Agaknya sepenggal
kalimat yang diungkapkan oleh Dr. A. H. Nasution di atas dapat memberikan kita
gambaran nyata tentang sosok mahasiswa dalam panggung pergerakan. Apa pun
kondisi yang sedang berlangsung saat ini, dan dari sudut pandang mana pun akan
kita tilik kondisi tersebut, tak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa adalah the
most important society. Mahasiswa adalah struktur unik dalam tatanan
kemasyarakatan, politik maupun budaya. Unik karena mahasiswa memiliki status,
latar belakang, dan ideologi yang boleh jadi membuat mereka bangga.
Dibalik itu semua, patut kita sadari bahwa mahasiswa adalah manusia biasa.
Anggota asli dari sebuah tatanan kemasyarakatan di mana mereka hidup dan
berjibaku di dalamnya. Dalam konteks ini, mahasiswa adalah figur lemah yang
senantiasa dijadikan objek (padahal mereka hakikinya adalah subjek). Namun,
dalam segala keterbatasan dan sangat biasanya mahasiswa, mereka bisa menjelma
menjadi sebuah kekuatan luar biasa yang tidak bisa dibendung dengan senjata apa
pun juga. Lebih lanjut, mahasiswa boleh jadi bangga atas intelektualitas yang
mereka miliki karena mereka termasuk orang-orang yang beruntung yang dapat
mengenyam pendidikan hingga jenjang yang tertinggi. Maka tidak salah memang,
jika mereka-mereka ini menyandang sebutan mahasiswa, status superior bagi
pelajar di Indonesia.
Status yang disandang ini memberikan konsekuensi logis adanya hubungan
timbal-balik antara status dan peran mahasiswa. Sebagai bagian dari masyarakat,
mahasiswa harus peka terhadap apa yang dialami dan dirasakan oleh masyarakat.
Mengutip Ali Syariati,seorang intelektual bagaikan direktur film. Ia harus
mengetahui, memahami, dan mengenal baik masyarakatnya. Apa yang ia katakan ada
sangkut-pautnya dengan masyarakat..dengan demikian tanggung jawab pokok
cendikiawan adalah membangkitkan dan membangun masyarakat[2] Pentingnya peran mahasiswa ini layak
kita garis-bawahi. Tidak hanya terletak pada posisi mahasiswa yang cenderung
‘elitis’ karena stigma positif yang melekat atas kedudukan mereka yang istimewa
di mata masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan aktivitas mahasiswa atas
tanggung jawab moral-sosial kemasyarakatan yang digantungkan oleh masyarakat
kepada mereka. Mahasiswa menjadi representatif bagi masyarakat dalam
mengaspirasikan tuntutan. Oleh karena itulah, tuntutan mahasiswa adalah
tuntutan rakyat, tuntutan yang atas nama Rakyat Indonesia.
Perjalanan Gerakan Mahasiswa
Tidak dapat dipungkiri peran mahasiswa menjadi begitu penting dalam sejarah
perjuangan bangsanya dari masa ke masa. Gerakan mahasiswa telah membuktikan
bahwa mereka mampu untuk menumbangkan keotoritarian kaum elite atas rakyatnya.
Gerakan mahasiswa untuk kemudian menjadi bentuk perjuangan dan kontribusi nyata
kaum intelektual atas tanggung jawab moral-sosial mereka kepada rakyat.
Gerakan mahasiswa tampaknya memang sudah menjadi tuntutan zaman.
Keberadaannya timbul dan tenggelam dalam pergolakan bangsa-bangsa yang ingin
menata kehidupan demokrasinya menuju ke arah yang lebih baik. Pengalaman
historis perjuangan bangsa telah membuktikan bahwa mahasiswa selalu memainkan
peranan penting dalam setiap perjuangan. Mahasiswa telah menjadi kekuatan yang
ada pada setiap perubahan yang tertoreh dalam sejarah bangsanya.
Istilah gerakan mahasiswa menjadi sangat populer setelah terjadi sebuah
fenomena monumental di tahun 1998.[3] Meskipun pada masa sebelumnya,
gerakan mahasiswa juga pernah secara aktif memelopori perubahan. Dalam konteks
transisi politik di Indonesia, gerakan mahasiswa telah memainkan peranan yang
penting sebagai kekuatan yang secara nyata mampu mendobrak rezim otoritarian.
Kalau kita melihat sejenak peran gerakan mahasiswa dalam konteks semangat
zamannya, kita bisa menengok kembali kepada peran mahasiswa dalam kurun waktu
yang amat menentukan dalam sejarah bangsa kita. Munculnya angkatan-angkatan
1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1978, dan 1998 di pentas politik baik yang
berhasil ataupun yang gagal total kiranya senantiasa dilandasi semangat untuk
melakukan kritik terhadap status quo dan mengharapkan kehidupan baru yang lebih
baik dan dengan impian dan harapan yang lebih baik pula.
Mahasiswa pernah menjadi salah satu bagian dari gerakan pemuda yang tidak
dapat dipisahkan dengan proses perjuangan bangsa, sejak terjadinya kebangkitan
pemuda 1908. Pada masa kebangkitan nasional ini, kaum intelektual muda adalah
bagian pendobrak cara pandang yang kolot dengan mengadopsi cara pikir yang cerdas.
Posisi kaum intelektual (mahasiswa) pasca 1908 adalah munculnya generasi
gerakan di tahun 1966 yang diyakini berhasil menumbangkan rezim Orde Lama dan
menggantikannya dengan rezim Orde Baru. Kemudian, gerakan mahasiswa angkatan
1978 muncul sebagai kekuatan yang menolak usaha-usaha depolitisasi terhadap
mahasiswa. Sementara itu, angkatan 1980-an muncul sebagai generasi gerakan
kritis yang tidak memunculkan gerakan yang masif, tetapi intensif terjun
lagsung dalam masyarakat dalam kelompok-kelompok diskusi dan LSM-LSM yang
bekerja secara langsung dalam basis masyarakat. Puncak dari gerakan mahasiswa
terjadi pada angkatan 1998 yang diyakini berhasil menumbangkan rezim Orde Baru.
Gerakan yang dipelopori mahasiswa ini bersifat masif dan berhasil meruntuhkan hegemoni
dan kekuasaan riil negara. Bahkan, militer pun berhasil diredupkan posisinya
berkat kekuataan massa di bawah kepeloporan mahasiswa-mahasiswa.
Gerakan mahasiswa dari masa ke masa selalu memberikan nafas baru yang
kemudian melahirkan aktivis-aktivis mahasiswa yang cerdas dan berani. Pada
umumnya, gerakan yang dibangun oleh para aktivis mahasiswa ini berangkat dari
sebuah kesadaran tentang posisi masyarakat yang berhadapan dengan negara
(konsep patron-client). Kesadaran tersebut kemudian membawa aktivitas
gerakan pada sebuah tujuan yang hendak dicapai. Dengan melibatkan berbagai
wacana yang mampu mendukung terwujudnya tujuan gerakan, para aktivis akan
mengembangkan sebuah metode, strategi, atau taktik gerakan sebagai hasil dan
tindak lanjut dari tingkat kesadaran yang mereka miliki tentang ketegangan
antara negara dengan masyarakat. Dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia
sendiri, aktivitas gerakan mahasiswa selalu mengalami pasang surut, tercapai
atau tidaknya tujuan gerakan sangat tergantung pada metode dan strategi gerakan
yang digunakan. Beda zaman beda tantangan, begitulah gambaran dinamika gerakan
mahasiswa dalam torehan sejarah.
Gerakan Mahasiswa dari Masa ke Masa
1. Munculnya
Pergerakan Kaum Terpelajar (1908)
Kaum terpelajar Indonesia muncul seiring dibangunnya sekolah-sekolah oleh
Belanda pada abad-18. Dari pembangunan tersebut hingga tahun 1906 di Hindia
sudah terdapat beberapa orang terpelajar pribumi yang kebanyakan berasal dari
keluarga para raja atau bangsawan tinggi mendapatkan pendidikan menengah dan
tinggi. Munculnya perguruan tinggi di Hindia Belanda merupakan politik etis
(politik balas jasa) yang diterapkan Belanda yang meliputi aspek edukasi,
emigrasi, dan imigrasi. Sayangnya, politik etis tersebut hanyalah merupakan
taktik dari kolonial untuk mendapatkan tenaga terdidik yang murah untuk membuka
lahan perkebunan, dan membuat irigasi yang tentunya hanya menguntungkan pihak
Belanda. Walaupun demikian, peran politik etis ini menjadi besar bagi
kemunculan kaum terpelajar yang pada awalnya masih didominasi oleh putra-putra
priyayi, yang dari perkenalannya dengan Eropa mereka menyadari kekurangan
bangsanya: tingkat pendidikan, pengetahuan dan ilmu, terutama teknologi, dan
peradaban pada umumnya.[4]
Munculnya kaum terpelajar turut mendorong berkembangnya
organisasi-organisasi soSial. Organisasi soSial yang pertama kali muncul adalah Sarikat Priyayi pada
tahun 1906. Organisasi ini didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo, termasuk Thamrin
Mohamad Thabrie dan R.A.A. Prawiradiredja. Sarikat Priyayi kemudian tidak
berkembang karena tidak mampu menggerakkan para priyayi yang sudah mapan, dan
tidak mau bergerak tanpa restu dari pemerintah. Kemudian pada tahun 1908
berdirilah Boedi Oetomo dengan tokoh-tokohnya antara lain E. Douwes Dekker dan
Wahidin Soediro Hoesodo. Boedi Oetomo didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh
pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, sebuah sekolah
kedokteran di Jakarta.
Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur
pengorganisasian modern. Tujuan didirikannya organisasi ini adalah menghendaki
adanya kemajuan bagi Hindia. Wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan
keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya.
Awalnya Boedi Oetomo bergerak secara terbatas di Jawa dan Madura, tetapi
kemudian meluas ke seluruh Hindia. Bidang kegiatan yang dipilih oleh Boedi
Oetomo adalah bidang pendidikan dan budaya, dengan tidak melibatkan diri dalam
kegiatan politik.
Pada kongres pertama di Yogyakarta,
tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan: Kemajuan yang selaras
buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian,
peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan. Keterlibatan
golongan tua moderat dan priyayi yang mengutamakan jabatan, membuat Boedi
Oetomo justru semakin melemah dan terjerembab masuk dalam kerangka politik
etis. Kondisi ini menjadikan Boedi Oetomo cenderung memajukan pendidikan bagi
priyayi dengan meluaskan pendidikan Barat.
Pada tahun 1911, di Solo berdiri sebuah perkumpulan bernama Sarekat Islam
(SI). Organisasi ini didirikan bukan semata-mata sebagai perlawanan terehadap
para pedagang-pedagang Cina, tetapi juga digunakan sebagai front untuk melawan
semua bentuk penghinaan terhadap rakyat bumiputera. Organisasi merupakan reaksi terhadap
rencana krestenings-politiek (politik pengkristenan) dari
kaum zending, perlawanan terhadap penindasan dari pihak kolonial.
Berbeda dengan Boedi Oetomo yang elitis karena hanya berada di lingkungan
priyayi, SI mampu menjamah lapisan masyarakat bawah untuk melawan segala bentuk
penindasan dan kesombongan rasial.
Tujuan didirikannya SI antara lain: mengembangkan jiwa berdagang; memberi bantuan kepada anggota-anggotanya yang menderita
kesukaran; memajukan pengajaran dan semua yang dapat mempercepat naiknya
derajat bumiputera; dan menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang islam.
Tujuan SI secara tidak langsung menghubungkan organisasi ini dengan dunia
politik.
Disamping itu, pada tahun 1908, para mahasiswa Indonesia yang sedang
belajar di Belanda, salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam mendirikanorganisasi
bernamaIndische Vereeniging yang kemudian berubah nama menjadiIndonesische
Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat
kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan
terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan,
pada tahun 1925 organisasi ini berganti nama baru menjadiPerhimpunan
Indonesia. Perhimpunan
Indonesia menyerukan kesatuan di antara organisasi-organisasi yang ada. Dari
persatuan tersebut diharapkan terbentuk front tunggal yang dapat menarik dukungan massa atas dasar nasionalisme. Metode
yang digunakan untuk mendapatkan pengaruh adalah melalui boycott terhadap
dewan tuan tanah kolonial, mengikuti contoh India dengan gerakan non-cooperation,
dan secara umum bergantung pada kekuatan dan kemampuan bangsa sendiri.[5]
Berdirinya Indische Vereeniging dan organisasi-organisasi
lain, seperti: Indische Partij yang merupakan partai politik pertama di Hindia
yang berdiri pada tanggal 25 Desember 1912 dengan Douwes Dekker sebagai ketua
dan Tjipto Mangunkusomo sebagai wakilnya yang senantiasa melontarkan propaganda
kemerdekaan Indonesia; Sarekat Islam; Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV)
yang berhaluanMarxisme, menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah
politik. Hal tersebut di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi
di sisi lain sangat melemahkan Boedi Oetomo karena banyak orang kemudian
memandang Boedi Oetomo terlalu lembek oleh karena hanya menuju “kemajuan yang
selaras” dan terlalu elitis serta sempit keanggotaannya (yaitu hanya untuk
daerah yang berkebudayaan Jawa).
Kehadiran Boedi Oetomo, Indische Vereeniging, dan lain-lain
pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah
angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor
terdepannya. Generasi 1908 dengan tujuan utamanya menumbuhkan kesadaran
kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh
kemerdekaan kian mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan
pendidikan yang mereka berikan untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan
kolonialisme.
2. 1928
Pada tahun 1922, sekumpulan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische
Vereeniging yang kemudian berubah menjadi Perhimpunan Indonesia)
kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan
di Indonesia, dan melihat situasi politik yang dihadapi, mereka membentuk
kelompok studi yang mempraktekkan ide-ide mereka dan dikenal amat berpengaruh
karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi
Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada
tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo.
Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie Club) yang kemudian menjadi Perserikatan Nasional Indonesia,
direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada
tanggal 11 Juli 1925. Tujuan PNI sendiri adalah bekerja untuk kemerdekaan
Indonesia dengan dua metode yang digunakan, yaitu pertama, ke
dalam: dengan mengadakan kursus-kursus, mendirikan sekolah-sekolah, bank-bank,
dan sebagainya; kedua, keluar: dengan memperkuat opini publik di
rapat-rapat umum (vergadering) dan menerbitkan surat-surat kabar.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul
kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun
seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok
Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke
Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten
Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis
pemuda itulah, generasi baru pemuda Indonesia muncul dan tercetus Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui
Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928,
dimotori oleh PPPI. Pada tahun 1930 hampir semua perkumpulan pemuda Indonesia
mempersatukan diri dalam Indonesia Muda.
3. 1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang
ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap
penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi
partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas.
Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia
(PBI) sedangkan Kelompok Studi Umum menjadiPerserikatan Nasional Indonesia
(PNI).
Secara umum, kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman
pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda,
Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942 terjadi pelarangan semua kegiatan
yang berbau politik, dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan semua
organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik. Praktis, akibat
kondisi yang sangat represif itu, mahasiswa dan pemuda memilih melakukan
kegiatan berkumpul dan berdiskusi di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal
dalam sejarah kemerdekaan dan berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh
adalah Asrama Angkatan Baru Indonesia (Menteng 31), Asrama Fakultas Kedokteran
(Cikini), dan Asrama Indonesia Merdeka (Kebon Sirih).
Asrama Angkatan Baru Indonesia (Menteng 31) didirikan dengan tujuan
menciptakan inti aktivis yang setelah menyelesaikan pendidikannya akan disebar
ke daerah-daerah. Tema pendidikan dalam asrama ini berpusat pada masalah
nasionalisme dan Semangat Asia Timur Raya. Siswa-siswa dalam asrama ini antara
lain Chairul Saleh dan Sukarni, mereka merupakanangkatan muda 1945 yang
bersejarah, yang pada saat itu terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan
Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini yang kemudian
dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok.
Berbeda dengan Asrama Angkatan Baru Indonesia, Asrama Fakultas Kedokteran
dihuni oleh mahasiswa dari latar belakang menengah ke atas yang kesehariannya
menggunakan bahasa Belanda dengan pandangan sosial demokratnya, juga bukan
kelompok pemuda yang aktif dalam kegiatan politik. Sedangkan Asrama Indonesia
Merdeka didirikan dengan tujuan untuk mengimbangi Angkatan Darat dalam menarik
pemuda. Dan pada akhir tahun 1944, berdiri organisasi bernama Angkatan Muda
yang dalam konferensinya menghasilkan beberapa resolusi antara lain: Pertama,
seluruh golongan harus dipersatukan dan disentralisasi di bawah satu pimpinan
tunggal. Kedua, kemerdekaan Indonesia harus diwujudkan secepat
mungkin.
4. 1966
Pasca proklamasi kemerdekaan, muncul berbagai organisasi mahasiswa dengan
dasar ideologi yang berbeda-beda. Pada tanggal 5 Februari 1947 diresmikan
terebentuknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kemudian diikuti berdirinya
Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) pada tanggal 25 Maret 1947 dan
kemudian disusul dengan berdirinya Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik
Indonesia (PMKRI). Organisasi-organisasi mahasiswa ini menggunakan ideologi
agama seperti Islam, Kristen, dan Katholik. Kemunculan organisasi-organisasi
mahasiswa ini mengikuti lahirnya partai-partai politik yang juga menggunakan
basis ideologi agama seperti Masyumi yang berdiri tanggal 7 November 1945 dan
Partai Katholik yang berdiri tanggal 8 Desember 1945.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan
penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra
kampus kebanyakan merupakan organisasi dibawah partai-partai politik. Misalnya, Perhimpunan
Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) dengan Partai Katholik;
sementara partai besar lainnya yaitu partai Nasional Indonesia (PNI) juga
memiliki organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri
tanggal 23 maret 1954;Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan
PSI;Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang berafiliasi dengan
Partai NU; Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi; dan
Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang dibentuk pada tahun 1956
sebagai hasil penggabungan tiga organisasi kecil mahasiswa di Bandung, Bogor,
dan Yogyakarta. Pada Kongres CGMI ke IV tahun 1964 di Jakarta dinyatakan CGMI
akan mendekati partai yang berpihak kepada rakyat. Dalam perkembangannya, CGMI
memiliki kedekatan dengan PKI. Program yang dibawa oleh CGMI waktu itu adalah
Tritunggal, yaitu: pertama, studi; kedua, menjadi
nomer satu dalam studi; ketiga, bergerak di bawah. Diantara
organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai
salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955.
Di permulaan tahun 60an dan pada periode Demokrasi Terpimpin, para
mahasiswa berhadapan dengan dua kekuatan besar yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat
(LEKRA) dan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Lekra mempunyai pengaruh yang
besar dalam kehidupan intelektual Indonesia waktu itu. Organisasi ini
memasukkan pandangan-pandangan mereka dalam bidang kesenian, kesusastraan, dan
gagasan-gagasan dengan pendekatan realisme kritis atau romantisme revolusioner.
Lekra anti terhadap nilai-nilai kebudayaan yang non-Indonesia. Sedangkan
Manikebu bertujuan untuk membendung makin besarnya kekuatan Lekra dalam
kehidupan kesusastraan dan kesenian. Kelompok ini menolak politik kebudayaan
nasional sempit yang dicanangkan oleh Soekarno dengan dukungan kuat Lekra.
Organisasi gerakan mahasiswa yang meramaikan panggung perpolitikan dalam
masa Demokrasi Terpimpin adalah organisasi yang memiliki afiliasi pada partai
politik. Mereka saling berlomba, adu program untuk mendapatkan massa yang besar.
Organisasi mahasiswa yang tersingkir dari panggung politik mengorganisir diri
melalui kesatuan-kesatuan aksi. Puncaknya ketika pecahnya peristiwa G30S,
mahasiswa berideologi liberal yang tersingkir kemudian bersatu dengan tentara.
Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober
1965 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil
dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen
dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia
(GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa
Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya,
terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI
menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan. Sebelum KAMI gerakan
mahasiswa yang menyikapi peristiwa G30S masih bersifat local. Kemunculan KAMI
tersebut membuat isu yang dibawa semakin terfokus menjadi Trotura (Tri Tuntutan
Rakyat) yang berisi: Bubarkan PKI, retool Kabinet Dwikora, dan turunkan harga
barang. Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi
Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI),
Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain. Titik puncak aksi
mahasiswa terjadi pada saat diadakannya pelantikan kabinet Dwikora tanggal 24
Februari 1966 oleh Soekarno di istana Presiden. Ketika demonstrasi mencapai
jalan Merdeka Utara, dua demonstran yaitu Arief Rahman Hakin (mahasiswa
Kedokteran UI) dan Zubaedah (pelajar sekolah menegah) tewas tertembak.
Pada tahun 1965 dan 1966,
pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut
mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan ‘66, yang
menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya
gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat
itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di
antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya
dari PMKRI,Akbar Tanjung dari HMI, dan lain-lain. Angkatan ‘66
mengangkat isu komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil
membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis
yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir,
aktivis Angkatan ‘66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di
kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. Di masa ini
ada salah satu tokoh yang sangat idealis, yang sampai sekarang menjadi panutan
bagi mahasiswa-mahasiswa yang idealis setelah masanya, dia adalah seorang
aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati yang penting pandangan
idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini, dia adalah Soe Hok Gie
5. 1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974,
adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan
militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.
Pasca peristiwa G 30S, gerakan mahasiswa cenderung memakai konsep gerakan moral
(moral force). Dalam konsepsi ini, mahasiswa bertindak sebagai kekuatan
moral daripada sebagai kekuatan politik, dalam arti bahwa mahasiswa muncul
sebagai aktor politik ketika situasi bangsa sedang krisis, setelah krisis
berlalu kemudian kembalike kampus belajar. Arief Budiman menyebut gerakan ini
sebagai Gerakan Koreksi. Gerakan ini sifatnya hanya melakukan kritik terhadap
suatu permasalahan. Gerakan ini merasa tidak perlu mengumpulkan massa yang
besar dan melengkapi dirinya dengan ideologi alternatif.
Bangkitnya gerakan mahasiswa pada periode ini tidak dapat dilepaskan dari
konstalasi politik dan ekonomi nasional pada waktu itu. Jika pada tahun 1968
dan 1969 kondisi kampus tenang-tenang saja, maka pada tahun 1970 terjadi
berbagai aksi dan protes yangdilakukan oleh mahasiswa. Beberapa alasan yang
menyebabkan terjadinya aksi ini adalah faktor objektif seperti jumlah mahasiswa
bertambah terus tetapi anggaran pendidikan relatif kurang; jumlah mahasiswa
baru yang tidak sepadan dibandingkan dengan fasilitas yang tersedia,
meningkatnya inflasi dan bertambahnya kesulitan hidup sehari-hari; semua itu
menimbulkan ketegangan. Ditambah lagi dengan merajalelanya korupsi di tahun
1970 yang mengiringi pertumbuhan ekonomi di samping munculnya tanda-tanda
pertama dari boom minyak. Selain itu, pembangunan ternyata
tidak membuat sejahtera seluruh lapisan masyarakat, pembangunan hanya dinikmati
oleh sekelompok kecil masyarakat.
Pada tahun 1970 para aktivis yang dimotori oleh Arief Budiman membentuk
gerakan bernama Mahasiswa Menggugat. Gerakan ini memprotes kenaikan harga
bensin yang mengakibatkan harga-harga dan juga korupsi. Diikuti dengan
gerakan-gerakan anti korupsi dalam skala yang lebih luas, pada tahun 1970,
pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti
Korupsi (KAK) yang diketuai olehWilopo.
Terbentuknya Komite Anti Korupsi ini dapat dilihat sebagai reaksi kekecewaan
mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi
Empat.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal
1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan
koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
Golongan Putih
(Golput) yang menentang pelaksanaanpemilu pertama
di masa Orde Baru pada 1972 karena Golkardinilai
curang.
Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada tahun
1973 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde
Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan
berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan
memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat
antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang
yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat
maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai
pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka
mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang
dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan.
Golongan putih (Golput) dimaksudkan untuk menghimpun orang-orang yang tidak
mengikuti pemilu
Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap
pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang
dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek
pembangunan Taman
Mini Indonesia Indah (TMII)
di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Pada akhir 1973, suasana semakin menghangat dengan
berbagai faktor seperti lahirnya UU perkawinan dan isu modal asing yang masuk
ke Indonesia seiring dengan diangkatnya Asisten Pribadi (Aspri) Presiden.
Memasuki tahun 1974, pada tanggal 14 Januari mahasiswa berdemonstrasi di
lapangan udara Halim Perdanakusuma memprotes kedatangan Perdana Menteri
Jepang Tanaka yang datang ke Indonesia dan sehari kemudian
mahasiswa meneriakkan kembali tritura yang berisi: 1. Bubarkan Asisten pribadi
(Aspri); 2. Turunkan harga; 3. Ganyang Korupsi. Demostrasi ini memuncak pada
tanggal 15 Januari yang membuat pusat kota Jakarta sempat terhenti aktivitasnya
selama dua hari. Hampir 1000 mobil, kebanyakan buatan Jepang, 144 gedung
dibakar atau dirusak, 9 orang meninggal, seratus lebih cedera dan 820 orang
ditangkap. Peristiwaq ni kemudian dikenal dengan peristiwa Malari atau
Malapetaka 15 Januari 1974. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatanAsisten
Pribadi Presiden.
6. 1978
Setelah peristiwa Malari, dikeluarkan SK Pemerintah No. 028/1974 yang
memberi wewenang yang lebih besar kepada pimpinan perguruan tinggi untuk
mengontrol aktivitas mahasiswa di kampus, pers mahasiwa harus diawasi oleh
Menteri Penerangan dan birokrat kampus, dan peraturan yang mengharuskan
organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan partai untuk bergabung menjadi
satu organisasi yang diatur oleh rejim, ditambah dengan pencucian otak para
mahasiswa dengan pembentukan komisi yang merubah Pancasila menjadi alat kontrol
politik.
Hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris
sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah
sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja
Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana.
Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977,
barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai
masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai
dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen
anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi
dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat
lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan
nasional.
Pada gerakan mahasiswa tahun 1978, mahasiswa memfokuskan membangun aliansi
antara dewan mahasiswa ketimbang membangun aliansi dengan faksi-faksi elit yang
tidak mendukung Soeharto. Pada bulan Januari 1978, dewan mahasiswa ITB
menerbitkan Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 yang dinyatakan sebagai kritik
Indonesia sistematis pertama terhadap kebijakan rezim Orde Baru. Buku ini
mencerca pemerintah untuk korupsi yang meluas, kebijakan ekonomi yang
memfasilitasi kepentingan memperkaya diri sendiri dengan biaya kesejahteraan
sosial, represi terhadap suara politik independen dan kehilangan hubungan
dengan rakyat.
Pada periode ini terjadi pendudukan militer atas kampus-kampus karena
mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah
karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi
diwilayah kampus dan tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa
tahun 1974. Akibatnya, pada tanggal 21 Januari 1978Pangkomkamtib Soedomo
menerbitkan SK Komkamtib yang berisi tentang pembubaran Dewan Mahasiswa
semua universitas dan pendudukan atau pengambilalihan kampus oleh militer.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga mengeluarkan instruksi No.1/U/1978 dan
SK Menteri pendidikan dan kebudayaan No.037/U/1979 yang berisi pembubaran Dewan
Mahasiswa dan pembatasan aktivitas mahasiswa.
Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah
dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap
terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
7. Era
NKK/BKK
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang
dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep
Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh
pemerintah secara paksa. Upaya pemerintah untuk mengeliminasi mahasiswa dari
kegiatan politik semakin kuat ketika pada tanggal 19 April 1978, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan yang saat itu dijabat oleh Daoed Joesoef menerapkan
kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang berarti menata ulang dan
redefinisi kampus secara mendasar, fungsional, dan bertahap. Kebijakan ini
membuat mahasiswa hanya boleh melakukan kegiatan kampus dan dilarang
berhhubungan dengan kehidupan politik praktis. Kebijakan ini dituangkan dalam
SK Menteri pendidikan dan Kebudayaan No.0156/V/1978 yang menyatakan bahwa
aktivitas dan ekspresi politik mahasiswa di dalam kampus adalah tidak sah serta
hanya mengijinkan adanya diskusi akademik tentang subjek politik. Selain SK
Mendikbud, dirjen DIKTI juga mengeluarkan instruksi No.002/DK/Inst/1978 yang
menempatkan semua aktivitas mahasiswa di bawah kontrol Pembantu Rektor III yang
dibantu oleh pembantu dekan III di tiap fakultas. Keputusan tersebut
mengakibatkan adanya badan koordinasi untuk urusan kemahasiswaan, sebuah institusi
kampus yang memberikan otoritas efektif pada rektor untuk menunjuk atau
mengganti pemimpin organisasi mahasiswa dengan segera.
Tanggal 24 Februari 1979, setelah melewati pembahasan intensif antara
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan para rektor, Mendikbud mengeluarkan SK
No.37/U/1979 yang mengatur Bentuk Susunan Lembaga atau organisasi Kemahasiswaan
Lingkungan Perguruan Tinggi Departemen P dan K. dengan begitu di tiap perguruan
tinggi dibentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) sebagai badan
nonstruktural yang berfungsi membantu rektor untuk merencanakan kegiatan
mahasiswa. Dengan begitu maka sejak peraturan-peraturan itu dimunculkan,
praktis semua kegiatan mahasiswa baik kurikuler maupun non kurikuler dikontrol
oleh pimpinan perguruan tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali
Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat
fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas
(BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang
kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan
mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan,
pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan
ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik
menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa,
karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik
tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi
rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra
kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap
mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Kelompok Studi
(KS)merupakan arena untuk mengasah kemampuan kritis mereka atas persoalan
sosial dan politik. KS muncul sebagai alternatif akibat ketidakmampuan
organisasi mahasiswa formal di kampus untuk menyalurkan ide-ide kritis
mahasiswa mengenai perubahan sosial. Era KS dimulai sejak 1982-1983,
kemunculannya yang meskipun berjumlah kecil dan hanya terdapat di kota-kota
tertentu mampu meramaikan kembali gerakan mahasiswa. Pemikiran-pemikiran kritis
yang dikaji dalam KS antara lai karya Karl Marx, Paolo Freire, Ivan Illich,
Jurgen Habermas, dan Michael Foucalt.
Dalam perkembangannya, eksistensi kelompok ini tidak
hanyaberfungsi sebagai arena untuk diskusi melainkan juga mealkukan
aksi-aksi advokasi. Advokasi tersebut berupa turun ke bawah yakni bekerja sama
dengan dan mendampingi kaum buruh dan petani. Kehadiran
wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur menjadi
alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis
mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif
pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI(Himpunan
Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katholik
RepublikIndonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang
lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan
pers mahasiswa.
Selain kemunculan berbagai macam organisasi mahasiswa tersebut, gerakan
mahasiswa pada massa ini juga mengaplikasikan hasil diskusinya dengan cara
melakukan pengorganisiran di basis-basis massa rakyat. Demonstrasi-demonstrasi
kampus pertama muncul kembali pada 1987 yang memuncak pada tahun 1989 dalam
rangkaian protes mahasiswa mengenai isu tanah dan kekerasan terhadap rakyat
sipil. Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa
antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo,Kacapiring, Blengguan, Pandega, dan
lain-lain. Kasus Kedung Ombo patut diberi catatan tersendiri karena kasus ini
yang membawa para mahasiswa kembali keluar dari ruang kuliahnya dan terlibat ke
dalam masalah sosial politik. Bahkan leibh dari itu, kerjasama antara mahasiswa
yang ada di berbagai kota di Jawa Tengah dan Jakarta mulai dibina.
8. 1990
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan
NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan
(PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus
yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya
terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra
menanggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki
sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan
gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT
tidak lain hanya semacam hidden agendauntuk menarik mahasiswa ke
kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar
kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan
tinggi karena kegagalan konsep ini. Konsep SMPT tidak banyak berbeda dengan
NKK/BKK. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh
korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan
bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti
oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian
model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski
tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya
perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal
kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik
dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987-1990 sehingga
akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi.
Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi denganlongmarch ke
DPR/DPRD tetap terlarang.
Fenomena negara yang sangat kuat sehingga bisa mengontrol kebebasan
berbicara dan berpikir masyarakat khususnya mahasiswa, membangun kesadaran
massif di antara kalangan mahasiswa, sehingga ketika terjadi sikap-sikap
otoriter dari negara, ingatan masyarakat semakin mengental untuk menyatakan
sikap ketidaksetujuan terhadap negara otoriter.
Gerakan menjadi bertambah besar sejak terjadinya peristiwa 27 Juli 1996
yang disertai dengan hilangnya aktivis prodemokrasi. Dalam peristiwa 27 Juli
1996 ini sebenarnya masyarakat mulai melihat bahwa proses politik mengalami
kemandegan yang luar biasa serta semakin jelasnya posisi negara Orde baru yang
otoriter. Peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI telah memicu pengorganisasian
kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan ideologi. Ideologi dalam
hal ini lebih dipahami sebagai kesamaan cita-cita dan tatanan nilai yang sama.
Landasan nilai yang sama tersebut memudahkan melakukan pengorganisasian yang
kemudian diarahkan untuk melakukan perlawanan wacana terhadap isu yang
dikembangkan oleh negara dan aparat militer.
9. 1998
Badai krisis ekonomi terjadi pada tahun 1997. Krisis ini bermula dari
jatuhnya mata uang Thailand (Bath) dan kemudian menyapu seluruh Asia Tenggara.
Pada bulan Juli 1997 nilai tukar rupiah menurun menjadi 2400, akibatnya terjadi
lonjakan pengangguran, industri gulung tikar, dan perdagangan macet. Untuk
mengatasi hal tersebut, Soeharto memohon bantuan kepada negara-negara
imperialis melalui IMF dengan syarat Indonesia harus mencabut subsidi terhadap
barang-barang kebutuhan pokok. Akhirnya, Soeharto mengumumkan kenaikan tarif
transportasi umum, hanya beberapa jam setelah sebelumnya mengumumkan kenaikan
listrik dan BBM (bahan bakar minyak), sesuai dengan rekomendasi IMF untuk
mengurangi subsidi bagi kedua komoditas tersebut. Ketika rupiah jatuh pada
nilai 10.000 terhadap dolar Amerika, Soeharto kembali membuat konsensus dengan
IMF dengan mencabut subsidi atas BBM dan listrik. Akibatnya, harga bahan bakar
naik sebesar 47% dan listrik rata-rata naik sebesar 60%.
Mahasiswa menemukan momentumnya seiring dengan krisis ekonomi yang terjadi
tersebut. Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif
dan kualitatif gerakan mahasiswa naik secara drastis, dari tuntutan yang sudah
politis dan metode yang radikal. Pelaku gerakan pada masa ini bukan hanya
organisasi-organisasi gerakan yang sudah lama bergerak sejak tahun 80an
melainkan juga kalangan aktivis kampus dari organisasi-organisasi seperti Senat
Mahasiswa, BEM, dan senat-senat fakultas. Para aktor dari kalangan kmapus ini
menyebut gerakan mereka sebagai gerakan moral dengan format aksi keprihatinan
di kampus. Mereka juga banyak didukung oleh para staf pengajar dan pimpinan
perguruan tinggi yan menjadikan gerakan mahasiswa sebagai gerakan civitas
academica.
Selama bulan Maret pasca terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden yang
ketujuh kalinya sampai bulan Mei, isu dan tuntutan mahasiswa semakin meningkat
dan bertambah banyak. Target politiknya juga jelas yaitu menuntut Soeharto
untuk mundur. Puncaknya terjadi pada tanggal 12 Mei 1998, ketika 6 mahasiswa
Trisakti gugur diterjang peluru militer. Peristiwa ini menyulut solidaritas dan
perlawanan yang semakin massif dari mahasiswa dan masyarakat. Tanggal 13 Mei,
lebih dari 32 aksi di 16 kota di Indonesia serentak digelar untuk menyatakan
solidaritas. Selain aksi besar-besaran dengan ribuan massa yang terjadi
diberbagai kota di Indonesia, peristiwa lain yang mempercepat proses turunnya
Soeharto adalah pendudukan terhadap Gedung MPR/DPR yang dilakukan oleh puluhan
ribu mahasiswa sejak tanggal 18 Mei 1998. Akhirnya tanggal 21 Mei 1998,
Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya. peristiwa yang disiarkan
langsung oleh stasiun televisi nasonal dan swasta ini kemudian disambut dengan
gembira oleh mahasiwa dan masyarakat.
Gerakan mahasiswa 1998 lebih merupakan kebangkitan civil
society yang dukungannya berasal dari kekuatan civil societyitu
sendiri. Jika berbicara tentang proses radikalisasi yang terjadi dalam gerakan
mahasiswa pada periode Mei 1998, para aktivis mahasiswa sendiri menyadari bahwa
banyaknya mahasiswa yang turun dan begitu seringnya mendapatkan perlakuan buruk
dari pihak aparat dalah faktor yang cukup penting. Dari peristiwa-peristiwa
berdarah yang tidak jarang meminta korban jiwa itulah sebenarnya muncul satu
bentuk semangat perlawanan bersama yang terus menjalar di benak aktivis gerakan
dan diikuti oleh semakin banyak kelompok mahasiswa dan masyarakat lainnya. Jadi
ikatan yang paling menonjol dari gerakan mahasiswa angkatan 1998 bukan terletak
pada kepentingan ideologi, tetapi pada semangat kebersamaan.
Hal lain yang juga menarik untuk diamati dari ciri khas gerakan mahasiwa
Angkatan 1998 ini adalah strategi gerakan yang dikembangkan adalah strategi
untuk menyatukan diri dengan kekuatan masyarakat secara umum. Selain naluri
gerakan muncul dari kesadaran akan adanya ketegangan antara negara dan
masyarakat, tingkat kesadaran yang lebih tinggi adalah bahwa mereka merasa
bagian dari masyarakat.
10. Pasca
Reformasi
Masa Habibie
Pasca reformasi, praktis gerakan mahasiswa mulai menemukan polanya
masing-masing. Gerakan mahasiswa yang tadinya seiring sejalan dalam menurunkan
Soeharto kini mulai berguguran dan terpecah ke dalam dua kelompok pada periode
Habibie yaitu gerakan mahasiswa yang mendukung Habibie dan gerakan mahasiswa
yang tidak mendukung Habibie. Dengan dorongan tuntutan reformasi rezim Habibie,
pada bulan November diadakan Sidang istimewa. Sepanjang dilakukannya Sidang
Istimewa, mahasiswa melakukan demonstrasi. Demonstrasi tersebut tidak dilakukan
oleh mahasiswa sendiri tetapi terhitung hingga ratusan ribu rakyat menolak
Sidang Istimewa. Puncaknya pada Sidang Istimewa terakhir terjadi tragedi
Semanggi di mana 18 orang meninggal dunia, tujuh mahasiswa, satu siswa SMU,
sembilan orang pejalan kaki, dan satu polisi. 253 orang terluka sedang yang
terluka oleh tembakan senjata api adalah 14 mahasiswa, satu dosen, dua siswa
SMU, dan 15 pejalan kaki.
Empat bulan sejak peristiwa Semanggi I, gerakan mahasiswa mengalami
penurunan dalam kuantitas peserta demonstrasi yang sangat drastik. Dalam
menghadapi Pemilu 1999, gerakan mahasiswa kembali terpecah dalan tiga
sikap. Pertama,mendukung pelaksanaan pemilu. Kedua, gerakan
mahasiswa yang mendukung pemilu dengan syarat. Ketiga, gerakan
mahasiswa yangtetap meneruskan isu-isu utama sebelumnya antara lain: pengadilan
Soeharto beserta kroni-kroninya, penghapusan KKN, pencabutan Dwi Fungsi ABRI,
dan pembentukan pemerintahan transisi.
Pasca pemilu, rezim Habibie ingin mensahkan RUU-PKB yang dibuat oleh DPR.
Dan kebijakan ini pun ditolak oleh mahasiswa dan massa rakyat dengan melakukan
perlawanan. Hal ini karena isi pasalnya memberikan kewenangan besar dalam
tugas-tugas polisional kepada militer, dalam situasi negara dinilai darurat
atau dalam keadaan berbahaya. Puncak aksi penolakan ini berujung pada Peristiwa
Semanggi II yang terjadi pada 23-24 September dimana korban dari mahasiswa dan
masyarakat kembali berjatuhan.
Masa Gus Dur
Kemenangan PDI-P dalam Pemilu tidak serta merta mengantarkan Megawati
Soekarno Putri menjadi presiden. Berdasarkan hasil voting anggota MPR, Gus Dur
mengungguli Mega yang berarti membawa Gus Dur menjadi presiden. Dalam
pemerintahan Gus Dur, terjadi perkembangan baru dalam dunia kampus, gerakan
mahasiswa menyebutnya privatisai kampus, sementara rezim menyebutnya otonomi
kampus. Pemberian status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada empat Perguruan
Tinggi Negeri yaitu UI, ITB, UGM, dan IPB pada tahun 2004 berimplikasi pada
penghentian subsidi pendidikan dan mengharuskan perguruan tinggi mencari dana
sendiri. Isu-isu mengenai pendidikan kemudian marak diusung oleh gerakan
mahasiswa pada masa ini. Tuntutan mereka antara lain:pendidikan murah,
perombakan kurikulum pendidikan, dan peningkatan kesejahteraan guru.
Kesimpulan
Dalam bingkai sejarah, gerakan mahasiswa pernah menjadi bagian dari sebuah
gerakan pemuda Indonesia. Mahasiswa pernah menjadi salah satu bagian dari
gerakan pemuda sebagaimana dilukiskan sebagai sosok yang dinamis ini, posisi
pemuda yang didalamnya termasuk mahasiswa, tidak bisa dipisahkan dengan proses
perjuangan bangsa, sejak terjadinya kebangkitan pemuda 1908. Pemuda adalah
pelopor pada zamannya. Pada masa kebangkitan nasional, pemuda adalah bagian
pendobrak cara pandang kegelapan dengan cara mengadopsi cara pikei yang
aukflaris dalam gegap gempita modernisasi.
Pemuda memiliki posisi mitologis sebagai kekuatan selalu tampil untuk
menyuarakan dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan menentang segala
bentuk ketidakadilan pada zamannya. Dan dari perjalanan sejarah sejak
pembentukan bangsa modern sampai dengan reformasi ini, pemuda (mahasiswa)
terbukti selalu memberikan kontribusi yang sangat besar bagi bangsa dan rakyat
Indonesia. Kesan herois ini di satu sisi memang tidak bisa ditolak, meskipun di
sisi lain perlu dikritisi secara mendalam.
Keragaman latar belakang, motivasi, visi politik serta orientasi
masing-masing kesatuan aksi telah menjadikan gerakan mahasiswa tidak dapat
dilihat sebagai entitas yang homogen. Apalagi jika dilihat dari perjalanan
gerarakan mahasiswa, sangat sulit menempatkan unsur mahasiswa sebagai satu
barisan monolitik dari civil society. Terlalu banyak varian dan afiliasi terhadap kelompok-kelompok lain yang
kemudian muncul sebagai variasi gerakan mahasiswa.
Gerakan mahasiswa tidak terbatas pada sebuah gerakan yang lahir dari
mahasiswa yang menginginkan perubahan dan sekedar mendobrak status quo, tetapi
juga gerakan yang berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang diperjuangkan.
Disadari atau tidak, gerakan mahasiswa akan selalu identik dengan perubahan.
Seperti yang dikatakan oleh Saul Alinsky, seorang aktivis Amerika bahwaChange
means movement. Movement means friction. Only in the frictionless vacuum
of a nonexistent abstract world can movement or change occur without that
abrasive friction of conflict.[6] Sejauh mana kita kaji perjalanan gerakan
mahasiswa, berhasil atau tidaknya tujuan yang hendak dicapai tidak hanya
bergantung dari strategi atau taktik yang diterapkan oleh mahasiswa dalam
penyelesaian konflik atau ketegangan antara negara dan rakyat. Tetapi juga,
sejauh mana mahasiswa mampu berafiliasi dan membangun jaringan ke tingkat
elite, turun ke bawah mengadvokasi akar rumput, bergelut dengan friksi demi
tercapainya sebuah perubahan yang nyata, serta menjadi penghubung
lidah rakyat dengan tuntutan yang atas nama rakyat Indonesia kepada negaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar