(Konsep
Filsafat Eksistensialis Jean Paul Sartre dalam kaitanya dengan
Praktik
Politik dan Hukum Indonesia)
I. Pengantar
Tidak
dapat dipungkiri lagi bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki hak-hak asasi
yang dibawanya sejak lahir, dengan segala kelemahan, keterbatasan, kebebasan
dan dengan keunikannya sebagai makhluk berakal budi. Akal budi adalah itu yang
khas yang dimiliki oleh manusia; itu yang melebihi dan membedakannya dengan
yang lainnya. Dari kodratnya memiliki akal budi mau mengungkapkan bahwa manusia
itu memiliki kesadaran untuk beraktivitas, untuk mencari sesuatu yang ada di
luar dirinya, untuk berinteraksi, untuk berpikir, untuk mencintai, membuat
pilihan, hidup dan bergerak. Dengan kata lain bahwa manusia itu adalah makhluk
yang bebas; manusia adalah kebebasan.
Gagasan
tentang kodrat manusia di atas tidak menjadi asing lagi bagi manusia itu
sendiri; telah menjadi konsep kebenaran universal, bahwa manusia itu adalah
makhluk yang memiliki akal budi, yang memiliki kesadaran, kebebasan dan unggul
dari yang lainnya. Akan tetapi hal itu tidak memutlakkan dalam diri manusia
untuk selalu sadar memahami akan eksistensinya. Manusia dalam realitasnya
sering kali harus berhadapan dan berbenturan dengan kekompleksan aktivitasnya
dan persoalan hidup membuat manusia tidak menyadari akan hakikatnya sebagai
makhluk yang bebas, yang memiliki keputusan dan pilihan hidup. Dengan kata lain
manusia tidak dapat dikekang kebebasannya oleh apa dan siapa pun; tidak boleh
membekukan kebebasannya. Lebih dari itu bahwa bukan hanya memiliki kesadaran
dan kebebasan, melainkan keseluruhan hidupnya memiliki relasi dengan sesamanya.
Artinya dia ada bukan hanya untuk dirinya, tetapi dia ada untuk yang lain.
Lantas, pertanyaan selanjutnya bagaimanakah dengan praktik politik dan hukum di
Indonesia dalam kaitannya dengan manusia dan kebebasannya?Oleh karena itu,
dalam paper ini akan dikupas konsep filosofis Sartre, seorang filosof
eksistensialis, tentang kebebasan manusia atau yang disebutnya dengan sebutan
bahwa MANUSIA adalah KEBEBASAN dan dalam kaitannya dengan praktik politik dan
hukum di Indonesia.
II. Sepintas
tentang Jean Paul Sartre
Sartre
lahir di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. Ayahnya adalah seorang angkatan laut
dan ibunya adalah anak dari Charles Schweitzer, yang adalah seorang guru bahasa
dan sastra Jerman di Alasce.[1][1]
Sartre sejak masa kecil tidak bahagia, karena ayahnya meninggal saat dia kecil,
sedangkan ibunya menikah lagi dengan seorang yang kaya. Ia dibaptis, dididik
dan dibesarkan secara Katolik. Sartre meminati dunia sastra, politik, drama,
film dan filsafat (dalam filsafat inilah yang kemudian ditolak olehnya, yaitu
konsep tentang idealisme). Pengalaman
hidup Sartre dalam dunia akademik pernah mengalami kegagalan dalam ujian Agregation de philosophie, tetapi
akhirnya berhasil meraih Agregation de
philosophie sebagai nomor satu. Setelah menyelesaikan studinya pada tahun
1929, ia kemudia menjadi guru di sekolah menengah di Le Havre (1931-1933),
kemudian melanjutkan studi di Berlin dan pada akhirnya, ia kembali mengajar di
Laon dan Paris.Sartre sangat berminat dunia kesusastraan, sehingga bagi Sartre sastra menjadi
suatu agama baru bagi dia dan dunianya adalah perpustakaan. Melalui
pengalaman dalam proses belajar dan mengajar di sekolah menengah serta
universitas, membawa Sartre sang jenius kepada ketenarannya lewat
karya-karyanya. Karyanya yang sangat menonjol dan masyur ialah L’etre et le neant (“keberadaan dan
ketiadaan), Essai d’ontologie
phenomenologique (percobaan suatu ontologi fenomenologis) pada tahun 1943.
Karya-karyanya ini sangat terkenal dan melalui karya-karyanya ini,
menjadikannya seorang filosof yang ternama, yang kemudian menjadi tokoh yang
memimpin gerakan filsafat eksistensialisme. Jean Paul Sartre dikenal sebagai
filsuf eksistensialis bersama dengan Gabriel Marcel (1889-1973), Martin Heidegger
(1889-1976) dan Karl Jaspers (1883-1969). Meskipun memiliki perbedaan, mereka
juga memiliki beberapa persamaan misalnya, penekanan pada keunikan setiap
individu, eksistensi dipahami sebagai kebebasan dan penggunaan fenomenologi sebagai metode. Selain dikenal sebagai seorang
filsuf, ia juga dikenal sebagai seorang novelis, dramawan dan aktivis politik
yang berpengaruh pada zamannya namun ia tidak pernah puas dengan
pandangan-pandangan intelektualnya. Karya dan pemikirannya sangat
mempengaruhi para penulis, seniman, ahli-ahli ilmu sosial dan aktivis politik
di seluruh dunia.
III.
Dasar dan Titik Tolak Filsafat Sartre
Jean
Paul Sartre tidak melahirkan suatu metode filsafat yang baru, tetapi dia hanya
mengupas filsafat eksistensialis dengan menggunakan metode fenomenologi,
khususnya Husserl, meskipun pada akhirnya Sartre tidak merasa puas dengan
pemikirannya dalam memberikan penjelasan tentang Ada-nya fenomen-fenomen. Jika dalam
konsep filosofis Descartes: “Cogito ergo
Sum” (saya berpikir maka saya ada), hal ini tidaklah demikian dalam konsep
pemikiran Eksistensialis Sartre. Konsep filosofis Descartes ini dilawan oleh
eksistensialis Sartre bahwa: “saya ada maka saya juga berpikir”. Artinya bahwa eksistensi itu mendahului
esensi. Akan tetapi dengan metode-metode fenomenologi, Sartre ingin membangun
suatu ajaran tentang ada; hubungan antara kesadaran dan ada. Hubungan antara
kesadaran dan ada ini memunculkan dua cara ada, yaitu: etre-en-soi dan etre-pour-soi.
Dasar
dan titik tolak filsafat Sartre dalam kaitannya dengan kebebasan lahir dari
kesadaran dirinya bahwa manusia itu memiliki kebebasan untuk memilih,
menentukan keputusan dan mengatur hidupnya sendiri, sebab bagi Sartre manusia
adalah kebebasan itu sendiri. Kebebasan manusia bagi Sartre adalah betul-betul
absolut dan tidak ada batas-batas bagi kebebasan itu. Dan justru dari konsep
kebebasan inilah menjadi alasan bagi ateisme Sartre. Sehingga ke-ekstremannya
sampai pada konsep mengandaikan, yaitu: bahwa seandainya Allah ada maka tidak
mungkin saya bebas. Allah itu mahatahu yang telah mengetahui sebelum saya
melakukan sesuatu dan Allah pulalah yang akan menentukan hukum moral. Oleh
karena itu, sebagai konsekuensinya tidak adalah lagi kesempatan untuk
berinteraksi dan beraktivitas.
IV.
Kebebesan menurut Sartre
Gagasan
pokok filsafat Eksistensialis Sartre adalah eksistensi mendahului esensi; saya
ada maka juga saya berpikir. Melalui gagasan eksistensi mendahului esensi, mau
mengungkapkan bahwa subjektivitas merupakan sesuatu yang orisinal yang bukan
sebagai ada-begitu-saja. Artinya
bahwa, Sartre mau menempatkan subjektivitas pada posisi yang utama, sebagai
dasar dan orisinal.
Refleksi
filosofis Sartre tentang kebebasan sebagai kesadaran yang “menidak”. Manusia
sendiri adalah kebebasan. Bagi Sartre pada manusialah eksistensi mendahului
esensi, sebab manusia selalu berhadapan dengan kemungkinan untuk mengatakan
tidak. Manusia adalah makhluk, di mana eksistensi mendahului esensi, sedangkan
pada taraf bawah manusiawi, esensi mendahului eksistensi. Oleh karena itu
esensi manusia tidak dapat ditentukan. Hanya ketiadaan yang dapat memisahkan
manusia dengan esensinya. Dengan kata lain bahwa selama manusia masih hidup, ia
akan selalu bebas untuk mengatakan tidak.
Bebicara soal kebebasan, Sartre bertitik tolak
pada manusia itu sendiri. Menurut Sartre, kebebasan manusia itu bersifat
absolut; kebebasan manusia itu tidak memiliki batas-batas atau kebebasan mansia
itu tidak ada yang memberikan batas-batas, sehingga dengan kebebasannya,
manusia memiliki pilihan untuk menentukan sesuatu, manusia memiliki keputusan
untuk menentukan pilihan dan hidupnya yang akan datang. Kesadaran yang
“menidak” membuat manusia terus menerus bergerak, beraktivitas. Dengan kata
lain, manusia dari dirinya sendiri berusaha mencari dan mencapai sesuatu yang
“belum ada” atau pada saat itu”tidak ada”.
Kebebasan manusia sangat tampak dalam kecemasan. Menurutnya kecemasan (anxiety) berbeda dengan ketakutan (fear). Kecemasan tidak memiliki objek
sedangkan ketakutan memiliki salah satu objek, benda-benda dalam dunia.
Kecemasan menyangkut diri saya sendiri sebab eksistensi saya bergantung pada
diri saya sendiri. Kecemasan adalah kesadaran bahwa masa depan saya bergantung
pada saya sendiri juga kecemasan tentang keputusan pada masa lalu. Kerapkali
kecemasan jarang muncul sebab manusia terlalu sibuk bahkan dengan sengaja
menyembunyikan diri dari kecemasan dan melarikan diri dari kebebasan. Melarikan
diri dari kebebasan dan mengubur kecemasan mengandaikan kesadaran bahwa dia
bebas. Kesadaran itu merdeka total, tidak ditentukan dan karenanya bersifat
spontan. Maka sungguh jelas bahwa manusia merupakan makhluk yang bebas sebab
makhluk yang sendiri merupakan prinsip
keberadaannya dan yang membangun hidupnya secara otonom. Oleh karena itu
kita dapat mengerti bahwa manusia pada dasarnya adalah yang makhluk yang bebas,
otonom dan tidak hidup dalam kategori-kategori yang membatasi ruang geraknya
untuk hidup, tumbuh dan berkembang.
V. Tanggapan
Kritis atas Pemikiran Sartre tentang Kebebasan
Memang harus diakui kegeniusan seorang Sartre. Dia
tidak melahirkan suatu metode filsafat yang baru, tetapi bertitik tolak pada
fenomenologi dan dari fenomenologi ini sartre dapt menjelaskan apa itu ada.
Konsep pemikiran Sartre yang menekankan keabsolutan kebebasan manusia; bahwa
kebebasan manusia itu tidak memiliki batas, oleh karena itu dengan kebebasannya
manusia dapat mengatur dirinya sendiri, menentukan pilihan dan bahkan
menentukan kehidupan yang akan datang, membawa Sartre jatuh dalam konsep
ateisme. Jatuh dalam konsep ateisme hendak mengatakan bahwa Sartre tidak
mengakui adanya Allah. Dengan kata lain bahwa jika Allah itu ada, tidak mungkin
saya bebas. Allah itu adalah mahatahu akan apa yang yang saya lakukan (sebelum
dan sesudahnya), sehingga Allah itulah yang memberikan hukum dan penilaian
terhadap saya. oleh karena itu konsep mengenai kebebasan adalah tidak ada
(karena bertolak pada Allah, dan bukan pada diri saya sendiri sebagai penentu
masa depan dengan segala kebebasan dan pilihan serta keputusan).
Ada dua sisi yang dapat kita lihat dari pemikiran
Sartre ini tentang kebebasan. Dari segi positif bahwa Sartre sesungguhnya
mencetuskan dan mengangkat serta menegaskan kembali kodrat manusia yang dibawa
sejak lahir. Sartre, dari segi positifnya menempatkan manusia sebagai makhluk
yang memiliki kapasitas yang luar biasa; makhluk yang memiliki kesadaran dengan
segala kebebasan dapat menentukan pilihan hidupnya. Sartre sesungguhnya secara
tidak langsung merangsang kita untuk berpikir kritis keberadaan hidup kita
sebagai manusia. Dia sebenarnya mengajak kita untuk mengutamakan nilai hidup
manusia. Di sisi lain, konsep Sartre mengenai kebebasan memiliki aspek negatif.
Artinya bahwa secara ekstrem menekankan kebebassan manusia itu adalah absolut
dan tidak ada batasannya, maka akan membawa manusia itu sendiri kepada sikap
mengagungkan dirinya sebagai segala-galanya, sebab, kita tau bahwa manusia itu
menjadi pusat dan titik tolak bagi Sartre untuk menihilkan yang lainnya,
termasuk Allah.
VI.
Realitas Praktik Politik dan Hukum Indonesia
Berbicara soal kebebasan dalam kaitannya dengan realitas praktik hukum dan politik di
Indonesia sangat relevan dan memiliki kekompleksitasan dalam seluruh bidang
kehidupan manusia. Banyak penyimpangan dan kecacatan dalam praktik hukum dan
politik yang pada akhirnya membatasi kebebasan manusia Indonesia. Dengan kata
lain, kebijakan-kebijakan dalam pelaksanaan hukum dan berpolitik yang kurang
memperhatikan nilai kehidupan manusia. Sala satu persoalan yang selalu
dibicarakan, didialogkan dan bahkan mencari jalan pemecahan untuk dipecahkan,
yaitu persoalan HAM (hak asasi manusia). HAM (hak asasi manusia) berkaitan
dengan situasi atau kondisi di mana masyarakat merasa tidak aman atau tidak
bebas untuk hidup dan berkembang sebagai manusia yang bermartabat dalam setiap
aspek kehidupannya. Perasaan cemas dan situasi yang tidak aman karena ada
macam-macam aturan atau tata perundang-undangan. Aturan-aturan yang dibuat
kerapkali mengikat atau membelenggu manusia. Tata aturan kadang-kadang tidak
membangun hidup atau peradaban masyarakat Indonesia yang lebih maju dan
berkualitas, karena dilatarbelakangi oleh kepentingan segelintir orang. Maka
aturan yang dipublikasikan tidak mempunyai tujuan dan sasaran yang jelas dan
tepat; tidak memberikan kebebasan kepada manusia.
Realitas yang memicu dan merenggut kebebasan
masyarakat Indonesia misalnya, Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi.
Undang-Undang tersebut tidak mendefinisikan secara jelas dan tepat tentang apa
itu pornografi dan pornoaksi. Jelas bahwa ada motivasi dan tujuan yang tidak
jelas dalam pembuatan undang-undang tersebut. Dengan kata lain lain kebebasan
manusia di batasi oleh intervensi lembaga keagamaan. Maka tidak heran bahwa ada
kelompok yang pro dan kontra dalam menanggapinya. Dalam dunia pendidikan:
pendidikan merupakan elemen penting untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai
dengan cita-cita UUD 1945, namun yang terjadi tuntutan dan biaya pendidikan
sangat tinggi, akibatnya banyak masyarakat yang buta huruf. Dalam aspek agama
misalnya masih ada kesulitan untuk membangun tempat-tempat beribadah. Hal ini
dipicu oleh adanya unsur diskriminasi sehingga harus melalui berbagai birokrasi
supaya semua proses dapat berjalan dengan lancar. Hal ini sangat nyata di
beberapa daerah, meskipun ada undang-undang yang mengatur kebebasan dalam
beragama dan untuk menganut kepercayaan.
Di bidang ekonomi masih banyak masyarakat yang miskin, yang tidak
memiliki pilihan untuk bertindak agar situasi ekonominya menjadi lebih baik,
sebab segala sesuatu dikendalikan oleh orang-orang yang berkuasa; para pemimpin
negara dan sebagainya. Tentu ada segelintir orang yang menikmatinya sedangkan
masih banyak yang lain mati kelaparan. Banyak pekerja atau karyawan yang tidak
bisa menikmati kebebasan karena jam kerja padat dan gaji yang kurang bahkan
tidak memenuhi standar penggajian yang sebenarnya. KKN (korupsi, kolusi dan
nepotisme) semakin merajalela yang kemudian membatasi kebebasan manusia, sebab
prinsipnya adalah yang memiliki uang dan jabatan ialah mereka yang mampu
mengatur. Berbagai persoalan di atas tidak menunjukkan bahwa mereka bebas
tetapi mau mengatakan bahwa mereka tidak hidup secara bebas. Jika mereka hidup
bebas atau sebagaimana adanya maka tidak akan terjadi hal-hal yang negatif.
Masalah-masalah tersebut muncul karena ada tekanan dan rasa dibelenggu oleh
karena tidak adanya kebebasan. Banyak orang tidak hidup bebas sesuai dengan
kodratnya.
VII.
Penutup
Jean Paul Sartre adalah seorang filosof yang
sungguh-sungguh ekstrem dalam menempatkan kebebasan manusia sebagai bukti bahwa
manusia memiliki kesadaran. Dari konsep kesadaran ini muncul kebebasan untuk
memilih, bertindak, menentukan pilihan dan menentukan masa depannya sendiri.
Konsep filosofis Sartre adalah “Saya ada
maka juga saya berpikir”. Sartre meletakan dasar filsafat
eksistensialismenya pada manusia; pada paham kebebasan manusia atau yang
disebut oleh Sartre: manusia adalah kebebasan. Kesadaran yang “menidak” adalah
kebebasan. Melalui kesadaran dan kebebasannya inilah kemudian membawa Sartre
kepada pemahaman bahwa kebebasan manusia itu adalah absolut dan oleh karena itu
dari dirinya sendiri manusia itu sifatnya dinamis (bergerak), berpindah dari
satu ke yang lainnya, memiliki kapasitas untuk menetukan pilihan dan
kehidupannya yang akan datang dan mempunyai pilihan tanpa ada ketergantungan
terhadap yang lain, termasuk Allah. Oleh karena itu, Allah dalam konsep Sartre
adalah tidak ada. Sartre dalam seluruh filsafatnya dipengaruhi dan
dilatarbelakangi oleh hidupnya sendiri
sebagai seorang ateis.
Salam Persaudaraan....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar