Beberapa kerajaan
mulai terbentuk dan memerintah tanah Batak sejak tahun 1000 SM di Sianjur
Mula-mula tepatnya di kaki bukit Pusuk Buhit. Kumpulan kerajaan-kerajaan huta
ini berkumpul dalam persemakmuran kerajaan Batak. Mereka ini merupakan turunan
dari kubu Tatea Bulan.
Menurut Uli Kozok,
dalam Aschim Sibeth, The Batak, di tanah Batak telah bermukim kelompok manusia
pemburu, nomadic hunters, di zaman Palaeolithic. Namun ledakan gunung toba
sekitar 75.000 tahun yang lalu telah mengganggu habitat mereka. Ledakan
tersebut mengeluarkan lava dan magma sampai ke Sri Langka dan Selat Bengal.
Peralatan-peralatan
batu yang ditemukan dibawah lapisan-lapisan lava tersebut, setelah digali,
merupakan bukti adanya kehadiran manusia sebelum ledakan tersebut. Namun
diyakini hanya sedikit diantara mereka yang dapat menyelamatkan diri.
30.000 tahun yang
lalu, penduduk pulau ini digoncang dengan ledakan yang kedua. Ledakan tersebut
mengakibatkan terbentuknya pulau Samosir di bekas danau ledakan pertama yang
disebut Tao Toba.
Di pantai timur
Sumatera, Heaps of Seashells yang besar berdiameter 30 m dan dan dalamnya 5 m
telah ditemukan. Peralatan ini sama fungsinya dengan yang ditemukan di Vietnam
dan Malaysia. Ini adalah bukti untuk mengetahui kebiasaan makan populasi zaman
batu saat itu; pemburu, pengumpul dan para nelayan yang disebut budaya Hoabinh.
Juga diketahui
bahwa orang-orang zaman batu tersebut hanya memiliki sedikit persamaan tubuh
dengan penghuni Indonesia yang sekarang. Mereka masuk dalam katagori Ras
Australoid yang menjadi penghuni pertama Indonesia, Melanesia sampai Australia.
Berkulit gelap namun tidak terlalu hitam, rambut keriting, bibir tebal dan
pendek. Mereka inilah yang menjadi populasi asli tanah Toba. Si Raja Batak yang
menjadi leluhur Bangsa Batak diyakini merupakan imigran dari daerah Burma atau
Siam.
Berbeda dengan
sebagain besar populasi Indonesia yang merupakan berasal dari Ras Mongoloid
keturunan Cina Selatan yang bermigrasi. Diyakini pengaruh mongolid juga
mencapai daerah Batak di awal-awal Masehi.
Beberapa suku di
Sumatera seperti Aceh dan melayu belum sampai ke Indonesia sebelum abad ke-2
Masehi. Sedangkan nenek moyang Batak nampaknya telah tinggal di pegunungan
Sumaetra Utara sejak lama, makanya mereka lebih berparas Australoid. Demikian
Uli Kozok.
Kerajaan
Hatorusan Berdiri
Beberapa keturunan
Si Raja Batak mendirikan kerajaan-kerajaan huta, salah satunya Kerajaan
Hatorusan. Kerajaan Hatorusan, didirikan oleh Raja Uti putra Tatea Bulan, mulai
membangun tatanan hidup masyarakat dengan sistem negara teokrasi. Raja Uti
alias Raja Biak-biak merupakan seorang intelektual.
Guru Tatea Bulan
atau disebut juga Toga Datu pernah pergi menemui pamannya (Saudara dari Ibunya)
di Siam. Dia bermaksud meminang paribannya, putri sang Paman/Tulang. Tapi
rencananya tidak berhasil, tidak disebutkan alasannya. Ketika dia kembali ke
kampung halaman, Sianjur Mulamula, dia terkejut dan sangat sedih menemukan
kampung halaman yang ditinggalkannya telah kosong. Ayahnya, Si Raja Batak telah
meninggal dunia.
Sementara itu,
adiknya, Raja Isumbaon telah pindah ke Dolok Pusuk Buhit dekat dengan
Pangururan sekarang ini. Adik bungsunya Toga Laut mengembara dan membuka
wilayah yang sekarang masuk ke Aceh dan bernama Gayo/Alas.
Dia berinisiatif
untuk menemui adiknya; Raja Isumbaon. Di sana dia menetap sementara dan
kemudian kembali ke Sianjur Mula-mula, tempat lahirnya. Dia berusaha bangkit
dari kepedihan hidupnya tersebut dengan menghabiskan waktunya dengan
berkontemplasi dan bekerja; bercocok tanam di sawah. Pada saat-saat itulah dia
bertemu dengan seorang wanita pendatang, yang kesasar, dan mengaku bernama Boru
Sibasoburning Guru. Sibasoburning mempunyai bahasa yang berbeda dengan bahasa
Batak.
Hati tertarik,
mungkin sudah jodoh, keduanya menikah. Hasilnya adalah anak pertama raja
Miok-miok yang disebut sebagai Raja Gumelleng-gelleng, disebut juga raja
Miok-miok atau Biak-biak dengan gelar Raja Uti.
Lahir dengan
kondisi cacat, dengan tangan dan kaki yang lebih pendek dari ukuran normal
bukan menjadi halangan untuk melakoni hidupnya sebagai mana layaknya. Teknologi
metalurgi diduga sudah berkembang dan lazim digunakan di masanya. Raja Uti
mempunyai daya pikir dan kreatifitas yang luar biasa dibandingkan anak normal.
Beberapa alat diciptakannya untuk mengatasi keterbatasan cacat tubuhnya. Dia
berhasil merangkai kain dengan kayu ringan seperti layang-layang besar yang
membuatnya dapat bergelantungan saat layang-layang tersebut terbang. Legenda
sekarang ini mengatakan bahwa Raja Uti mempunyai sayap dan dapat terbang karena
kesaktiannya.
Masyarakat Toga Tatea Bulan saat itu merupakan masyarakat yang berbudaya. Hal ini diyakini karena Guru Tatea Bulan yang juga seorang raja dengan gelar Raja Ilontungan merupakan seorang filosofis. Pemikiran dan ajaran-ajaran Guru termaktub dalam Kitab Pustaha Agong.
Masyarakat Toga Tatea Bulan saat itu merupakan masyarakat yang berbudaya. Hal ini diyakini karena Guru Tatea Bulan yang juga seorang raja dengan gelar Raja Ilontungan merupakan seorang filosofis. Pemikiran dan ajaran-ajaran Guru termaktub dalam Kitab Pustaha Agong.
Kitab ini membahas
cakupan antara lain; Ilmu Hadatuan (Medical dan Metaphysical Science),
Parmonsahon (Art of Self Defence & Strategy-cum-Tactical Science) dan
Pangaliluon (Science of Deceit).
Perkembangan ilmu
pengetahuan saat itu telah membuat kerajaan sangat disegani oleh rakyatnya.
Sementara itu Kubu Toga Sumba dengan Rajanya Isumbaon juga ikut serta berusaha
membangun peradaban.
Bila kubu Tatae Bulan lebih fokus pada hal-hal spiritual dan sosial. Maka kebijakan dan ajaran Raja Isumbaon termaktub dalam Kitab Pustaha Tumbaga Holing mencakup; Harajaon (Political Science or the science about the kingdom), Parumaon (Legislation), Partiga-tigaon (Econimics Science or The Arts of Trading) dan Paningaon (Life Skills or Technology).
Bila kubu Tatae Bulan lebih fokus pada hal-hal spiritual dan sosial. Maka kebijakan dan ajaran Raja Isumbaon termaktub dalam Kitab Pustaha Tumbaga Holing mencakup; Harajaon (Political Science or the science about the kingdom), Parumaon (Legislation), Partiga-tigaon (Econimics Science or The Arts of Trading) dan Paningaon (Life Skills or Technology).
Populasi kerajaan
Hatorusan saat itu membentang dari timur Sumatera sampai barat Sumatera dengan
kota pelabuhannya; Barus dan Singkil di utara mencakup Gayo dan Rao di bagian
selatan.
Teknologi
dan Peradaban Barus
Saat Raja Uti, dan
keturunannya yang dikenal sebagai Pre-Islamic Barus Kings oleh kalangan barat,
memindahkan ibukota kerajaannya ke pesisir, di sinilah ia memperkuat kerajaan
Hatorusan dengan membangun berbagai bandar, seperti Barus. Kota Fansur dan Lobu
Tua merupakan kota-kota penting di Barus. Kota Fansur merupakan kota tertua
karena wilayah ini dulunya merupakan persinggahan bagi penduduk nomaden, karena
adanya pansur-pansur yang berfungsi sebagai pancoran air dari mata air
pegunungan. Sering disebut Pansur dalam bahasa Batak dan Fansur dalam sebutan
orang-orang Arab. Teknologi pembuatan parfum, medis dan pengawetan berkembang
oleh tangan-tangan ahli Batak menjadikan Barus, daerah yang sangat terkenal di
saatnya.
Ajaran paningaon
atau kemampuan untuk kreatif dalam penguasaan teknologi yang diajarkan Guru
Tatea Bulan, memberi dorongan kepada Kerajaan Hatorusan untuk membentuk
golongan profesional di kalangan masyarakat yang menangani segala tuntutan
peralatan. Para tenaga profesional ini telah berpengalaman dan mengkonstruksi
bangunan-bangunan raksasa yang terbuat dari kayu; rumah Batak.
Ilmu-ilmu mengenai
pengolahan logam dan pembuatan berbagai pernik perhiasan yang menjadi primadona
para saudagar yang datang dikembangkan dalam ‘partungkoan’ dan ‘toguan’.
Institusi ini merupakan ruangan besar yang berfungsi sebagai tempat
pembelajaran generasi muda yang ingin menguasasi berbagai pengetahuan.
Raja patik, adalah
profesi pengajar di partungkaon tersebut. Setiap kali para mahasiswa berkumpul
dalam ‘hall’ tersebut, raja patik akan datang dan memulai pengajaran yang
diperlukan. Kurikulum berlaku tidak kaku, jadi setiap saat dan setiap waktu isi
pembelajaran akan berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam kehidupan
sehari-hari, seorang raja patik, juga menjadi pembicara dalam
pertemuan-pertemuan formal dan informal di masyarakat. Untuk forum yang formal
dia menjadi anggota dewan bius. Wilayah pemukiman baru disebut huta dan
jumpulan huta disebut bius. Wewenang raja patik adalah menguasai regulasi dan
hal-hal detail dari kehidupan adat sebuah masyarakat dalam level bius.
Posisinya dalam
sebuah pemerintahan huta dan bius lebih bersifat konsultatif. Dia menjadi
pegarah moral dalam kehidupan sosial masyarakat dan menjadi “walking
encyclopedia” di tengah-tengah komunitasnya
Para mahasiswanya
tersebut sebelumnya menimba ilmu di partungkoan di komunitas masing-masing.
Baik itu yang ada di huta, luat maupun bius. Pembelajaran pada seorang anak
akan dimulai dari keluarganya. Setiap orang akan dibekali orang tuanya filsafat
dasar pendidikan yang disebut Sisia-sia Na Lima atau ‘a five folding teaching’,
yaitu Mardebata (belief in God), Martutur (treasuring kinship realation),
Marpatik (carrying out regulation), Maruhum (respect for law) dan Maradat
(haighly valuing the culture).
Setelah dirasa
cukup dan sudah memahami, si anak akan diarahkan orang tuanya untuk menghadiri
berbagai pertemuan di partungkoan setempat untuk mendengarkan berbagai ajaran
dan pelajaran dari raja patik. Berbagai ajaran dasar yang ada di Pustaha Agong
maupun Pustaha Tumbaga Holing.
Sampai batas waktu
tertentu si anak akan merasa perlu untuk mengembangkan ilmunya, maka dia akan
berinisiatif untuk menghadiri partungkoan yang lebih mendalam dan lebih
bermutu, biasanya ada di huta yang lebih besar.
Tidak semua siswa
mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikannya. Semuanya tergantung hasrat
dan kemampaun ekonominya. Beberapa di antaranya langsung melibatkan diri dalam
masyarakat. Beberapa melanjutkan ilmunya.
Mereka yang
menyukai ilmu kesehatan atau kedokteran sekarang ini akan berusaha menguasai
ilmu hadatuan kepada datu profesional. Tidak mudah mendaftar untuk menjadi
datu, dibutuhkan persyaratan yang ketat, dukungan ekonomi dan berbagai ritual.
Tentunya seorang yang ingin menjadi datu harus menguasai aksara Batak sebagai
medium pembelajaran.
Pada tahap yang
tinggi, dalam bidang hadatuan, ilmu yang dipelajari tidak saja mengenai medis
dan pengobatan semata tapi juga ilmu astronomi, habeguan, parmonsahon, dan
pangaliluon serta ilmu kimia dalam meracik bahan-bahan yang digunakan sebagai
racun.
Mereka yang ingin
bergelut dan berprofesi di Onan akan menguasai ilmu partiga-tigaon dari raja
patik yang menguasainya. Onan adalah pasar ekonomi yang fungsinya tidak hanya
pada kegiatan ekonomi tapi juga arbitrase, penetapan undang-undang, pengumpulan
opini dan penyebaran informasi.
Mereka yang lebih
ingin menjadi tenaga-tenaga ahli di galangan kapal, konstruksi bangunan atau
rumah, pandai besi dan pengolahan logam emas dan perak serta penenunan
kain-kain akan berusaha menguasai ilmu paningaon.
Dalam pembangunan
rumah Batak misalnya, seorang arsitek atau insinyur akan mengatur dan mendesain
bentuk rumah. Profesi insinyur ini disebut ‘panumpan ruma’. Dia harus memiliki
keahlian pembangunan rumah kayu ditambah kemampuan geometri. Karena rumah
tinggal tersebut harus disesuaikan dengan arah dan posisinya.
Selain ini
kemampuan dalam penghitungan dan pengukuran serta ilmu aritmatika dibutuhkan
untuk menyempurnakan bangunan. Seorang arsitek biasanya akan dibantu oleh
beberapa ahli lainnya, seperti desainer pengukir ornamen-ornamen hiasan
bangunan yang disebut panggorga dan juga tentunya bagian pengecatan. Mereka ini
diharuskan untuk menguasai sisi aestetik ornamen dan kompilasi warna-warna yang
dibutuhkan. Warna-warna tersebut harus disesuaikan dengan pemahaman filosofis
yang berkembang saat itu. Dengan demikian para arsitek dan desainer warna
tersebut tidak bekerja sembarangan karena setiap warna mempunyai makna
tersendiri.
Selain itu teknologi pembukaan huta merupakan ilmu pengetahuan yang penting saat itu. Mobilitas warga dalam membuka hunian-hunian baru memerlukan keahlian dalam merancang tata letak kota baru agar layak huni dan aman. Beberapa perlengkapan kampung seperti ‘parik’ yang berfungsi sebagai barikade untuk mempertahankan diri dari musuh harus diletakkan semestinya.
Selain itu teknologi pembukaan huta merupakan ilmu pengetahuan yang penting saat itu. Mobilitas warga dalam membuka hunian-hunian baru memerlukan keahlian dalam merancang tata letak kota baru agar layak huni dan aman. Beberapa perlengkapan kampung seperti ‘parik’ yang berfungsi sebagai barikade untuk mempertahankan diri dari musuh harus diletakkan semestinya.
Salah satu elemen
parik tersebut adalah batu-batu besar yang sulit diangkut bahkan oleh lima
orang sekalipun. Teknik-teknik pegangkutan batu tersebut membutuhkan keahlian
yang tidak mudah. Peletakan ‘harbangan’ sebagai pintu utama ke huta tersebut
juga harus sesuai.
Gedung-gedung
pendukung seperti horja (tempat ritual), tempat pengeringan padi, gudang
penyimpanan besar, tempat bermain anak-anak dan taman membutuhkan desain tata
kota yang sangat rumit. Tempat permainan anak misalnya, adalah lapangan terbuka
yang tanahnya tahan hujan yang membutuhkan pengetahuan dalam komposisi adukan
tanah di lapisan atasnya serta pengukuran ketinggian dari sistem pengairan dan
irigasi penampungan aliran hujan, sehingga tetap nyaman dipakai, tidak menjadi
kubangan lumpur.
Para
sarjana-sarjana Batak pada waktu itu juga mengembangkan teknologi pembuatan
kapal dari apa yang mereka dapatkan dari danau Toba, yaitu pabrik solu yang
menyebar dipinggiran danau tersebut. Solu tersebut tidak saja dipakai sebagai
pengangkutan di atas air, tapi juga mempunyai seni ukiran yang indah di
sisi-sisinya yang memberi keindahan bagi penggunanya. Pengetahuan ini sangat
dibutuhkan dalam perbaikan kapal-kapal asing di galangan kerajaan di Barus.
Teknologi irigasi
persawahan juga menjadi keahlian masyarakat pada waktu itu. Sebuah pengetahuan
yang sangat berguna khususnya saat iklim tidak menentu. Ahli yang menangani
irigrasi tersebut disebut ‘raja bondar’.
Dalam bidang
tekstil, mesin-mesin teksil tradisional saat itu dibuat untuk memanifestasikan
filosofi masyarakat. Kain bukan saja digunakan sebagai pakain tapi juga
menunjukkan keagungan pemahaman atas filsafat kehidupan. Dalam ulos misalnya,
kolaborasi warna-warna tertentu memberikan arti sesuai dengan filsafat Daihan
Na Tolu dan Naga Padoha.
Konsekuensi
kehidupan huta yang semakin ramai dan komplikasi membutuh peralatan-peralatan
domestik untuk mempermudah. Untuk itu beberapa peralatan mulai diciptakan.
Aksesoris yang
berkembang saat itu adalah aneka macam perhiasan, seperti cincin, anting-anting,
tempat penyimpanan sirih yang terbuat dari emas dan sirih tergantung level
sosial pemakainya.
Dalam bidang musik,
dikenal alat ‘tulila’, ‘hasapi’, ‘saga-saga’, ‘tanggetang’, ‘ogung’, ‘oloan’,
‘doal’, ‘panggora’, ‘gordang’, ‘hombung’, ‘sarune’ daln lain-lain. Peralatan
pertanian seperti, ‘gair-gair’, ‘hudali’, ‘ansuan’, ‘ninggala’, ‘auga’, ‘rogo’,
‘sasabi’, ‘guris’ dan sebagainya.
Peralatan dapur,
‘dagu’, ‘sonduk’, ‘seak’, ‘hudon’, ‘poting’ , ‘anduri, ‘hombur-hombur’, ‘sapa’,
‘panutuan’, ‘parburian’, ‘ramboan’, ‘parsisiraan’, ‘tabu-tabu dan lain-lain.
Penyimpanan misalnya, ‘panuhunan’ ‘hadangan’, ‘hajut’, ‘sanihe’, ‘ragian’,
‘harpe’, ‘singkup’ daln lain sebagainya.
Mereka juga
menciptakan peralatan tenun seperti, ‘pipisan’, ‘sorha’, ‘anian’,
‘erdeng-erdeng’, ‘hulhulan’, ‘iran’, ‘pangunggasan’, ‘pamapan,’ ‘pagabe’,
‘pamunggung’, ‘hatulungan’, ‘baliga, ‘balabas’, ‘turak, ‘hasoli’, ‘parsosaan’,
‘songka’, ‘lili’, ‘paniratan’, ‘tipak’ dan sebagainya.
Peralatan lain yang
penting adalah alat-alat tulis, buku-buku yang terbuat dari bambu, peralatan
festival, ‘marusir’ (catur Batak) dan lain sebagainya.
Raja Uti sendiri
merupakan penyayang binatang yang disegani pada zamannya. Sanking banyaknya
koleksi binatang melata dan buas di istananya, membuat pamornya semakin
bertambah di kalangan masyarakat. Kondisinya yang cacat membuatnya lebih banyak
berkurung di istananya di Barus. Dia hanya berkomunikasi kepada
menteri-menterinya untuk urusan kenegaraan. Akibatnya dia jarang tampil
dipublik sehingga mitos dan legenda mengenai raja Utipun semakin sempurna;
sebagai raja yang misterius.
Barus berkembang
menjadi kota pelabuhan yang masyhur karena sudah tersedia tenaga ahli
profesional dalam pembuatan dan perbaikan galangan kapal.
Sumber-sumber
sejarah Yunani, misalnya dari Ptolomeus abad ke-2 SM mengatakan bahwa
kapal-kapal Athena telah singgah di kota ini pada abad-abad terakhir sebelum
tibanya tarikh Masehi. (Abdul Hadi W.M, Hamzah Fansuri; Masalah Tasawuf dan
Puisi-puisinya, Mizan 1995).
Begitu pula
rombongan kapal Fir’aun dari Mesir telah berkali-kali berlabuh di Barus antara
lain untuk membeli kapur barus (kamper), bahan yang sangat diperlukan untuk
pembuatan mummi. Mereka adalah orang-orang Arab pra-Islam Funisia, Kartago yang
sekarang menjadi Libya dan Mesir, Afrika Utara.
Beberapa literatur
mengenai Barus dan pelayaran orang-orang Yunani, Arab, Mesir, Yahudi, India,
Persia, Cina dan lain-lain ke daerah tersebut di antaranya, O. W. Wolters, The
Fall of Srivijaya in Malay History, Itacha: Lund Humpries Publishers Ltd.,
1970.
Yang penting lagi
adalah G. Ferrand, Relation de voyages et textes Geographiques Arabs. Persians
et Turks relatif e l’Extreme-Orient du Ville aux siecles 2 jilid, Paris, 1913;
dan N. J. Krom, Hindoe- Javanesche Geschiedenis (cetakan kedua),
‘s-Gravenhague, 1931.
Juga dapat dibaca
karangan Jane Drakard “An India Ocean Port: Source from the Earlier History of
Barus”, Archipel No. 37-38, 1989 dan L.F. Brakel, “The Birthplace of Hamza
Pansuri”, JMBRAS 42, 2, 1969, h. 206-213.
Ptolomeus
membicarakan Barus sebanyak lima kali di dalam laporannya dengan pandangan
negatif terhadap penduduk pribumi Sumatera, khususnya orang Batak yang
dikatakannya sebagai orang-orang kanibal (Wolters hal. 9; Krom h. 57-59)
Beberapa abad
kemudian hal ini terbukti ketika seorang pedagang Yahudi dari Kairo telah
meninggal di Barus pada paruh pertama abad-13 (Wolters 43). Diduga orang Yahudi
ini berlaku sombong dan semena-mena dan dimakan oleh orang Batak.
Orang-orang India
menyebut Barus sebagai “Warusaka” berarti kota pelabuhan dan Sumatera sebagai Suvarnadvipa-
The Fabulous Island of Gold. Hal ini dikarenakan Kerajaan Hatorusan telah
berkembang tidak hanya menjadi kota pelabuhan penting, tapi kota perkebunan
kamper (disebut juga kapur, kanpur, kampur, kanfer dan kafur) dan industri
logam emas. Barus menjadi pemasok logam emas ke seluruh dunia. Sisa-sisa emas
tersebut masih terdapat di beberapa daerah Batak sekarang ini.
Sementara itu di
pedalaman Batak, Sianjur Mula-mula beberapa kerajaan huta telah berdiri lama.
Tahun 100 SM Kerajaan Batahan Pulo Morsa eksis. Kerajaan ini memakai sistem
raja na opat atau raja berempat yang terdiri; Pulo Morsa Julu, dengan Raja Suma
Hang Deha, Pulo Morsa Tonga, Raja Batahan Jonggi Nabolon, Pulo Morsa Jau dengan
Raja Situan I Rugi-rugi dan Pulo Morsa Jae dengan Raja Umung Bane. Kerajaan ini
bertahan selama 24 keturunan. (Tiurma. L Tobing, Raja Sisingamangaraja XII,
Depdikbud 1981).
Di Kerajaan
Hatorusan, hukum-hukum yang mengatur interaksi sosial masyarakat diatur dalam
berbagai undang-undang secara demokratis (parsagoman). Kumpulan hukum tersebut
tercakup dalam Dalihan Na Tolu dan perjambaran. Untuk menghindari kekacauan
antar wilayah-wilayah kecil di bawah Kerajaan Hatorusan, diciptakan institusi
raja huta dan Pande na Bolon sebagai penasehat keagamaan.
Pada 450 M, daerah
pedalaman Batak, Toba, telah diolah dan dikelola secara luas oleh rakyat
kerajaan tersebut. Mereka yang dominan terutama dari kubu Isumbaon, kelompok
marga Si Bagot Ni Pohan. Di daerah ini bermukim juga kaum Tatea Bulan yang
membentuk kelompok minoritas terutama dari marga Lubis.
Sebagian dari Lubis
terdesak ke luar Toba dan merantau ke selatan. Sebagain lagi menetap di Toba
dan Uluan hingga kini. Di daerah Selatan kelompok marga Lubis harus bertarung
melawan orang-orang Hindu Minang. Mereka kalah. Perantauan berhenti dan mereka
mendirikan tanah Pekantan Dolok di Mandailing yang dikelilingi benteng
pertahanan.
Mereka kemudian
berhadapan dengan penghuni Lobu Tua, Bangsa Tamil berkulit hitam ras Dravidian,
melalui Kepulauan Andaman berkelana sampai daerah muara Sungai Batang Toru.
Orang-orang tersebut tersingkir dan kemudian menetap di hutan-hutan sekitar
Muara Sipongi. Bangsa Tamil beberapa abad kemudian, bermigrasi dari India
Selatan, membonceng perusahaan-perusahaan Eropa dan membentuk Kampung Keling di
Kerajaan Melayu Deli, Medan.
Para pengikut
parmalim menyakini bahwa tahun 497 M atau 1450 tahun Batak, merupakan tahun
kebangkitan pemikiran keagamaan di kepemimpinan Raja-raja Uti. Raja Uti
dinobatkan sebagai Tokoh Spiritual Batak dan Rasul Batak (Abdul Rachmi
Pasaribu, Raja Uti: Tokoh Spiritual Batak, Yayasan Lopian Indonesia, 1996).
Gerakan
Separatis :
Pada 600 M,
komunitas Batak di Simalungun memberontak dan memisahkan diri dari
persemakmuran kerajaan Batak. Mereka mendirikan kerajaan Nagur dengan bentuk
dan identitas yang berbeda. Mereka kemudian tidak mau disebut Batak atau Toba.
Mereka ini keturunan Batak yang bermukim di Tomok, Ambarita dan Simanindo di
Pulau Samosir. Di kemudian hari kerajaan Nagur di tangan orang Batak Gayo
tertransformasi menjadi beberapa kerajaan Islam di Aceh.
Simalungun
merupakan tanah yang subur akibat bekas siraman lava. Siraman lava dan magma
tersebut berasal dari ledakan gunung berapi terbesar di dunia, di zaman pra
sejarah. Ledakan itu membentuk danau Toba. Orang Simalungun berhasil
membudidayakan tanaman, selain padi yang menjadi tanaman kesukaan orang Batak;
Pohon Karet.
Hasil-hasil pohon
karet tersebut mengundang kedatangan ras Mongoloid; orang-orang Cina yang sudah
pintar berperahu pada zaman Dinasti Swi, 570-620 M. Di antaranya Bangsa Yunnan
yang sangat ramah dan banyak beradaptasi dengan pribumi dan suku bangsa
Hokkian, suku bangsa yang dikucilkan di Cina daratan, yang sering menjadi bajak
laut di Lautan Cina Selatan.
Kolaborasi dengan
bangsa Cina tersebut membentuk kembali kebudayaan maritim di masyarakat
setempat. Mereka mendirikan kota pelabuhan Sang Pang To di tepi sungai Bah
Bolon lebih kurang tiga kilometer dari kota Perdagangan. Orang-orang dari
Dinasti Swi tersebut meninggalkan batu-batu bersurat di pedalaman Simalungun.
Pada abad ke-7,
utusan dagang kerajaan Barus Hatorusan berangkat dari Barus menuju ke Cina
membicarakan perdagangan bilateral antara Sumatera dan Cina (Wolters 33).
Sementara itu
laporan Cina yang lain mengatakan bahwa Sriwijaya pada abad ke-7 dan 8
merupakan kerajaan ganda satu diantaranya ialah Barus (Wolters 9). Diyakini
lokasi strategis Barus dan volume perdagangan di wilayah tersebut membuat kerajaan
Hatorusan terlibat dalam pertikaian politik dengan kerajaan Sriwijaya dari
Sumatera Selatan dan Jawa, sehingga saling menganeksasi.
Hubungan Barus
dengan Sriwijaya dibicarakan di dalam kitab Sunda lama “Carita Parahyangan”
yang mengatakan bahwa Barus merupakan daerah taklukan dari Raja Sanjaya, raja
Sumatera dari Sriwijaya yang berkuasa di Jawa dan mendirikan candi Borobudur
(Krom 126).
Sriwijaya memang
pernah menyerbu Barus, namun gangguan dari luar tersebut dapat akhirnya diatasi
sehingga Barus kembali menjadi kota yang padat dengan perdagangan. Perkembangan
pemikiran agama juga berkembang. Saat ini mulai masuk Islam ke Barus. Sulaiman,
seorang pedagang dan penjelajah muslim, pada tahun 851 M memberitakan tentang
adanya penambangan emas dan perkebunan barus (kamper) di Barus (Ferrand 36).
Ahli sejarah
menemukan bukti-bukti arkeologis yang memperkuat dugaan bahwa sebelum munculnya
kerajaan-kerajaan Islam yang awal di Sumatera seperti Peurlak dan Samudera
Pasai, yaitu sekitar abad-9 dan 10, di Barus telah terdapat kelompok-kelompok
masyarakat Muslim dengan kehidupan yang cukup mapan (Dada Meuraxa dalam Ali
Hasymi, Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Indonesia, bandung PT Al
Ma’arif 1987).
Pada 850 M,
kelompok marga Harahap dari Kubu Tatea Bulan, bekas populasi Habinsaran
bermigrasi massal ke arah Timur. Menetap di aliran sungai Kualu dan Barumun di
Padang Lawas. Kelompok ini sangat hobbi berkuda sebagai kendaraan bermigrasi.
Karena ini, dalam
jangka waktu yang singkat, sekitar dua tahun, mereka sudah menguasai hampir
seluruh daerah Padang Lawas antara sungai Asahan dan Rokan. Sebuah daerah
padang rumput yang justru sangat baik untuk mengembangbiakkan kuda-kuda mereka.
Sebagain dari
kelompok marga ini, melalui Sipirok, menduduki daerah Angkola dan di sini
tradisi mengembala dan menunggang kuda hilang, mereka kembali menjadi komunitas
agraris. Sementara di Padang Lawas mereka menjadi penguasa feodalistik dan
mulai memperkenalkan perdagangan budak ke Tanah Batak Selatan.
Sementara itu pada
900 M, marga Nasution mulai tebentuk di Mandailing. Beberapa ratus tahun
sebelumnya, perbauran penduduk dengan pendatang sudah menjadi tradisi di
beberapa tempat, khusunya yang di tepi pantai.
Penduduk dataran
tinggi, para pendatang di pelabuhan Natal dan Muaralabu (dikenal dengan sebutan
Singkuang atau Sing Kwang oleh ejaan Cina), dan terutama elemen-elemen bangsa
Pelaut Bugis dari Sulawesi, yang singgah sebelum berlayar berdagang menuju
Madagaskar, telah berasimilasi dengan penuh toleransi dengan bangsa Batak.
Para pendatang
tersebut dengan sukarela interaksi dan menerima adat Dalihan Natolu agar dapat
mempersunting wanita-wanita setempat setelah puluhan tahun di tengah laut. Datu
Nasangti Sibagot Ni Pohan dari Toba, seorang yang disegani saat itu, menyatukan
mereka; campuran penduduk peribumi dan pendatang tersebut, membentuk marga
Nasution.
Sementara itu
perebutan kekuasaan terjadi, Martua Raja Doli dari Sianjur Sagala Limbong
Mulana (Sianjur Mula-mula) dengan pasukannya merebut wilayah Lottung di Samosir
Timur. Percampuran keduanya membentuk kelompok Marga Lottung Si Sia Marina,
yang terdiri atas; Situmorang, Sinaga, Nainggolan, Pandiangan, Simatupang,
Aritonang dan Siregar.
Ibnu Rustih kurang
lebih pada tahun 900 M menyebut Fansur, nama kota di Barus, sebagai negeri yang
paling masyhur di kepulauan Nusantara (Ferrand 79). Sementara itu tahun 902,
Ibn Faqih melaporkan bahwa Barus merupakan pelabuhan terpenting di pantai barat
Sumatera (Krom 204).
Kemasyhuran Barus
juga mengundang imigran asing bermukim dan berdagang serta menjadi buruh di
beberapa sentral industri. Sebuah inskripsi Tamil bertarikh 1088 M dari zaman
pemerintahan Kulottungga I (1070-1120) dari kerajaan Cola menyebut Barus
terletak di Lobu Tua, dan banyak orang Tamil tinggal di kota ini sebagai
saudagar dan pengrajin (Krom 59-60).
Pada 1050 M, karena
minimnya peralatan medis, epidemik melanda daerah Lottung kembali. Masyarakat
Lottung Si Sia Marina berhamburan ke luar dari wilayah tersebut menuju daerah
yang “sehat”. Akibatnya, kelompok Marga Siregar terpecah dua menjadi Siregar
Sigumpar dan Siregar Muara, keduanya bermukin di Toba.
Sementara itu pada
1293 – 1339 M, Penetrasi orang-orang Hindu yang berkolaborasi dengan Bangsa
Jawa mendirikan Kerajaan Silo, di Simalungun, dengan Raja Pertama Indra Warman
dengan pasukan yang berasal dari Singosari. Pusat pemerintahan teokrasi ini
berkedudukan di Dolok Sinumbah. Kelak direbut oleh orang-orang Batak dan di
atasnya menjadi cikal bakal kerajaan-kerajaan Simalungun dengan identitas yang
mulai terpisah dengan Batak. Kerajaan Silo ini terdiri dari dua level
masyarakat; Para Elit yang terdiri dari kaum Priyayi Jawa dan Masyarakat yang
terdiri dari kelompok Marga Siregar Silo.
Akibat berbagai
rongrongan dan berbagai gempuran dari arah selatan seperti Sriwijaya dan
Kerajaan Hindu/Budha Pagarruyung, kerajaan Hatorusan memindahkan ibukotanya ke
Aceh Singkil. Pasukan Hatorusan memperketat posisi kerajaan dengan modernisasi
peralatan. Gajah, kuda dan binatang-binatang buas lainnya dijadikan sebagai
alat bantu kavaleri dan pengawal istana. Oleh karena itu Dinasti Uti terkenal
angker berkat kehadiran Gajah-gajah dan binatang-binatang buas di sekitar
istananya.
Barus saat itu
tetap dipertahankan sebagai kerajaan kota perdagangan dengan pimpinan sultan
lokal yang bertanggung jawab kepada pusat kerajaan.
Pada abad-13 Ibnu
Said membicarakan peranan Barus sebagai pelabuhan dagang utama untuk wilayah
Sumatera (Ferrand 112). Marco Polo mengunjungi Sumatera pada tahun 1292, dan
menulis bahwa Barus merupakan sebuah kerajaan, yang agak tergantung kepada
Cina, tetapi merupakan pelabuhan rempah-rempah yang penting dan memiliki
otonomi (Krom 339).
Prapanca, seorang
pujangga Majapahit abad ke-14, yang masyhur mengatakan di dalam Negara
Kertagama bahwa Barus merupakan salah satu negeri Melayu yang penting di
Sumatera. Negeri Barus menjadi terkenal karena masyarakat Batak di Sumatera
saat itu, Batak Pesisir, menggunakan bahasa Melayu sebagai Lingua Franca.
Pada 1350, kelompok
Marga Siregar bermigrasi ke Sipirok di Tanah Batak Selatan. Sementara itu
antara tahun 1416 – 1513 M, pasukan Cina dibawah komando Laksamana Haji Sam Po
Bo, Ceng Ho, dalam armada kapal induk mendarat di Muara Labuh di muara Sungai
Batang Gadis. Salah satu misi mereka yakni mengejar para bandit Hokkian
tercapai. Sebelum berangkat kembali menuju tujuan mereka, pasukan Cengho yang
berjumlah ribuah itu mendirikan industri pengolahan kayu dan sekaligus membuka
pelabuhan Sing Kwang (Singkuang=Tanah Baru).
Di tahun 1416-1513
M, orang-orang Tionghoa yang beragama Islam mulai berdatangan ke Sing Kwang dan
berasimilasi dengan penduduk khususnya kelompok marga Nasution. Para Tionghoa
tersebut membeli Kayu Meranti dari pengusaha setempat dan mengirimkannya ke
Cina daratan untuk bahan baku tiang istana, kuil dan tempat ibadah lainnya.
Di pedalaman Batak
pada tahun 1450-1500 M, Islam menjadi agama resmi orang-orang Batak Toba,
khususnya dari kelompok marga Marpaung yang bermukim di aliran sungai Asahan.
Demikian juga halnya dengan Batak Simalungun yang bermukim di Kisaran,
Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjung Kasau, Bedagai, Bangun Purba dan Sungai
Karang.
Antara tahun
1450-1818 M, kelompok marga Marpaung menjadi supplaier utama komoditas garam ke
Tanah Batak di pantai timur. Mesjid pribumi pertama didirikan oleh penduduk
setempat di pedalaman Tanah Batak; Porsea, lebih kurang 400 tahun sebelum
mesjid pertama berdiri di Mandailing. Menyusul setelah itu didirikan juga
mesjid di sepanjang sungai Asahan antara Porsea dan Tanjung Balai. Setiap
beberapa kilometer sebagai tempat persinggahan bagi musafir-musafir Batak yang
ingin menunaikan sholat. Mesjid-mesjid itu berkembang, selain sebagai termpat ibadah,
juga menjadi tempat transaksi komoditas perdagangan.
Di Lain pihak,
sejak orang-orang Sriwijaya datang, Barus telah mempunyai hubungan politik dan
dagang yang lebih kuat dengan beberapa kerajaan Hindu di Jawa.
Namun kedatangan
orang-orang tersebut juga mengundang niat-niat yang tidak baik. Abad 13, 14,
dan 15 merupakan abad peperangan di Barus.
Abad 13,
orang-orang Sriwijaya datang menyerang Barus disusul penyerbuan Majapahit pada
abad 14 dan invasi orang-orang Minangkabau pada abad 15.
Namun masuknya
gelombang pedagang dan saudagar ke Barus mengakibatkan penduduk lokal Batak di
lokasi tersebut; Singkil, Fansur, Barus, Sorkam, Teluk Sibolga, Sing Kwang dan
Natal memeluk Islam setelah sebelumnya beberapa elemen sudah menganutnya.
Walaupun begitu, mayoritas masyarakat Batak di sentral Batak masih menganut
agama asli Batak.
Kelompok Marga
Tanjung di Fansur, marga Pohan di Barus, Batu Bara di Sorkam kiri, Pasaribu di
Sorkam Kanan, Hutagalung di Teluk Sibolga, Daulay di Sing Kwang merupakan komunitas
Islam pertama yang menjalankan Islam dengan kaffah.
Dominasi komunitas
muslim marga Hutagalung dalam bidang ekonomi di Tanah Batak terjadi antara
1513-1818 M. Komunitas Hutagalung dengan karavan-karavan kuda menjadi komunitas
pedagang penting yang menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan Pahae.
Pada abad ke-16 ini marga Hutagalung mendirikan mesjid lokal kedua di
Silindung.
Perkembangan
Baru:
Beberapa perubahan
konstalasi politik terjadi di pedalaman Batak. Ompu Tuan Doli, Raja yang
memerintah di Luat Sagala Limbong, yang mempunyai dua orang anak, meninggal
dunia.
Anak pertama
bernama Datu Dalung alias Rimbang Saudara atau Maima yang dikenal dengan
sebutan Erha Ni Sang Maima sementara anak yang kedua Datu Pulungan.
Sang Raja mendidik
anak-anaknya dengan baik. Segala kesaktian dan kekuatan magisnya diajarkan
kepada anak-anaknya secara merata. Semua pangeran-pangeran calon penerus raja
diperlakukan dengan adil dan sama rata. Kehidupan mereka berlangsung harmonis
dengan bimbingan sang ayah.
Akan tetapi
pertikaian mulai muncul saat wafatnya raja. Anak-anaknya mulai mempermasalahkan
siapa yang paling berhak menjadi penerus tahta. Namun sesuai dengan ketentuan
konstitusi adat yang mengatur suksesi politik, Sang Maima sebagai anak sulung
terpilih menjadi Raja.
Namun kedua
bersaudara, beserta keturunanya, beberapa dekade kemudian bersepakat untuk
meninggalkan Luat Sagala Limbong, wilayah yang mereka tempati selama ini.
Tidak disebutkan
alasan khusus mengapa migrasi ini dilakukan. Namun dapat dipastikan dalam
sejarah Batak, faktor-fator migrasi adalah di antaranya; Pandemi kolera (ini
yang sering yang terjadi), peperangan, ekonomi dan perluasan wilayah.
Datu Pulungan
dengan kerabatnya bermigrasi ke Silindung dan diteruskan sampai wilayah
Mandailaing. Di Mandailing mereka bermukim. Sementara itu Datu Dalu dan para
turunannya memilih untuk bermigrasi ke arah barat. Sebagian menuju Lobu Tua
mengikuti para leluhur mereka yang terlebih dahulu berdomisili dan menjadi
penguasa di sana; Sebagaimana Raja Uti, mereka ini juga berasal daru kubu Tatae
Bulan. Di antara mereka yang turut pindah adalah Datu Negara yang dikenal
dengan Manande Uhum dan Datu Tenggara alias Parubahaji.
Dalam konstalasi
politik berikutnya, di pesisir Barat Sumatera, terjadi persaingan dan
pertikaian politik antara Sultan Moghul, Raja Pariaman, di Sumatera Barat,
selatan pesisir Barus dengan Sultan Ri’ayatsyah yang dikenal dengan dengan Raja
Buyung di Aceh. Keduanya masih bersaudara. Puncaknya Sultan Moghul ingin
menaklukkan Aceh.
Armada angkatan
laut Sultan Moghul berangkat menuju Aceh. Beribu pasukan ‘marinir’ tersebut
kemudian berlabuh dan melepas jangkar di Fansur untuk memenuhi kebutuhan
logistik mereka. Fansur memang pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan dunia,
tokoh yang lahir dari wilayah ini adalah mereka yang mempunyai kinayah Al
Fansuri.
Saat itu panglima
memerintahkan anak buahnya untuk menyelidiki dan mencari tahu mengenai
perkembangan Aceh yang terkini. Mereka meminta nasehat dari dua orang ahli
strategi Batak; Datu Tenggaran dan Datu Negara, keduanya dari klan Pasaribu.
Mereka juga diajak untuk ambil bagian dalam misi tersebut. Posisi Fansur yang
cenderung netral tergoyahkan.
Namun perkembangan
politik dan melalui pertimbangan-pertimbangan, pasukan Sultan Mogul membatalkan
niat penyerbuan tersebut. Datu Tenggaran diminta untuk memimpin pasukan kembali
ke Pariaman.
Datuk Negara
sendiri tidak berkenan untuk mengikuti pasukan tersebut ke Pariaman, dia lebih
memilih untuk tetap berada di Fansur. Dalam pesan selamat tinggalnya, Datuk
Teggaran bersumpah kelak akan kembali ke negeri Fansur di Barus. Segumpal tanah
dan sekendi air Fansur jadi saksinya.
Di Negeri Pariaman,
Datu Tenggaran menyempatkan diri untuk memperdalam agama Islam. Diapun berganti
nama menjadi Muhammad. Kegigihan dan kedisiplinan Muhammad dalam mengemban tugas-tugas
negara membuat Sultan Moghul bersimpati. Dia menawarkan adiknya Siti Permaisuri
putri raja Indrapura Munawarsyah.
Setelah menikah,
keduanya membuka wilayah baru dan dinamakan Tarusan untuk mengenang kakeknya
Raja Hatorusan II di Negeri Fansur. Sebagai petinggi dan pembuka wilayah Datu
Tenggaran dianugerahi gelar Sultan Muhammadsyah.
Di kota baru ini
Muhammadsyah juga membawa serta ribuan pengikutnya. Muhammadsyah sendiri mulai
membina keluarganya dengan rukun. Anak-anaknya tumbuh besar dan berkembang
dengan didikan disiplin dan kebijaksanaan yang mendalam dari sang ayah.
Namun, Salah satu
anaknya yang bernama Sultan Ibrahimsyah, menjelang dewasa, sekitar umur 17
tahun, berselisih paham dengannya. Perselisihan tersebut meruncing dan tidak
dapat diatasi lagi. Ibrahimsyah pun memilih untuk meninggalkan Negeri Terusan
dengan membawa pengikut 1000 orang menuju Fansur.
Mereka berlayar ke
Utara menyusuri pantai barat Sumatera. Namun karena persiapan yang kurang
memadai, di Batu Mundam, kapal mereka mengalami nahas dan tenggelam. Rombongan
tersebut memilih melanjutkan perjalanan melalui rute darat dan mengikuti aliran
sungai Batangtoru sampai ke Silindung. Dari kota lembah ini mereka melanjutkan
perjalanan menuju Bakkara. Keinginan untuk menuju Fansur pun dihentikan
sementara.
Di Bakkara mereka
disambut oleh keluarga raja lokal. Setelah mengetahui silsilah masing-masing
masyarakat di Bakkara meminta Ibrahimsyah untuk menjadi pemimpin. Hal itu
karena mereka mengetahui nenek moyangnya, raja Hatorusan, merupakan Raja Batak
yang paling disegani pada zaman itu, namun tawaran ini ditolaknya. Sebagai
gantinya dia berjanji dengan berpesan; “Jika anakku ini lahir seorang laki-laki
dengan tanda-tanda tertentu yang ibunya adalah anak raja negeri ini, angkatlah
menjadi raja!”.
Perjalanan
dilanjutkan sampai ke negeri Fansur Pasaribu, Sorkam. Disana mereka
memperkenalkan diri, menyebutkan asal-usul tarombo dan marganya, Ibrahimsyah
pun akhirnya diterima dalam komunitas keluarga Pasaribu tersebut.
Setelah menetap
setempat dan berpikir mendalam, Ibrahimsyah dan pengikutnya memutuskan untuk
meneruskan perjalanan mengikuti matahari tenggelam. Setelah mendapat
persetujuan mereka meneruskan perjalanan dan diantar oleh empat petinggi
Pasaribu: Matondang, Tarihoran, Bonda dan Habeahan mereka inilah yang disebut
sebagai raja-raja Pasaribu Si Opat Pusoran di Negeri Pasaribu itu. Pada masa
sekarang berdasarkan rapat Pasaribu Saruksuk mereka yang disebut Opat Pusoran
tersebut adalah Habeahan, Bondar, Gorat dan Saruksuk.
Barus
Dibangun Kembali :
Dengan menempuh
perjalanan menembus hutan belantara mereka sampai di wilayah Pagaran Limbong
dan diputuskan untuk bermalam di sana. Esoknya mereka meneruskan perjalanan
sampai di tepi laut dekat muara sungai. Ibrahimsyah kemudian meneliti daerah itu
dan melihat bahwa daerah tersebut sesuai untuk dihuni. Berdasarkan survey,
sesuai dengan air dan tanah yang dibawa ayahnya dulu, dia membulatkan tekad dan
niat untuk tinggal di sana; Barus.
Ibrahimsyah dan
para pengikutnya berhasil membangun Barus kembali. Wilayah ini, secara politik
terlah carut-marut diterjang pertikaian dengan kerajaan-kerajaan tetangga;
Aceh, Hindu Minang, Sriwijaya dan Majapahit.
Sultan Ibrahimsyah
berhasil menduduki tampuk pimpinan di Barus. untuk mengenang dan memperkuat
kedaulatannya dia mengklaim kerajaannya sebagai penerus Kerajaan Hatorusan
dengan ibukota Barus. Kerajaan Hatorusan lama sendiri sudah melemah dan
kedaulatannya sudah terpecah-pecah.
Pembangunan
Kerajaan Hatorusan dilanjutkan dengan membentuk konfederasi kerajaan dan
wilayah kecil. Fansur dan Sorkam tunduk ke Ibrahimsyah. Namun, selang beberapa
lama, Ibrahimsyah kemudian menyadari bahwa dibagian hulu sungai telah eksis
sebuah kerajaan tersendiri. Selisih paham mengenai batas-batas wilayah pun
pecah.
Namun sebelum
pertumpahan darah berlangsung, persengkataan itu dapat didamaikan melalui
sebuah traktat; Kerajaan Hulu tersebut diakui eksistensinya dan dinamakan
Kerajaan Barus Hulu, Rajanya tetap memerintah dan tunduk kepada konfederasi yang
dikepalai oleh Sultan Ibrahimsyah, Raja di hilir Barus, pengaruhnya diakui di
seluruh Konfederasi Kerajaan Barus (Raya); Kerajaan Hatorusan yang baru.
Pembangunan Barus
pun akhirnya dilanjutkan menjadi sebuah bandar yang terkenal pada saatnya.
Pembangunan tidak hanya dilakukan dalam infrstruktur kerajaan tetapi juga
suprastruktur SDM-nya.
Sultan memberikan
perhatian besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Individu-individu yang mempunyai bakat yang brilyan akan mendapat sokongan dan
dukungan dana untuk mengembangkan ilmu-ilmu mereka. Ilmu sejarah, hukum, sosial
dan politik serta penguasaan teknologi merupakan beberapa cabang ilmu yang
berkembang saat itu. Komunitas-komunitas dagang diperbolehkan untuk membuka
wilayah dan membangun masyarakatnya sendiri dalam enclave-enclave yang
dilindungi keamanannya. Orang-orang China, Arab dan pedaganga India merupakan
kaum imigran yang berdomisili di sana.
Produk-produk
Barus :
Sultan Ibrahimsyah
menjadi legenda sebagai sultan pribumi yang terkuat di tanah Batak. Akibat
dukungan Sultan kepada ilmu pengetahuan, beberapa sarjana pribumi lahir dan
menorehkan hasil karyanya. Di antaranya Hamzah Fansuri. Seorang penyair dan
ilmuwan pada bidang sosial, politik dam agama. Muridnya bernama Syamsuddin al-Sumatrani.
Syamsuddin kemudian merantau ke Aceh dan menjadi penasihat politik dan agama di
Pasai bagi Sultan Iskandar Muda dia wafat tahun 1630 M. Namanya kemudian
dikenal sebagai Syamsuddin van Pasai. Aceh pada awal abad-17 menginvasi Barus.
Intelektual lain adalah Abdul Rauf Fansuri. Tidak diketahui apa marga mereka
ini, tapi dipastikan Fansur dan Barus didominasi oleh campuran keturunan Arab,
Farsi, Gujarat dengan Marga Pasaribu, Pohan dan Tanjung.
Pengaruh Sultan
Ibrahimsyah Pasaribu juga menjadi masyhur sampai ke negeri Aceh, bahkan dalam
beberapa ekspansinya di sana, dia berhasil memperkenalkan agama Islam di
sebagain besar penduduk Aceh bahagian barat. Kelompok Pasaribu melalui
Ibrahimsyah Pasaribu dengan demikian juga dikenal sebagai pembawa agama Islam
di Negeri Aceh. Walaupun begitu agama Islam sendiri diyakini sudah dikenal oleh
penduduk Aceh khususnya mereka yang tinggal di bagian pesisir timur. Komoditas
perdagangan Barus juga meningkat secara kuantitas dan kualitas.
Pada permulaan
abad-16, Tome Pires-seorang pengembara Portugis- yang terkenal dan mencatat di
dalam bukunya “Suma Oriental” bahwa Barus merupakan sebuah kerajaan kecil yang
merdeka, makmur dan ramai didatangi para pedaganga asing.
Dia menambahkan
bahwa di antara komoditas penting yang dijual dalam jumlah besar di Barus ialah
emas, sutera, benzoin, kapur barus, kayu gaharu, madu, kayu manis dan aneka
rempah-rempah (Armando Cartesao, The Suma Oriental of Tome Pires and The Book
of Rodrigues, Nideln-Liechtenstein: Kraus Reprint Ltd,.1967; hal. 161-162).
Seorang penulis
Arab terkenal Sulaiman al-Muhri juga mengunjungi Barus pada awal abad ke-16 dan
menulis di dalam bukunya al-Umdat al-Muhriya fi Dabt al-Ulum al-Najamiyah
(1511) bahwa Barus merupakan tujuan utama pelayaran orang-orang Arab, Persia
dann India. Barus, tulis al-Muhri lagi, adalah sebuah pelabuhan yang sangat
terkemuka di pantai Barat Sumatera.
Pada pertengahan
abad ke-16 seorang ahli sejarah Turki bernama Sidi Ali Syalabi juga berkunjung
ke Barus, dan melaporkan bahwa Barus merupakan kota pelabuhan yang penting dan
ramai di Sumatera. (Lihat. L.F. Brakel, Hamza Pansuri, JMBRAS vol. 52, 1979).
Sebuah misi dagang
Portugis mengunjungi Barus pada akhir abad ke-16, dan di dalam laporannya
menyatakan bahwa di kerajaan Barus, benzoin putih yang bermutu tinggi
didapatkan dalam jumlah yang besar. Begitu juga kamfer yang penting bagi
orang-orang Islam, kayu cendana dan gaharu, asam kawak, jahe, cassia, kayu
manis, timah, pensil hitam, serta sulfur yang dibawa ke Kairo oleh
pedagang-pedagang Turki dan Arab. Emas juga didapatkan di situ dan biasanya
dibawa ke Mekkah oleh para pedagang dari Minangkabau, Siak, Indragiri, Jambi,
Kanpur, Pidie dan Lampung. (Lihat B.N. Teensma, “An Unkown Potugese Text on
Sumatera from 1582″, BKI, dell 145, 1989.
Dapat dipastikan
bahwa di kota yang ramai dengan masyarakat kelas menengah seperti Barus telah
terdapat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya sekolah-sekolah agama. Di situ
orang dapat mempelajari ilmu-ulmu agama, termasuk tasawuf dan kesusasteraan.
Sehingga bahasa Melayu sebagai lingua franca mendapat penguatan dan
modernisasi. Hamzah Fansuri merupakan orang yang memperkenalkan keindahan
bahasa Melayu Barus.
Kemajuan dan
perkembangan pemikiran di daerah ini, dengan masuknya orang-orang Arab &
Yunnan mengakibatkan terjadinya modernisasi pendidikan. Modernisasi pendidikan
sudah terjadi di Fansur sejak abad ke-9 dan akhirnya menyebar ke seluruh Barus.
Partungkoan dimodernisasi dengan sistematisasi yang terstruktur layaknya
halaqah-halaqah serta daurah-daurah ilmiyah. Setelah seorang anak mendapat
pendidikan di keluarga mengenai filsafat dasar pendidikan, mereka akan
diserahkan orang tuanya kepada seorang raja patik untuk dididik di
partungkoannya bersama anak-anak lainnya. Silabus yang dipakai saat ini adalah
al-nizhamiyah. Anak-anak akan diajari baca tulis dan penghafalan al-Qur’an.
Lulusan sekolah
dasar ini akan dianggap lulus setelah menghafal 30 Juz, kemudian sekitar umur 8
tahun anak akan diarahkan ke Partungkoan atau daurah lain yang lebih tinggi. Di
sini mereka diajari ilmu bahasa sesuai dengan minat dan latar belakang keluarga
si anak. Misalnya, bahasa Batak, Cina, Melayu, Tamil, dan Arab, namun ilmu yang
paling digandrungi adalah bahasa Farsi, yang saat itu menjadi bahasa ilmu
pengetahuan. Di Barus sendiri telah lama bermukim komunitas asing; Arab, Tamil,
Farsi, Turki, Gujarat, Yunnan, Bugis, Jawa, Siam, Minang, Siak dan lain-lain.
Saat kemunduran Barus, mereka eksodus ke kerajaan Aceh, sebagian memilih
berasimilasi dengan penduduk setempat.
Setelah itu mereka
akan dimasukkan ke partungkoan atau majlis yang mengajarkan dasar-dasar ilmu
sosial, ilmu ukur, hitung, al-Goritma dasar, fiqih, tauhid serta ilmu-ilmu
dasar lainnya.
Tahap selanjutnya,
pada umur 15-an mereka akan masuk dalam kelas yang mempelajari beberapa
undang-undang dan hukum-hukum yang dianut oleh kerajaan, pengetahuan umum yang
up to date, sehingga pengetahuan mereka akan matching dengan perkembangan
hubungan inter-personal di masyarakat.
Sampai tahap ini,
mereka yang bermukim di pedalaman misalnya seorang anak yang ingin melanjutkan
pendidikan tinggi, akan berusaha mencari bekal hidup di perantauan nanti; Pusat
kota Barus. Mahalnya biaya hidup disana mengharuskan mereka bekerja sejak
remaja. Dia akan berinisiatif untuk membuka ladang baru, biasanya nilam dan
produk lainnya. Hasilnya akan dikumpulkan di gudang penyimpanan. Hal itu terus
dilakukan sampai 2-3 tahun. Saat berangkat melanjutkan pendidikan tinggi,
‘tabungan’ di gudang tersebut baru dijual sekaligus ke Barus. Hasilnya, akan
cukup untuk membeli sebuah tempat tinggal, seekor kuda tunggangan ke tempat
kuliah dan sekaligus modal awal untuk memulai hidup dengan berusaha. Ada yang
membuka toko, rumah pandai besi (panopa) dan bentuk jasa lainnya. Tentu, calon
mahasiswa yang bermukim di Barus tidak perlu serumit itu.
Level pendidikan
tinggi disebut level daurah Hadits. Di Partungkoan ini, ribuan mahasiswa akan
duduk bersama dalam gedung yang sangat luas mendengarkan pengajaran dari
beberapa raja patik alias mu’allim yang mempunyai kredibilitas perawi sunan
dengan bukti syahadah atau ijazah yang menghubungkan mereka dengan para perawi
hadits-hadits di masa lalu.
Di sini mereka akan
mempelajari ilmu-ilmu ketabiban, medis, pengobatan, geografi, ilmu bumi,
hukum-hukum menurut berbagai mazhab dan aliran-aliran, teologi dan sejarah para
pemikir dan pemimpin dulunya dan bab-bab lain yang terkandug dalam
kutubussittah. Saat mengkhatamkan Kutubussittah, yang menjadi ‘major’ di
lembaga ini, para orang tua dan masyarakat akan diundang dan sebuah festival
besar akan diadakan untuk menghormati lulusnya sarjana-sarjana baru tersebut.
Para lulusan baru tersebut akan mendemonstrasikan kemampuan hafalan mereka
dengan melafalkan luar kepala ratusan bahkan ribuan bait matan hadits. Setiap
lulusan baru tersebut akan diberi sebuah kertas yang berisi sebuah kesaksian
bahwa orang tersebut telah belajar kepada si anu, menyebut nama mu’allimnya,
yang mana dia belajar dari si Anu yang belajar dari si Anu dan seterusnya. Dan
yang bersangkutan berhak untuk menyebarkan ilmunya. Ini adalah tanda lulus yang
kredibel dan syah.
Maka rebana dan
marawis pun ditabu, lulusan-lulusan dari Yunnan akan bergembira dengan
menyalakan mercon-mercon yang banyak. Orang-orang Farsi, Arab dan Gujarat
dengan jenggot yang tebal memilih merayakannya di rumah masing-masing.
Orang-orang Batak,
ditemani kedua orang tuanya akan memilih merayakannya di atas anjungan
kapal-kapal mereka sambil berlayar ke pulau-pulau setempat. Orang-orang minang
akan kembali ke tokonya sambil membagikan manisan kepada pelanggannya, tanpa
kegembiraan atas kelulusan pemiliknya.
Seorang yang
belajar dari mu’allim yang kredibel dan mu’allim tersebut belajar dari orang
yang disegani dan terkenal, maka orang tersebut akan mendapat status yang lebih
kuat di masyarakat. Sampai titik ini normalnya seorang akan berumur 20 tahun.
Namun patokan umur bukan persyaratan dalam belajar pada waktu itu. Ada yang
membutuhkan 3-5 tahun di sebuah majlis, ada yang hanya membutuhkan 2-6 bulan
untuk menguasai ilmu yang tersedia. Dalam semua level pendidikan, ada yang
menamatkannya saat umurnya masih belasan tahun ada juga yang masih mengulang
walau umurnya sudah setengah abad. Para lulusan daurah ini akan menjadi
raja-raja patik atau mu’allim (orang Batak menyebutnya parmalim) di komunitas
masing-masing.
Sebagian dari
mereka akan masuk menjadi anggota dewan parbaringin (penasehat) di huta
masing-masing yang berfungsi sebagai badan legislasi membantu Raja Huta menata
kehidupan masyarakat. Para lulusan yang banyak dari marga Tanjung, Pasaribu,
Pohan, Simanjuntak, Sigalingging, Simbolon dan Daulay saat itu sangat disegani
karena komitmen mereka dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Para mahasiswa
medis akan memilih untuk membuka praktek kedokteran di masyarakat dan menyebut
diri sebagai ‘tabib’.
Sebagian dari mereka
yang menguasai ilmu bumi dan geografi, akan menjadi nakhoda di kapal-kapal
pribumi atau asing, yang mengarungi lautan luas demi berdagang dan memperluas
pangsa pasar maupun dalam sebuah pelayaran misi antar kerajaan. Para mu’alim
yang menjadi nakhoda tersebut sangat disegani karena luasnya pengetahuan yang
dimilikinya.
Sebagian lagi akan
meneruskan pelajaran mereka dalam partungkoan atau majlis yang lebih kecil.
Studi mereka tidak lagi dilakukan dalam aula besar secara massal tapi di dalam
ruangan-ruangan kecil dengan jumlah mahasiswa yang lebih sedikit kepada seorang
mu’alim yang menguasai spesialisasi ilmu pengetahuan tertentu. Raja patik yang
sudah berpengalaman dalam praktek nyata tersebut akan memanfaatkan muridnya
sebagai asisten pribadinya dalam penulisan buku, pengajaran di partungkoan dan
lain sebagainya. Proses ini dinamakan takhassus yang bertujuan penguasaan
terhadap bidang-bidang tertentu saja, misalnya, ilmu hukum, ilmu tafsir, ilmu
jirahat atau tabib atau hadatuan yang modern, astrologi, astronomi, geografi,
ilmu hayat, ilmu ukur, ilmu mu’amalah dalam penguasaan ekonomi dan perdagangan,
ilmu al-hasib al-aly dalam bidang penguasaan ilmu tenun dan ilmu applikasi
lainnya dan ijtima’iyah serta ilmu-ilmu lainnya.
Tahap terakhir
adalah takhsis, dimana seorang mahasiwa diarahkan untuk melakukan pengembangan
terhadap kemampuan mereka. Seorang raja patik atau mu’allim agung yang paling
disegani akan membimbing mereka yang takhsis untuk melakukan beberapa
eksperimen dalam ruang lingkup pengetahuan yang mereka kuasai. Setiap orang
yang terlibat akan menuangkan hasilnya dalam beberapa catatan untuk diserahkan
agar dinilai dan di-tarjih.
Catatan-catatan
tersebut pada akhirnya akan menjadi ‘trade mark’ sarjana tersebut. Catatan atau
disertasi tersebut, bisa berupa syarah buku-buku yang sudah ada maupun subjek
yang baru, akan diperebutkan oleh maktab-maktab (perpustakaan-perpustakaan
swadaya) untuk disimpan dengan mereka. Beberapa disimpan sendiri oleh
pemiliknya. Para mahasiswa mendatang yang ingin mengambil sebagian isinya akan
disyaratkan untuk membayar dengan beberapa keping mata uang, mengganti ongkos
penulisan kembali (salinan) buku tersebut.
Profesi katib pun
menjadi marak di berbagai perpusatakaan. Si pembaca buku, bila ingin
mendapatkan kopi atau salinan dari buku yang dia iginkan dapat memesankan
salinan kepada katib-katib yang bersedia menuliskan seluruh atau sebagai isi
buku. Dalam dua atau tiga hari sebuah kopi dan salinan buku tersebut sudah siap
untuk diambil, tentu setelah memberikan upah jasanya. Ada juga para sarjana
tersebut menyimpan sendiri bukunya, sehingga dia akan menjadi katibnya dan
mendapatkan margin yang lebih besar.
Mereka yang
mempunyai tingkat ekonomi yang tinggi, akan berusaha menggenapkan
pengetahuannya dengan berkelana, menumpang kapal-kapal asing, ke Mekkah sambil
menunaikan ibadah haji. Sebagian mengikuti kapal-kapal asing lainnya dengan
tujuan yang berbeda dan tidak pernah kembali. Di Mekkah mereka akan tinggal
satu sampai tiga tahun, untuk selanjutnya kembali lagi, demi standarisasi
pengetahuan mereka dengan ribuan orang dan sarjana lain yang datang dari segala
penjuru dunia.
Seseorang yang
melalui berbagai tahap ini, akan kembali ke negerinya untuk mengabdikan ilmunya
baik dengan membuka halaqah-halaqah baru atau bergabung dengan yang sudah ada,
menjadi pegawai kerajaan maupun dengan menjadi pemuka, cendikiawan dan
pembicara pada pertemuan-pertemuan penduduk. Posisi mereka akan semakin
disegani dengan panggilan Syeikh, yang berarti yang dituakan (ilmunya).
Pendidikan untuk
perempuan mendapatkan perlakuan yang sama. Bedanya paska sekolah tahfiz,
seorang siswi akan menghadiri partungkoan yang terpisah dengan siswa, sampai
pada level terakhir pendidikannya. Seorang cucu, misalnya akan sangat bangga
kepada teman-temannya bila ternyata neneknya adalah seorang hafidzah.
Orang-orang berlomba-lomba untuk mendapat ilmu sebanyak-banyaknya karena hal
tersebut dapat menaikkan kehormatan keluarga di tengah masyarakat.
Pendidikan ala masa
dahulu ini menonjolkan institusi pribadi dan personal sang mu’allim dari pada
institusinya. Sehingga sebuah majlis tidak dilihat dari bangunan dan papan
namanya, tapi kepada pribadi yang menjadi pusat ilmu. Sehingga, apabila seorang
maha guru mangkat, majlis tersebut akan ditinggalkan mahasiswanya dan berguru
kepada pribadi lain yang sejajar dengannya, kecuali bila asisten maha guru
tersebut juga mempunyai kredibilitas yang sama.
Partungkoan atau
halaqah-halaqah ini tidak memungut bayaran kepada mahasiswanya karena
pendaftaran mahasiswa menggunakan administrasi yang sederhana. Walaupun begitu
mereka yang ingin memberikan hibah akan dihormati. Mahasiswa baru yang akan
bergabung biasanya akan silaturrahmi dengan sang mu’allim di rumahnya. Setelah
niat dan maksud diutarakan namanya akan dicatat oleh asistennya dan
diberitahukan persiapan apa saja yang harus disediakannya. Asisten tersebut,
biasanya berasal dari kalangan mahasiswa senior, akan memeriksa latar
belakangnya dimana dia belajar sebelumnya dan subjek apa saja yang pernah dipelajari.
Mahasiswa tersebut akan diuji secara lisan dan tulisan. Bila tidak lulus dia
akan disarankan untuk mengikuti terlebih dahulu majlis-majlis mini yang
dipimpin oleh para asisten atau khadim mu’allim tersebut.
Penghasilan
mu’allim didapat dari sumbangan kerajaan, jasa terhadap perannya di
pertemuan-pertemuan petinggi kerajaan maupun penduduk. Sumber lain adalah dari
hadiah, waqaf dan infaq orang-orang yang kaya. Bila dia seorang penulis, upah
atas jasanya akan diberikan oleh perpustakaan dan katib-katib, dari setiap
orang yang meminjam bukunya. Untuk mahasiswa atau penuntut ilmu, mereka akan
mendapat kemudahan berupa beasiswa dari kerajaan maupun lembaga-lembaga mesjid
yang menyediakan dana ibn sabil. Mereka yang masuk ashnaf delapan akan mendapatkan
zakat.
Kalangan orang kaya
akan dengan senang hati menampung para penuntut ilmu di rumahnya, sebab mereka
akan bersikap jujur dan ikut membersihkan kuda-kuda, bekerja di toko-toko serta
membantu dalam penghitungan pemasukan dan urusan lainnya. Mereka yang tidak
kebagian akan membangun pondok-pondok kecil di sekitar tempat kuliah. Biasanya
di tanah kerajaan maupun di tanah milik mu’allim tersebut.
Sehabis kuliah
sebagian mahasiswa akan menjadi pekerja paroh waktu di onan atau pusat
perdagangan, pertanian dan perkebunan sayuran, kamper dan nilam, rumah-rumah
pengolahan logam, galangan kapal, pertukangan kayu, pertukangan besi atau
‘panopa’ dimana semua peralalatan mulai dari yang sederhana sampai yang paling
rumit didesain dan dibuat, pembuatan sepatu, penenunan kain (konveksi),
pemerahan susu kerbau, pembuatan roti, kue-kue dan cendera mata, penggilingan
kopi, cabai, rempah-rempah, meracik obat-obatan dan usaha-usaha lainnya di
Barus.
Ada yang menjadi
katib di perpustakaan, toko maupun kerajaan, nazir mesjid, mu’adzin, ta’mir
majlis, pengantar susu ke rumah-rumah setiap pagi, pekerja di lapo (cafe),
penarik kuda sewaan, juru mudi karavan atau pedati, penjaja lemang dan tapai
bagi penumpang kapal-kapal dan lain-lain.
Mereka yang berasal
dari keluarga pedangang akan menggunakan waktu luangnya beraktifitas di onan.
Sesekali orang tuanya akan datang dari kampung halaman menjenguk dan melihat
perkembangan modal usaha yang diberikan. Tentu, mereka yang mendapat sokongan
dana dari rumahnya atau orang tuanya akan memilih berkonsentrasi belajar di
biliknya atau di gedung baca alias dar al-muthala’ah.
Beberapa akan duduk
dengan khidmat, dengan sebotol tinta yang terbuat dari bambu, membuat catatan
pinggir. Sebagian lagi ada yang menunduk-nundukkan kepala tanda sedang menghafal
keras bait-bait syair, rumus dan matan-matan, beberapa mengulang-ulang hafalan
qur’an, hadits dan geografi. Perjaja teh akan berkeliling menawarkan minuman
kepada mereka yang sedang serius. Di ruangan lain, mereka yang spesialisasi
‘tabib’ dan jirahat akan berkonsentrasi dengan materinya; katak, ikan bahkan
mayat yang telah diawetkan. Mereka yang sudah merasa mampu akan bergabung
menjadi asisten di dar al-shifa, tempat praktek tabib profesional.
Di aula-aula yang
lebih luas, setiap saat diadakan forum-forum debat dan diskusi. Berbagai
delegasi mazhab dan aliran agama akan berkumpul, saling mengemukakan
dalil-dalilnya, memberikan informasi yang terbaru tentang hukum-hukum yang
berkembang di berbagai negeri. Beberapa audiens sibuk mencatat hujjah-hujjah
tersebut.
Sesekali pembicara
berasal dari pengelana dan pengembara dari pulau-pulau terpencil, menceritakan
keunikan masyarakat dan habitat alam di sana, menerangkan jalur peta baru
pelayaran. Kalangan mu’allim yang menjadi nakhoda kapal akan berusaha meminta
salinannya, tentu dengan mengganti dengan beberapa dirham mata uang. Terkadang
panglima yang baru kembali dari medan peperangan, menerangkan garis batas baru
dan pergeseran peta politik. Pengumuman mengenai peraturan, kenaikan pajak
dermaga dan peraturan-peraturan baru kerajaan akan dilakukan di onan.
Orang-orang Batak
yang hobbi bermain musik akan bergabung dengan rekan-rekan mereka dari India,
Arab dan mahasiswa asing lainnya di cafe-cafe yang menyediakan teh, syahi,
qahwah dan minuman-minuman khas. Alunan kecapi, gitar tradisional dan beberapa
alat musik akan menyatu seakan menghibur orang-orang yang lalu lalang. Beberapa
lagu multi-bahasa dimainkan dengan beragam jenis musik. Terkadang mereka saling
sindir dengan syair, pantun, umpasa dan puisi-pusi satirik. Saat itu, pengaruh
ajaran tasawuf dan filsafat sedang tren.
Syair-syair Hamzah
Fansuri menggambarkan keindahan kota Barus saat itu. Keramaian dan kesibukan
kota pelabuhan dengan pasar-pasar dan pandai emasnya yang cekatan mengubah emas
menjadi “ashrafi”, kapal-kapal dagang besar yang datang dan pergi dari dan ke
negeri-negeri jauh, para penjual lemang tapai di pasar-pasar, proses pembuatan
kamfer dari kayu barus dan keramaian pembelinya, lelaki-lelaki yang memakai
sarung dan membawa obor yang telah dihiasi dalam kotak-kotak tempurung bila
berjalan malam.
Gadis-gadis dengan
baju kurung yang anggun dan di leher mereka bergantung kalung emas penuh
untaian permata, yang bila usia nikah hampir tiba akan dipingit di rumah-rumah
anjung yang pintu-pintunya dihiasi berbagai ukiran yang indah.
Pada bagian lain
syair-syairnya juga memperlihatkan kekecewaanya terhadap perilaku politik
sultan Aceh, para bangsawan dan orang-orang kaya yang tamak dan zalim.
(Mengenai kesusateraan Hamzah Fansuri lihat S.N. al-Attas, The Origin of Malays
Sha’ir, Kulala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968. Juga baca V.I.
Braginsky, Tasawuf dan Sastra Melayu, Jakarta: RUL,. 1993, khususnya esai
“Sekali Lagi Tentang Asal-usul Sya’ir”; hal 63-76.
Sebagaimana para
sarjana Kerajaan Hatorusan lama, Hamzah Fansuri yang hidup di masa berdirinya
Kerajaan Hatorusan baru pimpinan Ibrahimsyah juga mendapat pengaruh besar di
Aceh. Van Nieuwenhuijze (1945) dan Voerhoeve (1952) berpendapat bahwa Hamzah
Fansuri memainkan peran penting di dalam kehidupan kerohanian di Aceh sampai
akhir pemerintahan Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil
(1590-1604).
Sementara itu
muridnya Syamsuddin al-Sumatrani naik peranannya baru pada zaman Sultan
Iskandar Muda saat dia bermigrasi ke Aceh. Diyakini dalam mundurnya pamor
Barus, banyak sarjana-sarjana Batak yang pindah ke Aceh, Kutaraja, karena
kehadiran mereka disana sangat disegani. Mengenai Syamsuddin sebaiknya baca
C.A.O. Niewenhujze, Syamsu’l Din van Pasai, Bijdrage tot de Kennis der
Sumatranche Mystiek, disertasi Universitas Leiden, 1945.
Namun pemikiran
filsafat Wujudiyah Hamzah Fansuri mendapat tantangan dari ulama Aceh. Ahmad
Daudy di dalam bukunya Allah dan Manusia dalam konsepsi Syeikh Nuruddin
Ar-Raniry, Jakarta; CV Rajawaki Press, 1983; hal. 41, antara lain menulis,
“Selain sebagai mufti, Syeikh Nuruddin juga seorang penulis yang menyanggah
Wujudiyah. Seringkali ia mengadakan perdebatan dengan penganut ajaran ini, dan
kadang-kadang majelis diskusi diakadakan di istana dimana sultan sendiri
menyaksikannya.
Dalam perdebatan
itu Syeikh Nuruddin berkali-kali memperlihatkan adanya kelemahan dan
penyimpangan dalam ajaran Wujudiyah…., serta meminta agar mereka ini bertobat…
tetapi himbauannya tidak dihiraukan mereka, dan akhirnya mereka dihukum kafir
yang boleh dibunuh, sedangkan kitab-kitab karangan Hamzah dan Syamsuddin
dikumpulkan dan kemudian dibakar di halaman mesjid raya Baiturrahman.”
Tentang peristiwa
pembakaran kitab karangan penulis Wujudiyah, dan hukum bunuh terhadap
pengikut-pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin, Lihat buku Nuruddin al-Raniry,
Bustan al-Salatin edisi T. Iskandar, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,
1966: hal. 46.
Perlakuan itu
diterima Hamzah Fansuri, karena kritik-kritik tajamnya terhadap pemerintahan
monolitik Sultan Aceh, perilaku buruk orang-orang kaya dan praktik yoga (dari
Hindu India) yang diamalkan ahli-ahli tarekat di Aceh pada awal abad ke-17,
baca S.N. al-Attas The Mysticism of Hamzah Fansuri, Kuala Lumpur: Universiti
malaya Press, 1970; hal. 16-17. juga baca L.F. Brakel, ‘Hamzah Pansuri’; V.I.
Braginsky “Puisi Sufi Perintis Jalan” (Analisis Syair-syair Hamzah Fansuri
tentang Kekasih, Anggur dan Laut”) ceramah di Sudut Penulis, Dewan Bahasa dan
Pusataka, Kuala Lumpur, 27-28 Oktober 1992; juga Abdul Hadi W.M. ‘Syeikh Hamzah
Fansuri ‘Ulumul Qur’an, No. 2, Vol. V, 1994.
Kembali ke Kerajaan
Hatorusan yang lama, Dinasti Raja Uti. Dalam beberapa abad kepemimpinan mereka,
beberapa generasi raja telah memerintah kerajaan melewai berbagai serangan dan
gempuran asing. Ada beberapa pemimpin dinasti ini yang sempat diketahui di
antaranya pangeran Datu Pejel. Sepeninggalan Raja Uti, Datu Pejelpun meneruskan
tahta kerajaan Hatorusan yang meliputi kekuasaanya sampai ke pedalaman Batak
dengan gelar Raja Uti II.
Namun Raja Uti II
ternyata tidak berumur panjang. Dia meninggal sebelum putra mahkotanya
menginjak usia dewasa. Tahta kerajaanpun diserahterimakan oleh dewan Kerajaan
kepada permaisuri yang kemudian bergelar Ratu Pejel III.
Literatur mengenai
nama-nama generasi dinasti ini tidak jelas. Hanya beberapa tokoh dari
keturunanya yang dikenal tanpa bisa disambung sesuai dengan penahunan yang
kredibel. Diperkirakan jumlah generasinya mulai dari berdiri kerajaan sampai
abad ke-16 mencapai 90 generasi. Disebutkan juga kehadiran Raja Hatorusan II
yang memerintah kota Fansur di Barus, namun tahunnya tidak jelas. Raja
Hatorusan II bukanlah Ibrahimsyah karena keberadaan Raja Hatorusan II jauh
beberapa abad sebelum Ibrahimsyah memerintah.
Hipotesa yang
berlaku adalah mungkin saja kerajaan Hatorusan pernah putus dan kedaulatannya
lenyap. Namun beberapa waktu kemudian keturunannya membangun kembali. Keturunan
Raja Uti yang terkenal berikutnya adalah Borsak Maruhum.
Selain itu dikenal
pula Raja Uti V bergelar Datu Alung Aji. Raja Uti VI kemudian dikenal bergelar
Longgam Parmunsaki.
Raja Uti VII
bernama Datu Mambang Di Atas. Selama pemerintahan Raja Uti VII yang
berkedudukan di Aceh, berbagai pemberontakan dari dalam negeri meningkat.
Gerakan oposisi
tersebut bermaksud untuk mengkudeta Raja. Kekuatan pemberontak terdapat di
pedalaman Batak disebutkan dari marga Manullang. Kerajaan memang sudah
mengalami kegoncangan setelah sebelumnya beberapa kerajaan kecil yang menjadi
subordinat telah memilih memisahkan diri, khususnya mereka yang di wilayah
timur kerajaan (Sumatera Timur).
Sang Raja Uti VII
mempunyai beberapa panglima diantaranya seorang panglima yang sangat tangguh
yang juga kebetulan adalah kemenakannya sendiri. Putra dari seorang saudari
perempuannya, Boru Pasaribu. Dia bernama Mahkuta alias Mahkota yang dikenal di
kalangan Batak dengan sebutan Manghuntal putra seorang ayah bermarga Sinambela
dari pusat Batak. Dia dididik di istana kerajaan dan menjadi Panglima yang
menguasai matra Angkatan Darat dan Laut.
Ketika Portugis
pertama sekali menyerang daerah tersebut, Panglima Mahkuta memimpin bala
tentaranya dan memenangkan peperangan tersebut.
Mahkuta kemudian
diperintahkan untuk menumpas pemberontakan di sentral Batak. Dalam usahanya
menumpas pemberontak, di ibukota kerajaan terjadi kudeta dan perebutan kekuaraan.
Praktis Dinasti Uti pun berakhir dan lenyap. Pusat Kerajaan Hatorusan di Aceh
diperkirakan berakuisisi dengan Kesultanan Aceh. Di Singkil sampai sekarang
masih terdapat kelompok-kelompok keturunan Batak.
Ditransfer
ke Mahkuta Alias Manghuntal :
Mahkuta yang
kemudian mendengar berita tersebut tidak senang dengan perubahan politik ini.
Apalagi dia mendapat berita bahwa tahta kerajaan Batak telah diberikan
kepadanya. Setelah berhasil menumpas pemberontakan di tanah Batak, dia memilih
untuk mendirikan kerajaan baru di wilayah tersebut dengan ibukota Bakkara,
tempat muasal leluhurnya.
Mahkuta menjadi
raja pertama dengan gelar Sisingamangaraja I (SM Raja) pada tahun 1540 Masehi.
Sebagai seorang bermarga Sinambela dari Toga Sumba, berbeda dengan Raja Uti
yang Pasaribu dari Kubu Tatea Bulan, Mahkuta sebenarnya telah memulai sebuah
dinasti baru yakni dinasti SM Raja yang memerintah Batak sampai SM Raja XII.
Walaupun begitu, sebagai pendiri spiritual Batak, Raja Uti dan keturunanya,
sampai abad ke-20, masih dimuliakan dan mendapat tempat terhormat dalam
doa-doa. Bila Dinasti SM Raja mendapat kesulitan dalam urusan dalam negerinya,
perwakilan dari Raja-raja Uti kerap dihadirkan untuk menjadi penengah.
Raja SM Raja XII,
sebagai pernghargaan terhadap usahanya mengusir si Bottar Mata, penjajah
Belanda, dianugerahi Pahlawan Nasional Indonesia dengan keputusan Presiden RI
No. 590 Tanggal 9 November 1961.
Peta politik di
masyarakat terpecah dua. Kompetisi dan persaingan antara dua kubu Batak; Kubu
Sumba dan Tatea Bulan. Kubu Tatea Bulan sebagai tertua dan banyak keturunannya
menjadi raja-raja di luar pedalaman Batak.
Raja Manghuntal
atau Raja Mahkota bergelar Sisingamangaraja I memerintah sentral Tanah Batak
selama 10 tahun menurut stempel (cap kerajaan) yang bertahun 947 H dan berakhir
dalam tahun 957 Hijriyah atau dalam tahun 1540 s.d 1550 M. (Diambil dari
informasi L. van Vuuren, Samosir en de Pakpaklanden, Nota 1907).
Manghuntal mulai
menata kembali kehidupan masyarakat. Untuk mengakomodasi berbagai kepentingan
dan pertikaian antar kelompk masyarakat, dia berkoalisi dengan dengan tetua di
Bakkara. Mereka, yang menjadi perwakilan tersebut diangkat sebagai anggota
kabinet di pemerintahan, adalah raja-raja dari si Onom Ompu; Kelompok Bakkara,
Sihite, Simanullang, Sinambela, Simamora dan Marbun.
Masing-masing
keluarga ini didelegasikan beberapa wewenang. Setiap mereka diberi simbol
kerajaan berupa barang pusaka yang didapat Manghuntal dari Kerajaan Hatorusan.
Di samping itu, di
juga melakukan distribusi kerja yang jelas kepada para pembantunya; di
antaranya lembaga Pande Na Bolon yang bertugas sebagai penasehat dan juga
sebagai fasilitator antar daerah di dalam kerajaan. Jabatan bendahara kerajaan
diberikan kepada marga Sihite. Untuk mengikat semua daerah kekuasaan dalam satu
kesatuan yang utuh, dia melakukan berbagai pendekatan antara lain secara
spiritual dengan membawa air dan tanah dari Bakkara.
Target pertamanya
adalah dengan merangkul Humbang. Humbang merupakan daerah paling Barat kerajaan
yang berpopulasi keturunan raja Sumba, sama dengan Manghuntal. Mereka itu
berasal dari marga Sihombing dan Simamora. Di sana dia mengangkat dua
perwakilannya; dalam institusi Raja Parbaringin, yaitu dari marga Simamora dan
Hutasoit (Putra sulung Sihombing).
Dari Humbang dia
pergi ke Silindung. Dia mengangkat raja na opat untuk daerah ini. Perbedaan
institusi perwakilannya tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangn geografis
dan politik saat itu. Hal yang sama dia melakukannya untuk daerah-daerah yang
lain. Satu institusi lainnya adalah panglima wilayah. Sebuah daerah yang damai
atau homogen akan berbeda dengan huta yang plural. Begitu juga daerah yang
berbatasan langsung dengan luar kerajaan dengan yang berada di pusat kerajaan
mendapat perwakilan yang berbeda.
Insting
kepemimpinan yang dia warisi selama masih dididik di istama Raja-raja Uti
membuatnya memahami betul langkah-langkh politik yang sesuai dengan karakter
sebuah huta. Sikap ini dengan cepat dapat menyatukan masyarakat Batak yang
berbeda-beda marga dan kepentingan hutanya. Egoisme, primordialisme huta dan
fanatisme marga serta kebiasaan bertengkar orang-orang Batak ditundukkan dengan
harmoni dan kebersamaan. Manghuntal memerintah tidak dalam waktu lama. Sebelum
putra mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa, masih 12 tahun, Manghuntal
dikabarkan menghilang dan tidak pernah kembali lagi.
SM Raja I
adalah turunan dari Oloan dari marga Sinambela. Dinasti SM Raja adalah sebagai
berikut:
1. Raja
Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal
memerintah
tahun 1540 s.d.
1550
2. SM Raja II, Raja
Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550
s.d 1595
3. SM Raja III,
Raja Itubungna, 1595-1627
4. SM Raja IV, Tuan
Sorimangaraja 1627-1667
5. SM Raja V, Raja
Pallongos, 1667-1730
6. SM Raja VI, Raja
Pangolbuk, 1730-1751
7. SM Raja VII,
Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771
8. SM Raja VIII,
Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788
9. SM Raja IX, Ompu
Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819
10. SM Raja X, Aman
Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841
11. SM Raja XI,
Ompu Sohahuaon, 1841-1871
12. SM Raja XII,
Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, 1871-1907
Yang unik adalah,
hegemoni Batak Tatae Bulan di kerajaan Batak kemudian berpindah ke kubu Toba
Isumbaon di sentral Batak.
Sultan
Ibrahimsyah Pasaribu Tewas :
Sementara itu, di
Barus, terjadi perubahan yang menyedihkan. Pada permulaan abad ke-17, pamor
kota ini merosot dengan maraknya perkembangan kerajaan Aceh Darussalam yang
ingin memonopoli seluruh pesisir Sumatera, setelah sebelumnya telah
menganeksasi sisa-sisa Kerajaan Hatorusan lama di Singkil.
Di bawah
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) Aceh berhasil menaklukkan
kerajaan Barus dan memasukkannya ke dalam wilayah kesultanan Aceh. Iskandar
Muda memperkecil peranan Barus baik sebagai pusat perniagaan maupun kebudayaan.
(Lihat Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar muda (1607-1636),
terjemahan Hasan Muarif Ambary, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1986; Hal. 110-111).
Sejarah
menceritakan bahwa pada tahun 1610 M, Sultan Ibrahimsyah Pasaribu tewas
terbunuh oleh ekspansi militer Aceh ke wilayah tersebut. Setelah pasukan Barus
berhasil mengusir militer Aceh, kerajaan kemudian diwalikan kepada Sultan Marah
Sifat; raja yang memerintah di Kerajaan Barus Hulu. Setelah berdamai, kedua
kerajaan ini telah mengikat tali persaudaraan dimana Sultan Marah Sifat menjadi
adik ipar Sultan Ibrahimsyah. Ibrahimsyah menikah dengan kakak perempuan Sultan
Marah Sifat. Perwalian ini dimaksudkan sambil menunggu putra kerajaan Sultan
Yusuf Pasaribu bin Ibrahimsyah tumbuh dewasa untuk menduduki tahta.
Akibat peperangan
yang terus menerus dilancarkan Aceh, kemegahan Baruspun selama berabad-abad
telah musnah dan yang tinggal hanya puing-puing. Valentijn, seorang sarjana
Belanda yang mengunjungi Barus pada tahun 1706, menulis dalam sebuah bukunya:
“… seorang penyair
Melayu, Hamzah Pansur… yakni seorang yang sangat terkemuka di lingkungan
orang-orang Melayu oleh karena syair-syair dan puisis-puisinya yang
menakjubkan, membuat kita karib kembali dengan kota tempat lahir sang penyair
bilamana di dalam pui-puisinya yang agung dia mengangkat naik dari timbunan
debu kebesaran dan kemegahan masa lampau kota itu dan menciptakan kembali
masa-masa gemilang dari kebesarannya…” (lihat A. Teeuw, “The Malay
Sya’ir-Problem of Origin and Tradition”, BKI, 122, 1966, hal. 429-447 (h. 439)
Melalui cacatan
Valentijn, dan tentunya syair-syari Hamzah Fansuri, diperoleh kesan bahwa pada
zaman Hamzah Fansuri, dia masih mengalami dan menikmati zaman terakhir kegemilangan
kota Barus dan menyaksikan pula maraknya perkembangan Aceh Darussalam.
Setelah dewasa,
Sultan Yusuf diangkat menjadi raja Barus Hilir dengan Gelar Raja Uti, meniru
gelar nenek moyangnya. Sultan Yusuf Pasaribu membangun kembali negaranya dengan
kemampuan yang dia warisi dari kakeknya. Hubungan antara Raja Uti baru ini
dengan kerajaan Batak Sisingamangaraja sangat intens. Kegembiraannya memuncak
setelah lahirnya putranya yang diberi nama Sultan Hidayat Pasaribu.
Sebagai Raja diapun
berusaha untuk membina kembali hubungan diplomasi dengan Raja Aceh. Simpati
Raja Aceh pun bersambut dan menawarkan putrinya untuk dinikahi Sultan Yusuf.
Tawaran tersebut
diterima oleh Yusuf, dan diapun berangkat untuk menikah dengan Putri Raja Aceh
dan untuk beberapa saat menetap di Banda(r) Aceh. Namun, perasaan dendam dengan
tebunuhnya ayahandanya dalam peperangan mempertahankan Barus tidak dapat
dilupakan oleh Yusuf. Dia lalu membuat strategi untuk membunuh Raja Aceh
tersebut. Gagal, Yusuf hanya mampu membunuh permaisuri raja. Dia ditangkap dan
tewas dihukum oleh hulubalang Aceh.
Sepeninggalan
Sultan Yusuf, kerajaan Barus sementara dipegang oleh Sultan Marah Sifat
kembali. Setelah menerima kabar tewasnya Sultan, tahta kerajaan
diserahterimakan kepada Sultan Hidayat. Sultan Hidayat memegang tampuk
kekuasaan di Barus Hilir dengan gelar Sultan Adil. Sementara itu, di Barus Hulu
telah terjadi suksesi kepada Maharaja Bongsu anak Sultan Marah Sifat.
Kerajaan
Barus Hulu :
Antara abad 10-13
M, ketika Kerajaan Hatorusan diserang oleh balatentara Sriwijaya. Hatorusanpun
kehilangan kontrol terhadap kerajaan-kerajaan kecilnya. Diperkirakan seluruh
Barus (Hilir dan Hulu) takluk.
Barus Hulu sekarang
ini, secara administratif pemerintahan, terletak persis diujung barat Kab.
Humbang Hasundutan. Di bagian selatan berbatasan langsung dengan Tapanuli
Tengah menyenggol perbatasan Aceh Selatan dan di timur laut dengan Kabupaten
Dairi/Pakpak Barat.
Wilayah ini, dalam
administrasi kolonial Belanda bernama Onderafdeling Boven Barus, Kecamatan Barus
Hulu, dengan asisten Demang berkedudukan di Pakkat. (Drs Gens G Malau, Buku
Lopian Boru Sinambela hal 206-217, Yayasan Taotoba Nusabudaya, Jakarta 1997)
Kerajaan Barus
Hulu, dengan otoritas Sultan Marah Sifat meliputi tujuh provinsi; Negeri Rambe,
Negeri Simanullang, Negeri Pusuk, Negeri Marbun, Negeri Tukka Dolok, Negeri
Siambaton, Negeri Tukka Holbung Sijungkang dan Negeri Sionomhudon (Parlilitan
& Tarabintang).
Setelah Sriwijaya
berhasil diusir, kerajaan-kerajaan Barus Hulu dan Hilir kemudian membangun
daerahnya. Kontrol Hatorusan melemah. Begitu juga di Singkil dan beberapa
kerajaan di pesisir barat.
Abad 14, gelombang
pasukan Majapahit pimpinan perdana menteri Gajah Mada melakukan ekspansi
melalui timur Sumatera. Beberapa wilayah wilayah Batak pernah dikuasai sampai
Sionomhudon. Pergerakan mereka ke barat terhenti karena mereka berhasil dihalau
keluar tanah Batak. Namun begitu kerajaan Majapahit tetap melakukan hubungan
dagang dengan Barus. Elemen Majapahit, yang tidak sempat kembali ke Jawa,
mendirikan komunitas di Dairi.
Sumber-sumber
sejarah dinasti Ming di Cina menyatakan bahwa pada tahun 1418 sebuah rombongan
utusan Kerajaan Majapahit menemui raja Barus disertai orang-orang Cina yang
telah tinggal lama di situ (Krom 144).
Kerajaan
Pagarruyung pernah berkeinginan menaklukkan Barus pada abad 15. Namun pada abad
16, Sultan Ibrahimsyah Pasaribu yang baru memerintah berhasil membangun
kekuatan Barus yang lebih kuat dan disegani.
Pada zaman inilah,
abad-16, diketahui bahwa di Barus Hulu telah berdiri lama kerajaan tersendiri
dengan raja Sultan Marah Sifat. Diperkirakan kerajaan ini sudah lama berdiri
dan pecahan dari Hatorusan. Sultan Pasaribu, penguasa Hatorusan versi baru,
mengultimatum Barus Hulu. Kerajaan Barus Hulu kemudian tunduk ke kerajaan Barus
Raya, Kerajaan Hatorusan, pimpinan Sultan Ibrahimsyah Pasaribu.
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan ekonomi juga sampai ke Kerajaan Barus Hulu. Para pedagang dan
sudagar dari Negeri Rambe, Sionomhudon dan lain sebagainya aktif terlibat dalam
perputaran ekonomi di kawasan ini.
Akibatnya, pada
abad ke-17, komunitas-komunitas kecil muslim terbentuk di pedalaman Batak di
kerajaan Barus Hulu. Mereka ini adalah para pedagang dan saudagar antar huta
yang tertarik untuk masuk Islam di Barus; pusat ekonomi saat itu.
Komunitas muslim
pedagang dari marga Sihotang misalnya banyak dijumpai di huta Siranggason,
Tolping, Siantar Dairi dan lain sebagainya. Begitu juga dengan Hasugian, Malau,
Nahampun dan Naipospos di Napa Horsik dan Napa Singkam.
Marga Simbolon,
banyak bermukim di Tarabintang, Laetoras dan beberapa di Hutambasang. Di
Hutambasang sendiri kebanyakan muslimnya adalah dari marga Manalu.
Mungkur, Meha dan
Sitohang merupakan marga-marga yang mendirikan mesjid pertama di Parlilitan.
Sementara itu di Negeri Rambe, komunitas muslim berasal dari pedagang marga
Simamora, Marbun, Pasaribu, Sigalingging, Purba dan lain sebagainya.
Dalam setiap persta
dan festival, posisi komunitas Muslim tersebut sangat dihormati. Mereka akan
disediakan tempat khusus dan koki dari komunitasnya sendiri dalam perjamuan
pesta. Mereka akan disebut komunitas Parsulam atau Parsolam dalam pesta
tersebut. Orang Batak menyebut Islam dengan kata Silom atau Sulam. Tapi secara
umum, dalam kegiatan sehari-hari mereka tidak berbeda dengan mayoritas
masyarakat di situ yang Parmalim.
Kerajaan Hatorusan
baru ini, merupakan aliansi SM Raja XII dalam menghadapi kekuatan penjajah
Belanda. Beberapakali surat-menyurat serta negosiasi dilakukan untuk mengatur
strategi pertahanan.
Ketika SM Raja XII
terpojok dari wilayah Toba, dia mengambil suaka politik di Negeri Sionomhudon,
provinsi Barus Hulu, turut bersamanya sekitar 800 orang yang sebagian besar
terdiri dari pasukan khusus pengawal raja bantuan dari kerajaan Aceh. Pearaja
menjadi basis pemerintahan in exile Kerajaan Batak selama 17 tahun sebelum
akhirnya takluk juga.
Setelah tewasnya SM
Raja XII pada tahun 1907, rakyat Barus Hulu dan Hilir masih terus melakukan
perlawanan kepada Belanda walau dalam jumlah kecil sampai tahun 1920-an.
Barus Hulu,
sepeninggalan Sultan Marah Sifat digantikan oleh anaknya Sultan Maharaja Bongsu
dan beberapa keturunannya, akhirnya takluk ke Belanda dan menjadi Onderafdeling
Boven Barus berpusat di Pakkat. Hanya saja beberapa provinsinya belum
seluruhnya takluk.
Negeri Sionomhudon
di Barus Hulu sejak dahulu merupakan negeri yang kaya raya terkenal dengan
tambang emasnya. Diperkirakan masih terdapat bahan galian lain yang belum
diteliti. Hutannya menghasilkan kapur barus, damar, terpentin dan lain
sebagainya. Perkebunan di sana juga menghasikan kulit manis, raru, komponen
ramuan medis dan minyak nilam sebagai bahan utama pembuatan parfum.
Sionomhudon
dikuasai oleh keturunan parna dengan enam kelompok marga; Tinambunan,
Tumangger, Maharaja, Turuten dan Pinayung serta Nahampun. Namun secara umum
orang-orang Dairi, Pakpak dan Simsim ini tidak ingin disebut orang Batak dan
tidak mengaku sebagai Batak. Karena mereka mempunyai nenek moyang sendiri,
bukan Raja Batak tetapi Mpu Bada orang Majapahit. (Mpu terkadang disebut Empu
atau Ompu).
Sebagai bagian dari
Kerajaan Hatorusan, negeri Sionomhudon masuk dalam wilayah Dairi; Tano Dairi.
Penduduknya menyebut diri suku Pakpak. Mereka dan warga Barus Hulu yang lain
kebanyakan menjadi pedagang trans Tano Batak. menghubungkan Lobu Tua dan
Fansur, pusat perdagangan komoditas laut, dengan wilayah pusat kerajaan Batak.
namo_rambe1Perkampungan Karo di Namorambe (Deli Serdang Sekarang) Tahun 1880-1890
Tidak ada komentar:
Posting Komentar