BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Masalah
Pada akhir abad keenam
belas, filsafat telah berhenti. Descarteslah yang memulainya kembali. Filsafat
dimulai untuk yang pertama kalinya pada abad keenam Sebelum Masehi di Yunani
Kuno. Dua abad kemudian, tercapai zaman keemasan filsafat dengan munculnya
Sokrates, disusul dengan Plato dan Aristoteles. Setelah itu, hampir selama 2000
tahun, tidak terjadi apa pun. Tidak ada sesuatu yang orisinal. Tentu saja
memang ada sejumlah filsuf yang dilahirkan selama periode 2000 tahun tersebut.
Filsuf dari Aleksandria pada abad ketiga, Plotinus, mendandani filsafat Plato
hingga terbentuknya Neoplatonisme. Santo Agustinus dari Hippo memperbaiki lagi
filsafat Neoplatonisme untuk bisa diterima dalam teologi Kristiani. Cendikiawan
muslim Averroes memperbaiki sebagian filsafat Aristoteles, sedangkan Thomas
Aquinas mencangkoknya lagi agar menjadi pas dengan teknologi Kristiani.[1][1]
Keempat orang ini telah
melincinkan jalannya sejarah filsafat, tapi tidak ada di antara mereka yang
seutuhnya mengajukan filsafat baru yang mereka susun sendiri. Pada hakikatnya,
karya-karya mereka hanyalah berupa komentar dan pengolahan filsafat Plato dan
Aristoteles. Dengan cara ini, kedua filsuf yang tidak beragama ini(mereka
berdua jelas bukan Yahudi,Muslim, atau nasrani) pun menjadi pilar bagi gereja
Kristen. Trik-trik intelektual yang menakjubkan ini menjadi fondasi utama
Skolastisisme, sebuah nama yang diberikan bagi kegiatan filsafat pada zaman perntanggahan.[2][2]
Skolatisisme adalah
filsafat gereja yang membanggakan diri dengan ketidaksejatiannya.
Gagasan-gagasan filsafat revolusioner dianggap sebagai bidaah, Inkuisisi, dan
berakhir menjadi abu di tempat pembakaran. Gagasan-gagasan Plato dan Aristoteles
pun akhirnya secara perlahan-lahan terkubur ditengah komentar-komentar teologi
Kristiani, sehingga filsafat pun layu kering.Pada pertangahan abad kelima
belas, tahap perkembangan yang “mati enggan hidup tak mau” ini dialami dalam
hampir semua bidang upaya intelektual.
Kekuasaan Gereja
menyelimuti seluruh dunia zaman pertenggahan. Tetapi pada masa yang dipenuhi
dengan kepastian intelektual yang berlebih-lebihan inilah terjadi letupan
pertama; Ironisnya, yang menjadi letupan pertama tersebut juga berasal dari
dunia klasik yang sama, yang dihasilkan oleh Plato dan Aristoteles. Banyak
pembelajaran yang telah hilang atau dilupakan pada Zaman Kegelapan akhirnya
mulai medapatkan penerangan kembali, mengilhami suatu Renaissance(kelahiran
kembali) pengetahuan manusia.[3][3]
Renaissance mengusung pula suatu pandangan
dengan reformasi yang mengakhiri hegemoni Gereja. Namun demikian, di
tengah-tengah suasana pembaharuan tersebut, filsafat masih saja berada dibawah
Skolastisisme. Filsafat baru bisa bangkit kembali setelah datangnya Rene
Descartes yang menghasilkan filsafat baru yang berdasarkan pada akal atau
dikenal dengan rasionalisme. Dalam waktu yang singkat filsafatnya menyebar
hampir keseluruh benua Eropa dan menjadi sebuah aliran filsafat baru yang
terkenal dengan nama Cartesianisme.
Descartes menjadi pelopor dan tokoh rasionalisme serta
besar pengaruhnya pada abad-abad yang mengikutinya. Descartes merupakan bapak
filsafat modern karena dia yang menghidupkan kembali filsafat pada masa itu
dengan metode sendiri dan terlepas dari pemikiran tokoh filosof yang lain.
Metode yang digunakannya adalah metode keragu-raguan. Walaupun ahli-ahli
filsafat sesudah Descartes tidak semua setuju dengan pemikirannya, tetapi
mereka menerima kedaulatan budi seluruhnya yang merupakan pangkal dan sumber
berfikir. Penganut rasionalismenya adalah Spinoza dan Leibniz.
Secara histori filsafat
Barat dapat di bagi ke dalam empat kurun waktu, yaitu:
1.
Zaman Yunani Kuno(600SM-400M)
2.
Abad Pertengahan(400-1500)
3.
Zaman Modern(1500-1800)
4.
Zaman Sekarang(1800-sekarang)[4][4]
Adapun yang akan menjadi
permasalahan yang akan menjadi bahasan dalam makalah ini adalah tentang
tokoh-tokoh penganut aliran rasionalisme.
Berdasarkan uraian di atas dapat diidentifikasikan
permasalahan sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan rasionalisme?
2.
Siapa
tokoh-tokoh rasionalisme ?
3.
Bagaimana
corak berfikir tokoh-tokoh filsafat?
Adapun tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah
untuk mengetahui pengertian rasionalisme, tokoh-tokohnya dan corak pemikiran
tokoh-tokoh filsafatnya.
Dalam menyusun makalah
ilmiah ini penulis melakukan penelitian kepustakaan(library research) dengan
pendekatan deskriptif, yaitu suatu penelitian dengan mengumpulkan data-data dan
menganalisa serta menarik kesimpulan dari data tersebut dengan mengadakan
library research, yaitu dengan cara menelaah sejumlah buku-buku, web untuk
memperoleh data-data, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan lansung
dengan makalah ini. Dengan menggunakan metode dan teknik pengumpulan data
tersebut, kiranya dapat mendukung dalam penulisan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
RASIONALISME: TOKOH DAN PEMIKIRANNYA
Oleh
Sari Masyita
A. Konsep
Rasionalisme
1. Pengertian
Rasionalisme
Aliran
rasionalisme berpendapat, bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat
dipercaya adalah rasio(akal). Hanya pengetahuan yang diperolah melalui akallah
yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu
syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dapat
dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapatkan oleh akal. Akal
tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran daripada dirinya
sendir, yaitu ats dasar asas-asas pertama yang pasti. Metode yang diterapkan
adalah deduktif dan teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti.[5][5]
Rasio
merupakan sumber kebenaran. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang kepada
kebenaran. Yang benar hanyalah tindakan akal. Karena rasio saja yang dianggap
sebagai sumber kebenaran, maka aliran ini disebut rasionalisme. Adapun
pengetahuan indera dianggap sering menyesatkan. Rasionalisme adalah paham
filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk
memperoleh pengetahuan. Menurut aliran rasionalis, suatu pengetahuan diperoleh
dengan cara berfikir.[6][6]
Akal
merupakan alat satu-satunya mencari kebenaran. Menurut rasionalis indera hanya
menyesatkan saja, seperti sebuah bulpen yang dicelupkan ke dalam air, maka ia
seperti bengkok, padahal pada kenyatannya bullpen tersebut tidak bengkok, dari
contoh tersebut bisa di ambil kesimpulan bahwa indera sangat menipu dan akallah
yang mampu mencari jwaban dari kebenaran sesuatu.
Aliran
rasionalisme ada dua macam, yaitu dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat.
Dalam bidang agama, aliran rasionalisme adalah lawan dari otoritas dan biasanya
digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Adapun dalam bidang filsafat,
rasionalisme adalah lawan dari empirisme dan sering berguna dalam menyusun
teori pengetahuan. Hanya saja, empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh
dengan jalan mengetahui objek empirisme, sedangkan rasuionalisme mengajarkan
bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berfikir, pengetahuan dari empirisme
dianggap sering menyesatkan. Adapun alat berfikir adalah kaidah-kaidah yang
logis.[7][7]
Ahmad Tafsir juga menjelaskan bahwa
rasionalisme adalah faham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah
alat penting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Sejarah
rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme dalam
filsafatnya. Ini dilanjutkan dengan jelas sekali pada orang-orang sofis dan
tokoh-tokoh penentangnya (Socrates, Plato, Aristoteles).[8][8]
Pada
zaman modern muncullah tokoh-tokoh filsafat baru yang menganut paham
rasionalisme. Mereka muncul karena mereka tak setuju dan tak sepaham dengan
ajaran agama mereka sendiri. Adapun tokoh pertama rasionalisme ialah Descartes,
selanjutnya Spinoza dan Liebniz dari Jerman.
B. Tokoh-Tokoh Rasionalisme
dan Pemikirannya
1. Rene Descartes dan
Pemikirannya
Rene
Descartes(1596-1650) adalah filsuf Perancis yang dijuluki “bapak filsafat
modern”. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu kedokteran. Ia
menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandingannya, harus
disusun oleh satu orang, sebagai bangunan yang berdiri sendiri menurut satu
metode yang umum. Yang harus dipandang sebagai hal yang benar adalah apa yang
jelas dan terpilah-pilah (clear and distinctively). Ilmu pengetahuan harus
mengikuti langkah ilmu pasti karena ilmu pasti dapat dijadikan model cara
mengenal secara dinamis.[9][9]
Rene
Descartes mempunyai keinginan yang besar untuk menciptakan pemikiran yang baru dan berdiri di atas
metodenya sendiri. Descartes melihat bahwa filosof-filosof sebelumnya hanya
mengomentari pemikiran-pemikiran Plato dan Aristoteles yang menurutnya sangat
membingunkan. Semasa Descartes mempelajari filsafat Plato dan Aristoteles Ia
meragukan kebenaran pemikiran mereka, sehingga muncullah keingginan yang kuat
untuk menemukan sesuatu yang baru di dalam dunia filsafat.
Rene
descartes adalah filosof yang mendirikan aliran rasionalisme . Rasionalisme
dapat didefinisikan sebagai paham yang menekankan pikiran sebagai sumber utama
pengetahuan dan pemegang otoritas terakhir bagi penentuan kebenaran. Manusia
dengan akalnya memiliki kemampuan untuk mengetahui struktur dasar alam semesta
secara apriori. Rasionalisme menyatakan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah
akal atau ide.[10][10]
Descartes
menepikan fungsi indera dalam menemukan
kebenaran, Menurutnya indera hanya menipu dan akallah satu-satunya yang harus
menjadi panutan pertama dalam merumuskan kebenaran sesuatu. Seperti ketika
sebuah bulpen dicelupkan kedalam air, sekilas terlihat bulpen tersebut bengkok,
tetapi pada kenyataannya bulpen tersebut tidaklah bengkok, atau seperti ketika
melihat matahari, hal yang terlihat bahwa seakan matahari yang mengelilingi
bumi padahal kenyataannya bumi lah yang mengelilingi matahari. Jadi, dari dua
contoh tersebut Descartes menarik kesimpulan bahwa indera sangatlah menipu dan
tidak bisa dijadikan sebagai alat satu-satunya dalam mencari kebenaran. Tetapi
fungsi akallah yang harus diutamakan.
Akal
adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur
dengan akal. Manusia, menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan melalui
kegiatan akal menangkap objek.[11][11]
Dan kesimpulannya adalah segala sesuatu yang masuk akal disebut dengan
rasional.[12][12]
Akal
manusia merupakan salah satu potensi jiwa, dan disebut rasional soul. Ia ada
dua macam, pertama praktis bertugas mengendalikan badan dan mengatur tingkah
laku. Kedua, teoritis khusus berkenaan dengan persepsi dan epistimologi, karena
akal praktis inilah yang menerima persepsi-persepsi inderawi dan meringkas
pengertian-pengertian universal daripadanya dengan bantuan akal aktif, yang
terhadap jiwa kita bagaikan matahari terhadap pandangan mata kita. Dengan akal, kita bisa menganalisa dan
membuktikan. Dengan akal pula, kita menyingkap realita-realita ilmiah, karena
akal merupakan salah satu pintu pengetahuan.[13][13]
Akal
merupakan suatu anugerah yang diberikan kepada manusia yang digunakan untuk
berfikir dan untuk mencari hakikat
sesuatu atau dalam mencari kebenaran. Dengan akal pula manusia bisa mengetahui
sruktur alam dan masih banyak lagi hal-hal lainnya yang mampu dikenal dan
diketahui melalui akal.
Descartes
melahirkan beberapa pemikirannya dengan metode keragu-raguan . Descartes ingin
mencapai kepastian. Jika orang ragu-ragu, tampaklah ia berfikir, sehingga ia
akan tampak dengan segera adanya sebab dari proses berfikir tersebut. Oleh
karena itu, dari metoda keraguan ini, muncullah kepastian tentang eksistensi
dirinya. Itulah yang kemudian dirumuskan dengan “cogito ergo sum”(karena saya
berfikir, maka saya ada).[14][14]
Pemikirannya
tersebut sangat terkenal bahkan sampai hari ini. Descartes seorang filosof yang
mampu mengembangkan pemikirannya secara luas dan tidak takut dicerca oleh
filosof yang lain. Terdapat dua filosof yang menganut pemikirannya, yaitu
Spinoza dan Leibniz.
2. Riwayat Hidup
Spinoza dan karya-karyanya
Spinoza dilahirkan pada tanggal 24
November tahun 1632 dan meninggal dunia pada tanggal 21 Februari tahun 1677 M.
Nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan diri dari agama yahudi, ia
mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza. Ia hidup di pinggiran kota
Amsterdam. [15][15]Spinoza
dilahirkan oleh orang tua Yahudi yang melarikan diri dari pengejaran di
Spanyol, ia hidup di Amsterdam sampai dipaksa keluar oleh mereka yang membenci
pikiran bebasnya, bahkan sampai ada yang berusaha untuk membunuhnya.
Orang-orang dari Kristen ortodoks tidak menyukainya karena apa yang dilihatnya
sebagai ateisme.[16][16]
Spinoza
merupakan keturunan dari agama Yahudi. Menurutnya, banyak terdapat keraguan
dalam agama yang dianutnya, sehingga Ia ingin melepaskan diri dari agamanya
yaitu yahudi dan ia juga mengasingkan diri dan jauh dari masyarakat. Spinoza
adalah pengikut Rasionalisme Descartes, Ia memandang sesuatu itu benar melalui
akal. Seperti halnya Descartes yang menomor satukan akal dan menepikan indera
yang di anggapnya menyesatkan.
Selain
Spinoza ada tokoh filofof lain yang mengikuti pemikiran Rene Descartes, yaitu
Leibniz. Dua tokoh terakhir ini juga menjadikan substansi sebagai tema pokok
dalam metafisika mereka, dan mereka berdua juga mengikuti metode Descartes.
Tiga filosofi ini, Descartes, Spinoza, dan Leibniz, biasanya dikelompokkan ke
dalam satu mazhab, yaitu rasionalisme. De Spinoza memiliki cara berfikir yang
sama dengan Rene Descartes, ia mengatakan bahwa kebenaran itu terpusat pada
pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah jiwa, sedangkan keluasan adalah tubuh,
yang eksistensinya berbarengan.[17][17]
3. Panteisme Spinoza
Spinoza
adalah satu filsuf istimewa yang tidak hanya percaya pada apa yang dikatakannya, tetapi juga
bertindak sesuai dengannya. Bahkan ia menolak jabatan filsafat di Heidelberg
karena itu merupakan posisi resmi, dan bahwa hal itu menerima ide-ide dan
pembatasan-pembatasan resmi. Dari segala sisi, ia adalah orang yang jujur,
terhormat, dan sopan. Tentu saja hal ini menyebabkan ia diserang hampir oleh
setiap orang, bahkan setelah ia mati. Karya besarnya,”Ethics”,
tidak diterbitkan semasa hidupnya, dan buku-bukunya yang lain, yang dirumuskan
dengan tajam”Tractatus Theologico Politicus”dan “Tractatus Politicus”,
Pengaruhnya tidaklah besar. Seperti Descartes, Spinoza yakin bahwa dengan
mengikuti metode geometri , kita dapat menghasilkan pengetahuan yang tepat
mengenai dunia nyata. Namun, keyakinannya lebih jauh daripada Descartes, ia
berusaha untuk menyusun suatu Geometri Filsafat.[18][18]
Spinoza
mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kebenaran sesuatu,
sebagaimana pertanyaan, apa substansi dari sesuatu, bagaimana kebenaran itu
bisa benar-benar yang terbenar. Spinoza menjawabnya dengan pendekatan yang juga
dilakukan sebelumnya oleh Rene Descartes, yakni dengan pendekatan deduksi
matematis, yang dimulai dengan meletakkan definisi, aksioma, proposisi,
kemudian berubah membuat pembuktian (penyimpulan) berdasarkan definisi,
aksioma, atau proposisi itu.[19][19]
Bagi
Spinoza hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan. Dan satu substansi ini meliputi
baik dunia maupun manusia. Itulah sebabnya pendirian Spinoza disebut penteisme,
Tuhan disamakan dengan segala sesuatu yang ada. Spinoza juga beranggapan bahwa
satu substansi itu mempunyai ciri-ciri yang tak terhingga jumlahnya. Namun
demkikian kita hanya mengenal dua ciri saja, pemikiran dan keluasan. Pada
manusialah kedua ciri tersebut terdapat bersama-sama pemikiran (jiwa) dan
serentak juga keluasan tubuh.[20][20]
Descartes
, moyangnya yang amat dekat , membagi substansi menjadi tiga, yaitu tubuh
(bodies), jiwa, dan Tuhan. Spinoza berpendapat tentang substansi, Ia menyatakan
bahwa hanya ada satu substansi, dan satu substansi tidak dapat diciptakan dan
tidak dapat dirusak, ia tidak mempunyai permulaan dan tidak mempunyai akhir.[21][21]
Tubuh dan jiwa menurutnya adalah atribut(sifat asasi) yang satu . Tubuh dan
jiwa bukan substansi yang berdiri sendiri.
Spinoza
berpendapat bahwa Tuhan dan alam adalah satu dan sama. Teori ini dikenal dengan
nama Panteisme (secara harfiah berarti semua adalah Tuhan). Jadi ia menentang
baik Yahudi maupun Kristen. Spinoza percaya kepada Tuhan, tetapi Tuhan yang
dimaksudkannya adalah alam semesta ini. Tuhan Spinoza itu tidak berkemauan,
tidak melakukan sesuatu, tak terbatas (ultimate) . Tuhan itu tidak
memperhatikan sesuatu, juga tidak memperdulikan manusia. Inilah penjelasan
logis tentang Tuhan yang bahkan Newton sampai terkejut oleh pernyataan itu. Ini
tidak dapat diartikan bahwa Spinoza itu materialis. Ia hanya mengatakan, itulah
yang diketahui tentang Tuhan. Akibatnya, tindakan manusia dan Tuhan tidak
bebas. Dimana-mana di dalam alam semesta ini sebagaimana ia mestinya, semuanya
sudah ditentukan.[22][22]
Substansi
adalah apa yang ada dalam dirinya sendiri dan yang mengalaskan pengertian yang
mengenai pada dirinya sendiri, Artinya yang pengertiannya tidak memerlukan
pengertian dari sesuatu yang lain dengannya ia harus dibentuk. Jadi substansi
adalah sesuatu yang berdiri sendiri , yang tidak bergantung kepada apapun juga
yang lain. Substansi itu tentu hanya ada satu saja, sebab seandainya ada dua
substansi semacam itu, tentu aka nada nisbah antara keduanya. Padahal
pengertian nisbah mengandung di dalamnya pengertian ketergantungan. Substansi
yang satu itu adalah Allah, yang esa tiada batasnya secara mutlak.[23][23]
Berdasarkan
keyakinan ini maka segala sesuatu yang tak terbatas, dunia dengan segala
isinya, tidak dapat berdiri sendiri, melainkan tergantung kepada satu substansi
yang satu itu. Substansi yang satu itu berada di dalam segala sesuatu yang
beraneka raga ini. Segala yang beraneka ragam mewujudkan cara berada substansi
yang satu tadi.
Di
sini kesatuan antara Allah dan alam semesta untuk pertama kali diberi rumusan
secara modern. Substansi ini memiliki sebabnya dalam dirinya sendiri. Hakika
t(essential) nya mencakup juga keberadaan (existential) nya. Hakekatnya
ditentukan oleh atribut-atribut atau sifat-sifat asasinya yang tiada batasnya.
Tiap sifat asasi dengan cara yang sempurna mengungkapkan hakekat atau esensinya
yang kekal dan tak terbatas itu. Akan tetapi segala hal yang konkrit, yaitu
dunia yang berane raga ini, adalah modi atau cara berada satu substansi yang
satu itu.[24][24]
Demikianlah,
Pemikiran Spinoza tentang Allah, jiwa dan manusia yang merupakan satu kesatuan.
Dan berbeda dengan Descartes yang berpendapat bahwa antara Allah, jiwa dan
manusia merupakan sesuatu yang terpisah dan berdiri sendiri. Rasionalisme
Spinoza lebih luas dan lebih konsekuen dibanding dengan rasionalisme Descartes
. Baginya di dalam dunia tiada hal yang bersifat rahasia, karena akal atau
rasio manusia telah mencakup segala sesuatu, juga Tuhan. Bahkan Tuhan menjadi
sasaran akal yang terpenting.
4. Riwayat Hidup
Leibniz dan karya-karyanya(1646-1716)
Leibniz
lahir di kota Leipzig,
Sachsen pada
tahun 1646 meninggal pada tahun 1716. Orang tuanya, terutama ayahnya Friedrich
Leibniz sudah sejak awal membangkitkan rasa ketertarikannya terhadap
masalah-masalah yuridis dan falsafi. Ayahnya merupakan seorang ahli hukum dan
profesor dalam bidang etika
dan ibunya adalah putri seorang ahli hukum pula. Gottfried Leibniz telah
belajar bahasa Yunani dan bahasa Latin pada usia 8 tahun berkat kumpulan
buku-buku ayahnya yang luas. Pada usia 12 tahun ia telah mengembangkan beberapa
hipotesa logika yang menjadi bahasa simbol matematika.[25][25]
Seorang
filosof Jerman, matematikawan, fisikawan, dah sejarawan. Lama menjadi pegawai
pemerintah, menjadi atase, pembantu pejabat tinggi Negara pusat. [26][26]
Waktu mudanya ahli pikir Jerman ini mempelajari scholastic. Ia kenal
aliran-aliran filsafat modern dan mahir juga dalam ilmu. Ia menerima Substansi
Spinoza akan tetapi tidak menerima paham serbatuhannya(panteisme).[27][27]
Pusat
Metafisikanya adalah idea tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep
monad. Pada usia 15 tahun ia sudah menjadi mahasiswa di Universitas Leizig,
mempelajari hukum, tetapi ia juga mengikuti kuliah matematika dan filsafat.
Pada tahun 1666, tatkala ia belum berumur 21, ia menerima ijazah doctor dari
Universitas Altdorf, dekat Nuremberg, dengan disertasi berjudul De casibus
perplexis(On Complex Cases Law). Universitasnya sendiri menolak mengakui gelar
doktornya karena umurnya terlalu muda, makanya ia meninggalkan Leipzig pindah ke Nuremberg.[28][28]
Pada
januari-Maret 1673 Leibniz pergi ke London menjadi atase politik. Di sana ia
dapat bertemu dengan banyak ilmuwan seperti Robert Boyle. Tahun 1675 ia menetap
di Hannover, dari sana ia jalan-jalan ke London dan Amsterdam. Di Amsterdam ia
bertemu dengan Spinoza.[29][29]
5. Pemikiran Leibniz
Metasfisika
Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta
ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada sebab, sementara substansi
pada Leibniz adalah hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan.
Penuntun prinsip filsafat Leiniz ialah “ prinsip akal yang mencukupi, yang
secara sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan
Tuhan harus juga mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakanNya. [30][30]
Leibniz
juga pengikut aliran rasionalisme sama seperti halnya Spinoza, tetapi keduanya
berbeda dalam merumuskan substansi.” Prinsip akal yang mencukupi” merupakan
penuntun yang sangat berpengaruh dalam filsafat Leibniz, sehingga pemikiran
filsafatnya pun berkembang.
Leibniz
menuliskan karya-karyanya dalam bahasa Latin dan Perancis, seorang
ensiklopedis(Orang yang mengetahui segala lapangan pengetahuan pada amsanya).
Menurut Leibniz, substansi itu jumlahnya banyak atau tiada terhingga yang
kemudian ia namakan sebagai monad. Dalam suatu kalimat yang kemudian terkenal
Lebniz mengatakan”monad-monad tidak mempunyai jendela, tempat sesuatu bisa
masuk atau keluar”. Pernyataan ini berarti bahwa semuanya monad harus dianggap
tertutup seperti cogito Descartes.[31][31]
Spinoza
berpendapat bahwa hanya ada satu substansi, Leipniz berpendapat bahwa substansi
itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda
satu dengan yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya
monad yang tidak dicipta) adalah sang pencipta monad-monad itu. Maka karya
Leiniz tentang ini diberi judul Monadology (studi tentang monad) yang
ditulisnya 1714.[32][32]
Ini adalah singkatan metafisika Leibniz.
Ada
dua titik fokus leibniz yaitu monadelogi dan konsep Tuhan, leibniz mencoba
memberikan penjelasan tentang Tuhan,dan dia mempunyai argumen yang kuat untuk
membuktikan ada Tuhan, leibniz mencoba membuktikan tuhan dengan 4 argumen.
Pertama, dia mengatakan bahwa manusia memiliki ide kesempurnaan, makanya ada
Allah terbukti. ini disebut bukti ontologis. Kedua, dia berpendapat bahwa
, adanya alam semesta dan ketidaksempurnaannya membuktikan adanya sesuatu yang
melebihi alam semesta ini, dan yang transeden ini di sebut Allah. Ketiga, dia
berpendapat bahwa kita selalu mencari kebenaran yang abadi, tetapi tidak
tercapai menunjukan adanya pikiran yang abadi,yaitu Allah. Keempat, leibniz
mengatakan bahwa adanya keselarasan di antara monad-monad membuktikan bahwa
pada awal mula ada yang mencocokan meraka satu sama lain,yang mencocokannya itu
Allah.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Rasionalisme
adalah faham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat penting
dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Sejarah rasionalisme
sudah tua sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Ini
dilanjutkan dengan jelas sekali pada orang-orang sofis dan tokoh-tokoh
penentangnya (Socrates, Plato, Aristoteles), Pada zaman modern muncullah
tokoh-tokoh filsafat baru yang menganut paham rasionalisme. Adapun tokoh
pertama rasionalisme ialah Descartes, selanjutnya Spinoza dan Liebniz dari
Jerman.
Rene
Descartes(1596-1650) adalah filsuf Perancis yang dijuluki “bapak filsafat
modern”. Rene descartes adalah filosof yang mendirikan aliran rasionalisme.
Descartes melahirkan beberapa pemikirannya dengan metode keragu-raguan .
Descartes ingin mencapai kepastian. Jika orang ragu-ragu, tampaklah ia
berfikir, sehingga ia akan tampak dengan segera adanya sebab dari proses
berfikir tersebut. Oleh karena itu, dari metoda keraguan ini, muncullah kepastian
tentang eksistensi dirinya. Itulah yang kemudian dirumuskan dengan “cogito ergo
sum”(karena saya berfikir, maka saya ada.
Selanjutnya
Spinoza. Spinoza adalah satu filsuf istimewa yang tidak hanya percaya pada apa
yang dikatakannya, tetapi juga bertindak
sesuai dengannya. Spinoza mempunyai pemikiran bahwa hanya ada satu substansi,
yaitu Tuhan. Dan satu substansi ini meliputi baik dunia maupun manusia. Itulah
sebabnya pendirian Spinoza disebut penteisme, Tuhan disamakan dengan segala
sesuatu yang ada. Spinoza juga beranggapan bahwa satu substansi itu mempunyai
ciri-ciri yang tak terhingga jumlahnya. Namun demikian kita hanya mengenal dua
ciri saja, pemikiran dan keluasan. Pada manusialah kedua ciri tersebut terdapat
bersama-sama pemikiran (jiwa) dan serentak juga keluasan tubuh.
Filosof
terakhir yang mengikuti pemikiran rasionalisme Descartes adalah Leibniz. Leibniz
lahir di kota Leipzig,
Sachsen pada
tahun 1646 meninggal pada tahun 1716. Orang tuanya, terutama ayahnya Friedrich
Leibniz sudah sejak awal membangkitkan rasa ketertarikannya terhadap
masalah-masalah yuridis dan falsafi.
Metasfisika
Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta
ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada sebab, sementara substansi
pada Leibniz adalah hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan.
Penuntun prinsip filsafat Leiniz ialah “ prinsip akal yang mencukupi, yang
secara sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan
Tuhan harus juga mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakanNya.
2. Saran
Demikianlah
makalah yang sangat sederhana ini. Penulis sangat yakin bahwa masih banyak
kekurangan yang terdapat di dalam makalah ini. Penulis mengharapkan banyak
saran dan kritikan dari bapak pembimbing mata kuliah ini dan juga dari
kawan-kawan semuanya agar kiranya makalah ini bisa menjadi lebih sempurna.
Penulis
mohon maaf atas segala keterbatasan dan kekurangan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asmoro Achmadi,Filsafat
Umum,Cet I(Jakarta:Rajawali Pers)
Akhyar Yusuf Lubis,Filsafat Ilmu Pengetahuan,Cet I(Depok:Penerbit Koekoesan)
Ahmad Tafsir,Filsafat
Umum(Bandung:PT Remaja Rosdakarya)
Ahmad Tafsir,Filsafat Umum akal dan hati sejak
Thales sampai capra(Bandung:PT Rosdakarya)2005
Atang Abdul hakim,Filsafat Umum Dari Metodologi
Sampai Teolosofi,Cet I(Bandung:Pustaka Setia)
Hasan Bakti Nasution,Filsafat Ilmu,Cet I(Depok:Indie Publishing)
Harun Hadiwijono , Sari Sejarah Filsafat Barat,
Cet 19(Yogyakarta:Kanisius)2005
Juhaya S.Praja,Aliran-aliran Filsafat dan etik,Cet
I(Bogor:kencana)2003
Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern,Cet I(Jogjakarta:Ar-Ruzz)2005
Shidarta,Dasar-dasar
Filsafat,Cet I(Jakarta:UPT Penerbitan Universitas Tarumanagara)1999
Richard Orborne,Filsafat Untuk Pemula,Cet
7(Yogyakarta:kanisius)2008
Paul Strathern,90
Menit Bersama Descartes(Jakarta:Erlangga)2001
Poedjawijatna,Pembimbing Ke arah Alam Filsafat,
Cet 12(Jakarta:PT Rineka Cipta)
Yudian Wahyudi Asmin,Aliran dan Teori Filsafat Islam,Cet I(Jakarta:Bumu Aksara
[1][1]
Paul Strathern,90 Menit Bersama Descartes(Jakarta:Erlangga,2001)h.1
[2][2]
Paul Strathern,90 Menit Bersama……………….h. 1
[3][3]
Paul Strathern,90 Menit Bersama……………….h 2
[4][4]
Shidarta,Dasar-dasar Filsafat , Cet
I(Jakarta:UPT Penerbitan Universitas Tarumanagara,1999 )h.41
[6][6]
Atang Abdul
hakim,Filsafat Umum Dari Metodologi Sampai Teolosofi,Cet I(Bandung:Pustaka
Setia)h. 247
[8][8]
Ahmad Tafsir,Filsafat
Umum akal dan hati sejak Thales sampai capra(Bandung:PT Rosdakarya,2005) h.127
[11][11]
Ahmad Tafsir,Filsafat Umum(Bandung:PT
Remaja Rosdakarya)hlm 25
[12][12]
Hasan Bakti Nasution,Filsafat Ilmu,Cet
I(Depok:Indie Publishing)h.151
[13][13]
Yudian Wahyudi Asmin,Aliran dan Teori
Filsafat Islam,Cet I(Jakarta:Bumu Aksara)h.247
[15][15] Atang Abdul
hakim,Filsafat Umum Dari Metodologi Sampai Teolosofi,Cet
I(Bandung:Pustaka Setia)h.259
[19][19]
Atang Abdul hakim,Filsafat Umum Dari Metodologi Sampai…………………………..h.259
[25][25] http://id.wikipedia.org/wiki/Gottfried_Leibniz,di akses pada
tanggal 29 April 2013, pada pukul 07.45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar