa selalu mengatasnamakan rakyat tanpa jelas betul rakyat mana
yang dimaksud. Dalam demonstrasi, yang mana menurut Yoga dipandang sebagai
‘kreasi yang sama sekali tidak kreatif karena gagap dalam berorasi dan paling
banter hanya bisa membakar ban’, dapat dengan mudah kita jumpai kalimat-kalimat
‘hidup rakyat Indonesia’ tetapi disaat yang bersamaan rakyat yang
diatasnamakannya acuh tak acuh. Rakyat tak mengerti apa yang mahasiswa
suarakan, bahkan tidak kurang yang ngedumel melihat mahasiswa-mahasiswa yang hanya bisa
memacetkan jalanan. Mungkin hanya tukang es di belakang massa aksi yang
bersyukur karena dagangannya dipastikan akan laku, tetapi tetap bukan karena
mahasiswa ‘memperjuangkan’ kepentingannya.
Dimanakah
posisi mahasiswa dalam masyarakat? Dalam tulisan Oki dan Yoga, mahasiswa
diyakini sebagai entitas tersendiri yang berada di atas rakyat. Misalnya,
terlihat jelas saat Oki menyatakan bahwa “mahasiswa tidak lagi keinginan untuk
‘blusukan’”, atau saat Yoga mengagung-agungkan mahasiswa ‘zaman baheula’ dengan
sebutan ‘golongan cerdik’ pandai, seakan rakyat itu bodoh dan tidak mengerti
apapun. Yang paling jelas, saat Oki mengutip ucapan Soe Hok-Gie yang menganggap
bahwa mahasiswa ‘harus lepas dari masyarakat yang kacau… Tetapi mereka
bertindak jika keadaan mendesak’. Pertanyaannya kemudian yang harus dijawab
adalah: bagaimana awal mula pemahaman tentang mahasiswa yang sejenis ini
muncul?
Pernyataan-pernyataan
tersebut pada dasarnya merupakan turunan dari segala atribut yang menempel pada
gerakan mahasiswa selama puluhan tahun: bahwa mahasiswa adalah agen perubahan,
pemimpin masa depan, kelas menengah yang menghubungkan antara kepentingan rakyat
dan penguasa, agen kontrol sosial dan lain sebagainya. Padahal, kesemua atribut
yang menempel pada mahasiswa tersebut tidak lain merupakan sebuah konstruksi
sosial yang sengaja diciptakan penguasa, utamanya oleh Orde Baru, dan telah
menjadi mitos dalam gerakan mahasiswa. Mitos tersebut pula yang terus
menghantui gerakan mahasiswa hingga sekarang dalam keterasingannya dari gerakan
rakyat.
Membuang Mitos ke Tempat Sampah
Untuk
membahas hal ini, tulisan Suryadi Rajab (1991) berjudul Panggung
Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru memberikan analisa yang
sangat mencerahkan. Dalam tulisan tersebut, Rajab menjelaskan dengan sangat
baik bagaimana diskursus gerakan mahasiswa dibangun sedemikian rupa oleh
penguasa Orde Baru (bahkan sebelum Orde Baru berdiri) agar sejalan dengan
kepentingan politik mereka.
Persepsi
dan konsepsi tentang peran sosial yang dimainkan mahasiswa dibentuk dan menguat
sejalan dengan menguatnya hegemoni Negara Orde Baru, demikian tulis Rajab. Aksi
demonstrasi menuntut Presiden Soekarno turun dari jabatannya yang diorganisir
oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) adalah titik berangkat
terbangunnya persepsi tentang peran penting mahasiswa dalam gelanggang politik
nasional. Memang, pada saat itu di berbagai belahan dunia ketiga sedang
berlangsung tren merebaknya aksi-aksi protes yang digalang dari dalam kampus ke
pusat kekuasaan. Konteks sosial inilah yang sedikit banyak membentuk persepsi
tentang gerakan mahasiswa. Saat
Orde Baru mulai terkonsolidasikan, maka muncullah aliansi segitiga antara
tentara (khususnya Angkatan Darat), teknokrat, dan mahasiswa. Ketiganya
dianggap akan menjadi pelopor modernisasi yang juga sedang melanda berbagai
negara di belahan dunia ketiga. Tetapi, aliansi ini tidak bertahan lama setelah
KAMI pecah karena perbedaan pandangan tentang apa peran mahasiswa dalam
konsolidasi politik selanjutnya. Saat inilah muncul kecenderungan isu kembali
ke kampus (yang salah satunya lantang disuarakan oleh Soe Hok-Gie) dan
mahasiswa kemudian menemukan peran yang cocok untuknya, yaitu sebagai
‘inteligensia’.
Peran
ini dikondisikan oleh suatu diskursus bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan
moral, dan bukan gerakan politik. Dalam pandangan ini, protes-protes mahasiswa
tidak ada hubungannya sama sekali dengan urusan politik praktis, apalagi
bertujuan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Mahasiswa hanya akan turun jika
dan hanya jika keadaan sudah mulai kacau, mirip seperti petapa-petapa suci di
atas lereng gunung sana.
Persepsi
yang dikondisikan ini kemudian juga digunakan oleh Orde Baru untuk menjadikan
mahasiswa semacam ‘semi oposisi’, atau bisa juga disebut ‘oposisi
bohong-bohongan’. Hal ini berguna bagi Orde Baru untuk menyelamatkan citra
mereka di dunia internasional sebagai negara yang demokratis. Sebab, salah satu
ciri negara yang demokratis adalah adanya oposisi. Dalam hal ini, Orde Baru
sendirilah yang menciptakan oposisinya, yaitu mahasiswa. Sementara gerakan
rakyat lainnya dibumihanguskan, gerakan mahasiswa tetap diperbolehkan bersuara.
Dalam konteks seperti inilah atribut-atribut tentang gerakan mahasiswa semakin
terkonsolidasi dan bersemayam di alam bawah sadar mereka (dan terus menerus
direproduksi hingga saat ini). Saat gerakan rakyat lain dibumihanguskan (harus
diingat bahwa taktik politik Orde Baru adalah depolitisasi rakyat yang pada
masa Soekarno begitu politis dan terorganisir) sementara gerakan mahasiswa
masih diperbolehkan bersuara, maka klaim bahwa mahasiswa adalah ‘penyambung
lidah rakyat’ tidak bisa tidak harus diterima.
Kritik
mahasiswa saat itu diperbolehkan, bahkan diakomodir, hanya sampai pada batas
yang diijinkan oleh penguasa dan tidak mengancam stabilitasnya. Misalnya,
kritik mahasiswa terkait dengan korupsi, bahkan diakomodir oleh Orde Baru
dengan dibentuk ‘Komisi Empat’ atau Komite Anti Korupsi (KAK). Tetapi, saat
kritik mahasiswa sudah ‘berada di luar panggung yang ditentukan’, saat kritik
sudah mengancam stabilitas politik, maka gerakan mahasiswa tidak segan-segan
diberangus oleh Orde Baru. Hal tersebutlah yang kita jumpai dalam Peristiwa
Malari yang dilanjutkan dengan kebijakan NKK-BKK.
Dalam
uraian singkat tersebut, dapat disimpulkan bahwa segala persepsi yang kita
yakini selama ini sebagai identitas mahasiswa sudah sama sekali tidak relevan
saat ini dan harus dibuang jauh-jauh ke tempat sampah. Hal ini bukan saja
karena alasan bahwa hal tersebut sedikit banyak merupakan hasil dari konstruksi
Orde Baru, melainkan juga karena memiliki implikasi yang signifikan bagi
perkembangan gerakan mahasiswa ke depan.
Kapitalisme sebagai inti Permasalahan
Baik
tulisan kawan Oki dan Yoga menyesalkan budaya konsumerisme sebagai bentuk dari
mundurnya gerakan mahasiswa dan intelektualitasnya saat ini, yang disebut
sebagai hedonisme oleh Oki dan budaya instan ala bimbel oleh Yoga. Dua hal
tersebut memang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan mundurnya
intelektualitas mahasiswa saat ini. Konsumerisme yang memunculkan generasi yang
hedonis, serta generasi instan yang maunya serba cepat memang menjadi
pemandangan hidup generasi muda sekarang. Secara empiris memang fenomena
seperti itu yang terlihat, tetapi apabila kita kritis memandang itu semua, maka
apa sebenarnya inti dari permasalahan yang melahirkan fenomena tersebut? Tidak
salah apabila secara kritis kita memandang bahwa ini semua merupakan dampak
dari berkuasanya kapitalisme pada era modern saat ini.
Kapitalisme
dapat menghadirkan inovasi yang membuat kebutuhan, bahkan yang tidak penting,
menjadi suatu komoditi yang dapat memperkaya kaum modal dengan menghisap tenaga
pekerja. Kapitalisme tidak membutuhkan orang yang cerdik pandai, tetapi mereka
yang memiliki spesialisasi tertentu yang cocok dengan kebutuhan kapitalisme.
Budaya konsumerisme hedonis dan budaya instan merupakan ekses dari kedigdayaan
kapitalisme di negeri ini. Kapitalisme yang menyebabkan universitas kini
menjadi semacam ‘pabrik’ bagi para calon tenaga kerja (mahasiswa) sebagai
komoditi layak jual sebagaimana yang dikatakan oleh Oki. Kapitalisme menciptakan
hal yang instan dengan menciptakan bimbingan belajar, sehingga mahasiswa yang
harusnya berpikir terstruktur, sistematis dan logis, justru dihancurkan dengan
budaya instan yang ingin cepat menuntaskan masalah tanpa perlu usaha keras
sebagaimana pendapat Yoga, sehingga kemunduran intelektualitas menjadi hal umum
para mahasiswa.
Dengan
demikian, secara kritis kita dapat memandang bahwa kapitalisme memang menjadi
inti permasalahan bagaimana mahasiswa menjadi mundur dan terbelakang, baik
secara gerakan mau pun intelektual. Hal ini dapat terlihat secara empiris
dengan munculnya budaya konsumerisme hedonis dan instan yang dengan baik
dijelaskan oleh Oki dan Yoga. Pembacaan kritis atas sejarah juga membuktikan,
bahwa posisi mahasiswa sebagai agen perubahan, moral forces, iron stock, dan social
control (sebagaimana selalu
didoktrin kepada mahasiswa baru selama masa orientasi di UI) adalah bentukan
dari rezim Orde Baru dan seharusnya sudah harus dibuang ke tempat sampah.
Mahasiswa,
sebagaimana Rakyat lainnya seperti buruh, petani, kaum miskin kota,
sesunggguhnya adalah korban dari penghisapan kapitalisme itu sendiri. Mahasiswa
bukan suatu identitas tersendiri, sebagaimana dikatakan Oki sebagai middle class elite. Mahasiswa adalah masyarakat prakelas
yang akan ditentukan kelasnya pada saat ia mulai lulus meninggalkan kampus.
Apabila pendapat Oki yang menjelaskan bahwa kampus merupakan ‘pabrik’ tenaga
kerja, maka kecenderungan mahasiswa setelah lulus adalah sebagai pekerja juga.
Mahasiswa sebagai tenaga kerja terspesialisasi yang tidak harus cerdik,
melainkan sesuai dengan kebutuhan kapitalisme.
Maka
apa solusinya? Solusi untuk memanusiakan mahasiswa adalah dengan harus
menghancurkan apa yang menjadi penyebab intinya, yaitu kapitalisme!*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar