Ut omnes unum sint sebagai salah satu materi pokok yang dibahas
dalam setiap Masa Perkenalan GMKI adalah bagian penting dari praksis organisasi
ini. Hal ini merupakan refleksi empiris teologis The Founding Fathers gerakan
ini dan yang akhirnya menjadikan Ut omnes unum sintsebagai Amsal
yang dipakai dan menjadi fondasi filosofis (muatan nilai-nilai) dan dasar
pemersatu Pemuda/Pelajar Kristen (Student Christian Movement) pada masa lalu.
Kita akan melihat secara ringkas bagaimana sejarah lahirnya, hingga akhirnya ut
omnes unum sint juga dipakai sebagai amsal GMKI. Serta, bagaimana kita
saat ini dapat memaknainya kembali dalam konteks zaman yang mengalami perubahan
yang sangat cepat. Semoga pembahasan kali bisa memberikan kontribusi yang
berarti dalam masa perkenalan yang dilakukan GMKI dan praksisnya ke depan.
Pengertian
Ut Omnes Unum Sint
Ut Omnes Unum Sint adalah ungkapan
dari Alkitab dalam bahasa Latin. Kalimat yang sama dalam Alkitab bahasa
Indonesia disebut : “supaya mereka semua menjadi satu”. Ungkapan kalimat
ini sangat jelas dikatakan dalam doa syafaat Tuhan Yesus yang terdapat dalam
Injil Yohanes 17: 21. Sedangkan dalam Alkitab versi bahasa Yunani (Novum
Testamentum Graece – Aland Nestle), ungkapan ini dikatakan ίνα παντες έν ωσιν (baca: hina
pantes hen osin). Susunannya adalah sebagai berikut: ίνα – Ut – Supaya; παντες – Omnes -Semua; έν – Sint - Satu; ωσιν – Unum - Menjadi. Dengan
demikian, maka arti ίνα παντες έν
ωσιν atau Ut Omnes Unum Sint adalah “Supaya mereka menjadi satu”. Kata
“Ut” dalam bahasa Indonesia disebut “Agar” atau “Supaya” merupakan
suatu bentuk pernyataan. Kata ini memberi arti bahwa “seharusnya atau
semestinya menjadi seperti begini, sebab seperti inilah sesungguhnya”. Kata “Omnes“
dalam Alkitab bahasa Indonesia disebut “mereka semua”. Kata ini berarti, semua
orang atau semua manusia. Kata “Unum” dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan dengan kata “menjadi seperti”, atau “serupa dengan”, kata “Sint” dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata “Semuanya menjadi satu”.
Dengan melihat kepada penjelasan
diatas, maka pengertian “ut omnes unum
sint” atau “supaya semua
menjadi satu“ memberi arti bahwa : “adalah suatu perintah atau
pernyataan yang mutlak tentang semua manusia supaya harus menjadi satu.” Hal
ini ditujukan terutama kepada orang–orang yang telah menjadi percaya kepada
Yesus Kristus. Mereka harus wajib menjadi satu sama seperti Yesus Kristus
dengan Bapa-Nya yang adalah satu. Kata kuncinya adalah “satu“. Ini lebih lanjut dimengerti
sebagai persatuan, kesatuan (Unity).
Kesatuan yang dimaksud di sini
adalah bukanlah kesatuan magis, mistik atau institusi, akan tetapi kesatuan di
sini adalah kesatuan rohani, satu di dalam iman, satu ketaatan kepada firman
(Yoh. 17:6). Persatuan atau kesatuan (unity) adalah kata yang sering digunakan
dalam Alkitab. Pemikiran yang melatarbelakangi istilah ini adalah: “adanya
kesatuan umat Allah yang dalam Perjanjian Lama berasal dari satu Bapa.”
Persekutuan ini digambarkan oleh pemazmur sebagai persekutuan yang
diwarnai dengan kehidupan bersama yang rukun (Mzm. 133:1).
Dalam Perjanjian Baru kesatuan ini
lebih dimengerti sebagai keadaan akibat dirobohkan-Nya dinding pemisah antara
orang Yahudi dengan orang Kafiri yaitu antara Yahudi dengan orang yang bukan
Yahudi; antara Tuan dan Hamba; antara laki–laki dan perempuan. Semua menjadi
satu dalam Yesus Kristus (Ef. 2:12 ; Gal. 3:26–29). Yesus Kristus adalah
satu–satunya dasar dari kesatuan umat-Nya yang beragam itu. Orang yang
percaya adalah saudara–saudara Yesus Kristus, dan saudara satu terhadap yang
lain dalam satu keluarga Allah. Mereka mempunyai satu Allah dan Bapa dari semua
(Efesus 4:6). Mereka dituntun oleh Roh Kudus yang satu menjadi tempat kediaman
Allah di dalam Roh (Efesus. 2:22). Kecuali itu, mereka juga harus mempunyai
pikiran dan perasaan sebagaimana pikiran Kristus (Filipi 2:5), yakni
kerendahan diri Yesus dan ketaatan-Nya pada Bapa (Fil. 2:8). Injil Yohannes
menyaksikan betapa dalamnya keinginan Yesus agar murid–murid-Nya menjadi satu.
Keinginan Yesus ini disampaikan melalui doa permohonan-Nya kepada Bapa. Isi doa
Yesus sangat penting, sebab menyangkut eksistensi dan juga integritas
orang–orang percaya di dalam Dia (Yoh. 17:21).
Makna Ut
Omnes Unum Sint (Kesatuan) dalam Refleksi Teologis Yoh. 17:21
Kesatuan yang didoakan oleh Tuhan
Yesus bukanlah hanya sekedar kesatuan organisasi, tetapi kesatuan rohani yang
berlandaskan: hidup di dalam Kristus (Yoh. 17:23); mengenal dan mengalami kasih
Bapa dan persekutuan Kristus (Yoh. 17:26); perpisahan dari dunia (Yoh. 17:
14-16); pengudusan dalam kebenaran (Yoh. 17:17, 19); menerima dan mempercayai
kebenaran Firman Allah (Yoh. 17:6,8,17); ketaatan kepada Firman (Yoh. 17:6);
keinginan untuk membawa keselamatan kepada yang hilang (Yoh. 17:21, 23).
Bilamana salah satu dari faktor ini tidak ada, maka kesatuan yang didoakan
Yesus tidak mungkin ada. Kita juga dapat melihat bahwa, doa Tuhan Yesus dalam
Yoh. 17:21 mengamanatkan:
Pertama, panggilan untuk keesaan itu mempunyai dasar dalam keesaan
Anak dan Bapa: “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti engkau, ya Bapa,
di dalam Aku, dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita”. Dengan
demikian panggilan keesaan itu mempunyai dimensi horisontal dengan semua orang
percaya (Gereja) dan dimensi vertikal dengan Bapa dan Anak. Itu berarti bahwa
gerakan keesaan itu bergerak ke dua arah: tidak hanya harus mendekatkan
hubungan dan menyatukan Gereja-gereja, melainkan juga harus membuat
Gereja-gereja secara bersama-sama mendekat kepada Tuhan. Dua hal tersebut
adalah sama pentingnya.
Kedua, panggilan untuk keesaan secara horisontal dan vertikal itu
selanjutnya juga berkaitan dengan keberhasilan tugas missioner Gereja: “Supaya
dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku”. Kalau Gereja-gereja
sungguh-sungguh esa secara horinsotal dan vertikal, maka misi Gereja pasti akan
berhasil. Dengan kata lain, keesaan secara horisontal dan vertikal itu dapat
dikatakan sebagai prasyarat bagi keberhasilan misi Gereja. Pada sisi lain,
tiap-tiap Gereja pasti harus melaksanakan tugas misionernya masing-masing.
Ketiga, Yesus berdoa supaya para pengikutNya “menjadi satu”
(Terjemahan Bahasa Indonesia) supaya menjadi “satu adanya”. Bentuk yang dipakai
dalam bahasa Yunani menunjuk pada suatu tindakan yang berkesinambugan:
“terus-menerus bersatu” (sustainable), kesatuan yang berlandaskan
kesamaan hubungan kepada Bapa dan Anak, dan karena memiliki sikap yang sama
terhadap dunia, firman Allah, dan perlunya menjangkau mereka yang hilang (Bnd.
1Yoh. 1:7).
Keempat, kesatuan yang ditekankan juga adalah kesatuan yang di
dalam iman, satu pemahaman tentang Kristus; karena mereka dibaharui oleh Roh
yang sama, dan mereka memiliki karya anugerah yang sama dan telah mengubah diri
mereka. Walaupun mereka memiliki ragam kemampuan, namun mereka memiliki titik
utama dalam Injil, yaitu bahwa keselamatan hanya oleh Kristus saja.
Keempat amanat ini juga telah
termaktub dalam Prasetya keesaan Gereja-gereja yang tergabung dalam PGI
yang telah menyatakan janji setianya untuk melaksanakan Lima Dokumen Keesaan
Gereja (LDKG) dalam gerakan Oikumene[6].
Gereja-gereja yang tergabung di dalam Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(PGI) telah merumuskan visi dan misi mereka dalam “Dokumen Keesaan Gereja”
(DKG).[7] Intinya,
visi Gereja-gereja adalah mewujudkan keesaan Gereja melalui pelaksanaan tugas
panggilan Gereja yang dicakup dalam koinonia, marturia, dan diakonia. Biasanya
juga dirumuskan sebagai “Mewujudkan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia”
sebagaimana dikalimatkan ketika DGI didirikan pada 20 Mei 1950. visi ini tidak
pernah berubah. Dan mestinya memang tidak pernah boleh berubah, sebab kalau
tidak kehadiran Gereja-gereja dalam PGI menjadi tidak punya makna. Visi inilah
yang terus menerus diterjemahkan di dalam misi bersama yang setiap lima tahun
(melalui Sidang Raya) direaktualisasikan.
Ut omnes
unum sint adalah = perwujudan Gerakan Oikumene
Oikumene adalah kata dalam bahasa
Yunani, yaitu Participium Praesentis Passivum Femininum dari kata oikeo, yang
berarti “tinggal, berdiam, atau juga mendiami.” Oleh sebab itu
arti harafiah kata Oikumene adalah “yang didiami”. Tetapi
participim ini telah memperoleh arti khusus sebagai kata benda.[8] Dengan
demikian istilah oikumene (Oikumene, Οικως yaitu rumah )
adalah satu kata yang secara asasi sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
Gereja. Karena kata Yunani ini dimaksudkan dunia yang didiami, di dalam pengertian
politis. Jadi istilah Oikumene sebenarnya adalah berasal dari suasana
politik, lalu diadopsi (dipindahkan) ke dalam situasi Gereja.
Dr. W. H. Visser ‘T Hoof
mendaftarkan beberapa arti kata Oikumene seperti yang didapati di dalam
sejarah. Oikumene adalah: “seluruh dunia yang didiami (Lukas 4:5, Roma
10:18, Ibrani 1:6), seluruh kekaisaran Romawi (Kis. 24:5), dari sana kata ini
juga berarti: seluruh umat manusia (Kis. 17:31, 19:27, Why. 12:19), Gereja
seluruhnya, Gereja yang sah, hubungan-hubungan diantara beberapa Gereja atau
orang Kristen yang pengakuannya berbeda-beda. Usaha dan keinginan untuk
mendapatkan keesaan Kristen”.
Dalam perkembangnya, khususnya
gerakan Oikumene pada abad ke-19 kita dapat melihat empat macam usaha yang
dapat disebut sebagai usaha untuk mempersatukan orang-orang Kristen dari
Gereja-gereja yang berbeda. Yang pertama adalah usaha
mempersatukan orang-orang Kristen dari Gereja-gereja yang mempunyai dasar
teologis atau kenfesional yang sama. Usaha kedua adalah usaha
untuk mempersatukan orang-orang Kristen Protestan dalam satu perhimpunan. Usaha
ini secara khusus diprakarsai oleh seorang Pendeta Skotlandia, Thomas Chalmers
(1780-1847), walaupun juga ada orang lain yang pada waktu itu telah mengusulkan
hal yang sedemikian.
Hasilnya adalah pembentukan
Evangelical Alliance (Perserikatan Injili) di London pada tahun 1846. Sumbangan
positif Evangelical Alliance pada sejarah Oikumene adalah dengan pengadaan
Minggu Doa Sedunia, untuk untuk meningkatkan kesadaran kesatuan dan
persaudaraan, pengadaan konferensi-konferensi dan penerbitan majalah Oikumenis
yang pertama, Evangelical Christendom (1847-1955). Dengan demikian dipupuk
kesadaran bahwa di luar batas-batas gereja sendiri juga ada orang-orang Kristen
dan bahwa penting untuk mencari kerjasama dengan mereka.
Pada zaman ini diadakan
konferensi-konferensi yang dimaksudkan untuk memperbaiki relasi, untuk
mewujudkan saling pengertian dan menghasilkan kerjasama. Sumbangan ketigadiberikan
oleh apa yang disebut sebagai Voluntary movements (Gerakan-gerakan
Sukarela). Dimana Voluntary Movements ini muncul karena pengaruh Revivalism (Gerakan
Kebangunan Rohani), sebagai semangat Pembaharuan sebagai unsur pietis di
Amerika Serikat, yang kemudian dari sana tersebar ke seluruh dunia Barat.
Dari gerakan Revivalism ini berasal
organisasi-organisasi seperti Young Man Christian Association (YMCA,
Persatuan Para Pemuda Kristen 1844), Young Women Christian Association (YWCA,
Persatuan Para Pemudi Kristen 1854), Student Christian Movement (SCM,
Gerakan Mahasiswa Kristen, yang lahir pada tahun 80-an abad ke-19 di berbagai
Negara dan menggabungkan diri pada tahun 1895 dalam World Student
Christian Federation (WSCF, Federasi Mahasiswa Kriten Sedunia); yang
kemudian juga membentuk diri dalam wadah-wadah lokal disetiap negara, salah
satu wadah yang ada di Indonesia adalah GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia) dan Student Vulunteer Movement for Foreign Mission (SVM
Gerakan Sukarela Mahasiswa untuk Pekabaran Injil Luar Negeri yang didirikan
pada tahun 1888 oleh John R. Mott).
Mamaknai kembali Ut Omnes Unum Sint (Amsal GMKI)
sebagai landasan misi
Menyadari kondisi dan keberadaannya
saat ini, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) yang juga berhimpun dalam
wadah World Student Christian Federation (WSCF) haruslah dapat memaknai kembali
akan fungsinya sebagai alat pemersatu dan jembatan kerjasama dalam perwujudan
Gereja-Nya yang esa, yang menyaksikan Yesus Kristus selaku Tuhan dan Juru
Selamat di dalam keesaan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus yang mengerjakan
keselamatan manusia. Dalam praksisnya GMKI haruslah tetap hidup dalam Amsal
tersebut yang juga merupakan bersumber dari Alkitab. Sebab, hal itu juga telah
jelas tertuang dalam penjelasan AD/ART GMKI, bahwa faktor inilah yang harus
dominan dalam organisasi ini. Program inti ini tidak boleh dilupakan oleh GMKI.
Sebab, jika melupakan program tersebut berarti bahaya erosi kedirian yang
sangat fatal akan melanda organisasi. Semuanya ini adalah konsekuensi dari
sumber GMKI adalah Alkitab.
Sifat keKristenan ini menunjukkan
bahwa GMKI adalah bagian dari Gereja. GMKI adalah kelanjutan pelayanan Gereja
di Perguruan Tinggi, dengan berbagai karakteristik Gereja, sebagaimana Gereja
menempatkan Alkitab sebagai dasar, maka ini pulalah yang menjadi sumber bagi
GMKI. Sumber GMKI tidak mengaburkan arti dan sifat gerejawinya. Dalam
pengalaman sumber organisasi ini, maka haruslah relevan dengan panggilannya,
dan tidak asing bagi lingkungannya.
Oleh sebab itu, memaknai kembali ut
omnes unum sint dalam konteks kekinian adalah peran penting yang harus
dilakukan oleh organisasi ini. Jika tidak, berarti kita berada di luar konteks
Amsal tersebut. Sebab, kekuatan kultur dari organisasi (sosio budaya)
adalah terletak pada fleksibilitas dan relevansi fondasi
filosofis (muatan nilai-nilai) serta visi dan misi
organisasi. Visi dan misi inilah yang harus dilakukan oleh setiap orang percaya
sebagai jemaat yang misioner, terlebih lagi bagi orang-orang yang sukarela
bergabung dan menjadi bagian dalam GMKI, yang juga adalah alat-Nya untuk
mewujudkan kedamaian, kesejahteraan, keadilan, keutuhan ciptaan dan demokrasi
di Indonesia berdasarkan kasih.
Dalam kaitan itu juga organisasi ini
melaksanakan misinya untuk mempersiapkan pemimpin dan penggerak yang ahli dan
bertanggungjawab dengan menjalankan panggilannya di tengah-tengah masyarakat,
negara, Gereja, Perguruan Tinggi, dan mahasiswa, dan menjadi sarana bagi
terwujudnya kesejahteraan, perdamaian, keadilan, kebenaran dan cinta kasih di
tengah-tengah manusia dan alam semesta (lih. Pasal 3 Visi dan Misi, AD GMKI).
Konteks panggilan misi yang harus
kita lakukan sebagai mahasiswa dalam medan pelayanan-Nya adalah panggilan yang
holistik. Kita dipanggil dari latar belakang gereja, suku dan disiplin ilmu
yang berbeda. Akan tetapi kita adalah satu di dalam kasih-Nya dan juga yang
telah memampukan kita untuk melakukan apa yang diamanatkan-Nya kepada kita.
Dengan demikian sebagai mahasiswa kita harus dapat mesyukuri dan menggunakan
panggilan yang diberikan-Nya kepada kita dengan baik. Sebagai seorang mahasiswa
yang terpanggil di bidang medis/kesehatan, hendaknya menjadi tenaga medis yang
melayani. Mahasiswa yang terpanggil di bidang ekonomi, hendaknya menjadi
akuntan/ekonom yang melayani. Mahasiswa yang terpanggil di bidang
pendidikan/sains hendaklah menjadi pendidik yang melayani. Mahasiswa yang
terpanggil di bidang hukum dan sosial politik, hendaklah menjadi pengayom dan
aparatur yang melayani. Mahasiswa yang terpanggil dalam panggilan disiplin ilmu
lainnya haruslah juga dapat menjadi pemimpin yang melayani. Sehingga, ut
omnes unum sint (supaya semua menjadi satu) dapat kita maknai kembali
dan aplikasikan dalam setiap panggilan disiplin ilmu kita sebagai mahasiswa
yang telah menjadi satu di dalam organisasi ini. Dengan demikian kesatuan yang
kita wujudkan adalah kesatuan yang holistik untuk semua (universal) yang
tercermin dari buah pelayanan kita untuk Gereja, Perguruan Tinggi, dan
Masyarakat (juga tanggung jawab sebagai warga negara) dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Tinggilah iman kita, tinggilah ilmu kita, dan semakin tinggilah
pengabdian kita.
Salam Persaudaraan
Ut omnes unum sint…
Syalom……
WASEK ORKOM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar