Sejarah
Pakkat dimulai dari migrasi orang-orang marga Pohan (Pardosi) ke Gotting atau
Tukka yang sekarang masuk dalam wilayah kec. Pakkat atau dikenal dengan negeri
Rambe.
Naskah
Jawi yang dialihtuliskan di sini dipetik dari kumpulan naskah Barus dan
dijilidkan lalu disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML
16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan
berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah
Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.
Kisah
dalam buku tersebut dimulai dengan kata-kata “Bermula dihikayatkan suatu raja
dalam negeri Toba sila-silahi (Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige), kampung
Parsoluhan, suku Pohan .” Raja yang bersangkutan adalah Raja Kesaktian dan
dalam kisah itu tercatat bahwa anaknya, Alang Pardoksi (Pardosi), meninggalkan
jantung tanah Toba untuk merantau.
Alang
Pardosi meninggalkan keluarga dan rumahnya sesudah bertikai dengan ayahnya;
bersama istri dan pengikutnya dia berjalan ke barat. Dalam sepuluh halaman
pertama diceritakan perbuatan-perbuatan Alang Pardosi yang gagah berani, tanah
yang dinyatakannya sebagai haknya di rantau, jaringan pemukiman baru yang
didirikannya, dan perbenturannya dengan kelompok perantau lain dari Toba.
Alang
Pardosi mengklaim hak atas sebidang tanah yang luas, yang merentang dari
Kampung Tundang di Rambe (Pakkat sekarang), tempat ia menetap, ke barat sampai
Singkil, ke timur sampai perbatasan Pasaribu, ke hilir sampai ke tepi laut.
Termasuk di dalamnya Barus.
Keluarga
yang berselisih dengan Alang Pardosi adalah keluarga Si Namora. Si Namorapun
telah meninggalkan rumahnya di Dolok Sanggul sebagai akibat percekcokan dalam
keluarga. Bersama istrinya dia menetap di Pakkat, dan Alang Pardosi, Sang Raja,
menyadari kehadirannya ketika pada suatu hari dilihatnya sebatang kayu yang
mengapung di sungai. Raja memungut upeti dari Si Namora sesuai dengan adat
berupa kepala ikan atau binatang apapun yang dapat dibunuh Si Namora.
Si
Namora berputera tiga orang yang beristrikan ketiga puteri Alang Pardosi.
Akhirnya yang sulung dari ketiga putera Si Namora yaitu Si Purba, mengambil
keputusan untuk mempermasalahkan hubungan antara kedua keluarga sebagai pemberi
dan penerima upeti. Maksudnya itu dilaksanakan dengan mengakali Pardosi.
Untuk
itu dia harus kembali ke kampung ayahnya di Toba; dia harus mengumpulkan
kekayaan keluarga berupa kain dan pusaka. Lalu dari kain-kain itu Purba
membuatkan patung seekor rusa yang rupanya bukan main hebatnya dan kepalanya
dipersembahkan kepada Pardosi sebagai Upeti. Alang Pardosi begitu takut melihat
persembahan tersebut dan begitu takut melihat binatang tersebut dan membebaskan
keluarga Si Purba dari ikatan memberi upeti.
Setelah
Alang Pardosi diperdaya, dia mencium adanya gugatan mengenai kedudukannya
sebagai raja. Perang meletus dan si Purba memakai penghianatan untuk mengusir
Alang Pardosi dan mengambil alih pemukimannya di Si Pigembar. Sebuah kudeta
terjadi. Alang Pardosi kemudian mendirikan pemerintahan “in exile” di Huta
Ginjang, kota yang baru dibangunnya.
Namun
ada pembalasan dari pihak raja yang terusir. Saat kepemimpinan Si Purba
pemukiman dirundung kelaparan. Raja yang sah, Alang Pardosi, diminta kembali
untuk mengobati keadaan. Namun dia menolak dan meminta supaya si Purba membuatkannya
rumah di Gotting, sebuah bukit antara Pakkat ke Barus, bukit tersebut dibelah
oleh sebuh jalan yang menyempit di antara dinding batu napal yang keras, sekita
lima kilometer dari Pakkat menuju Barus, di atas sebuah jalan sehingga semua
orang yang ingin melalui jalan tersebut harus lewat di bawah rumahnya.
Kedudukannya di sedemikian di persimpangan jalan-jalan penting memberi
kekuasaan besar kepada Alang Pardosi yang menjadi raja yang paling berkuasa
dari raja-raja Negeri Batak. Si Purba, kemudian, tinggal di tanah yang dibukan
ayahnya yaitu Tanah Rambe atau Pakkat.
Jadi
dalam kronik, Raja Alang Pardosi dengan demikian ditentukan sebagai pendiri
garis keturunan baru. Proses ini berlanjut terus seusai dia wafat. Kedua
anaknya, dari istri kedua puteri Aceh; Pucara Duan Pardosi dan Guru Marsakot
Pardosi berpisah dan pindah ke arah yang berlainan supaya tidak bertikai.
Pucara
Duan tinggal pindah ke arah pantai dan menetap di daerah Tukka yang pada abad
ke-19 merupakan pusat besar untuk penghimpunan persediaan kapur barus dan
kemenyan dan dari sana dibawa ke Barus.
Guru
Marsakot pindah lebih dekat lagi ke tepi laut, ke suatu tempat yang bernama
Lobu Tua. Di sana dia berjumpa dengan komunitas Tamil dan Hindu yang kapalnya
terdampar. Guru Marsakot dijadikan raja mereka berdasarkan tuntunanya bahwa
keluarganya mempunyai tanah tersebut. Maka tanah tersebut berkembang menjadi
negeri yang makmur dengan nama Pancur atau Fansur menurut istilah Arab dikenal
juga bernama Fanfur, yang didatangi orang India, Arab dan Aceh untuk berdagang.
Kedua
cabang keluarga tersebut tetap berhubungan sampai dalam generasi berikutnya.
Maka ketika anak Pucaro Duan, Raja Tutung (Raja Tuktung), terlibat dalam
perselisihan dengan anak dan pengganti Si Purba, cabang keluarga dari Lobu Tua
datang membantunya.
Saat
Guru Marsakot wafat, ia digantikan oleh anaknya, Tuan Namura Raja. Anaknya,
Raja Kadir, adalah raja pertama yang menjadi Muslim. Akhirnya Fansur diserang
oleh orang “Gergasi” dan penduduk lari menyeberangi sungai untuk mendirikan dua
pemukiman baru, Kuala Barus dan Kota Beriang.
Pada
masa inilah, seorang putera Pasaribu, Sultan Ibrahimsyah Pasaribu mendirikan
pemukiman di Barus bersama pengikutnya yang datang dari negeri Tarusan, di
Minagkabau dan singgah terlebih dahulu di Bakkara. Mereka adalah keturuna
Dinasti Hatorusan yang didirikan oleh Raja Uti, putera Tatea Bulan. Saat
pemukiman Sultan Ibrahimsyah telah berkembang, dia baru menyadari bahwa tanah
tersebut sudah ada yang menguasainya.
Anak
dari Sultan Mualif, pengganti Raja Kadir setalah wafat, Sultan Marah Pangsu
Pardosi, menggugat Ibrahimsyah yang menetap di negerinya. Namun Ibrahimsyah
mengangkat sumpah untuk membuktikan bahwa dialah yang menjadi pemiliknya.
Kompromipun terjadi dan didirkan dua pemukian di barus, yang satu di Hulu dan
yang lain di Hilir.
Sultan
Ibrahimsyah kemudian menikah dengan Putri Sultan Marah Pangsu. Dalam
perkembangan politik berikutnya, saat wafatnya Sultan Marah Pangsu, Ibrahimsyah
membunuh semua anak laki-laki Marah Pangsu agar dia bisa menjadi satu-satunya
raja di Barus.
Ternyata
otoritas kerajaan hulu dipegang oleh saudara Marah Pangsu yaitu Sultan Marah
Sifat yang telah mengunsi dan membuka wilayah baru bernama Si Antomas
(Manduamas?) pada tahun 710 Hijriyah. Marah Sifat berkoalisi dengan Aceh untuk
memeriangi Ibrahimsyah Pasaribu. Sultan Aceh menyatakan perang kepda penguasa
tunggal Barus, Ibrahimsyahpun dipenggal dalam sebuah perang penyerbuan ke Barus
pada tahun 785 Hijriyah.
Kepalanya
dibawa ke Aceh dan Raja Aceh menendang dan menghinanya. Sebagai akibat
perlakukan Ibrahimsyah yang marah dan tidak mau menyesal. Namun, karma terjadi
kepara penguasa Acej tersebut dan dia jatuh sakit. Supaya sembuh, dia
memutuskan untuk membayar kerugian kepada kepala tersebut.
Kepala
Sultan Ibrahimsyah dikirim kembali ke Barus dengan kekhidmatan dan upacara
kerajaan, diiringi sepucuk surat yang membebaskan Barus dari keharusn membayar
upeti kepada Aceh.
Sesudah
itu kedua keluarga raja Barus; Pardosi dan Pasaribu, hidup berdampingan selaman
beberapa generasi dalam hubungan yang kurang lancar. Marah Sifat digantikan
oleh anaknya Raja Bongsu, Sultan Marah Bongsu. Ibrahimsyah digantikan oleh
Sultan Yusuf dengan gelar Raja Uti yang kemudian gugur di Aceh ketika membalas
dendam atas kematian ayahnya. Dia digantikan oleh Sultan Alam Syah yang
mempunyai dia anak Raja Marah Sultan dan Sultan Nan Bagonjong Pasaribu.
Pada
masa ini peraturan dan undang-undang negara dikodifikasi. Termasuk adat dan
tatacara upacara dan pengangkatan pembesar. Hukum dan undang-undang yang
berlaku adalah perbaduan adat Batak, adat Melayu, adat Aceh, adat Hindu dan
adat orang Islam. Lebih jelas mengenai detail undang-undang tersebut lihat
nahkah asli dari hikayat tersebut.
Pada
tahun 1050 Hijriyah atau atahun 1644 M, Belanda datang dan meminta ijin untuk
bermukim dan mendirikan koloni perdagangan di Barus.
Kronik
dalam buku hikayat ini juga menceritakan bahwa kepemimpinan raja-raja belia
dari hulu dengan bendahara (perdana menteri) berasal dari hilir selama mereka
belum akil.
Yang
pertama dari bendahara itu ialah Marah Sultan, wali untuk anak Maharaja Bongsu,
Raja Kecil. Sultan Maharaja Bongsu sendiri pada tahun 1054 Hijriyah berhasil
memakmurkan negerinya dengan berbagai kebijakan politiknya. Pada waktu itu
Marah Sultan beristrikan saudari Raja Kecil. Sesudah Marah Sultan wafat,
anaknya, Sultan Marah Sihat, memfitnah Raja Kecil; kepada Daulat, raja Minang,
diceritakan bahwa Raja Kecil tidak mengenal agama dan tidak mau mematuhi peraturan
yang sudah ditetapkan. Termakan oleh fitnah jahat tersebut, Daulat membunuh
Raja Kecil. Pendukung Kesultanan Pardosi, yakni orang-orang Manullang mengajak
Belanda untuk memerangi Raja Daulat. Dia akhitnya melarikan diri.
Meskipun
demikian Sultan Marah Sihat menyarankan agar Raja Muda di Hulu Sultan Marah
Pangkat Pardosi yang diangkat menjadi pengganti raja dan bukan anaknya sendiri
yang bernama Sultan Larangan Pasaribu. Sultan Pangkat dianggapnya layak menjadi
raja tunggal sebab dialah yang memegang pusaka-pusaka yang tepat.
Sultan
Marah Pangkatpun diangkat menjadi raja pada tahun 1170 Hijriyah. Setelah dia
wafat dia digantikan oleh putera mahkota Sultan Baginda Pardosi pada tahun 1213
Hijriyah. Di masa kepemimpinan Marah Pangkat, dia melakukan banyak pembaharuan
olitk dan hukum. Diantaranya, beberapa peraturan mengenai hak tanah, perbatasan
kerajaan dan adat yang berlaku kepada rakyatnya di Barus.
Pada
tahun 1194 Hijriyah, perusahaan Belanda hengkang dari Barus karena tumpur dan
bangkrut. Beberapa tahuan sebelum abad ke-20 mereka kembali lagi.
Raja
di Hilir, Sultan Larangan marah dan kecewa dengan sikap ayahnya tersebut. Maka
dia meninggalkan Barus dan menetap di Sorkam. Di sana dia menamakan diri Tuanku
Bendahara meskipun dia tidak memegang tampuk pemerintahan.
Kompetisi
kekuasaan antara penguasa Hulu dan Hilir yang digambarkan sebagai pertikaian
Barus dan Sorkam berlangsung beberapa generasi. Di Barus, putera Sultan Marah
Pangkat yakni Raja Adil, menggantikan ayahnya dan memperkukuh perjanjian-perjanjian
yang ada antara Barus dan berbagai daerah Batak pedalaman. Raja Adil diangkat
menjadi raja pada tahun 1213 Hijriyah (1789 M). Pada tahun 1241 H (1824 M)
digantikan oleh anaknya sendiri Sultan Sailan Pardosi.
Di
Sorkan sesudah Sultan Larangan wafat, saudaranya Sultan Kesyari Pasaribu
mengadukan kepada komunitas Batak Pasaribu kedudukannya yang rendah,
wewenangnya yang kurang besar dan alat kerajaan yang tidak boleh dipakainya.
Dia berhasil, akhirnya dia diangkat menjadi Raja Bukit di Sorkam, meskipun raja
Barus tidak mengakui otoritasnya.
Sultan
Kesyari wafat dan digantikan oleh puteranya Sultan Main Alam. Dia terlibat
perselisihan dengan kesultanan Pardosi, Sultan Sailan yang bergelar Tuanku Raja
Barus. Tuanku Raja Barus tidak mengijinkan Sultan Main Alam Pasaribu untuk
menggunakan alat-alat dan simbol-simbol kerajaan dalam pernikahannya.
Sultan
Pasaribu ini meminta pertolongan politk dengan komunitas Meulaboh (Aceh) yang
berdomisili dalam koloni mereka di Kota Kuala Gadang, Barus. Main Alam
mendapatkan keinginanya saat dia diakui menjadi raja mereka dan memberinya
gelar Tuanku Bendahara. Perang meletus. Antara Pasukan Pardosi dengan Pasukan
Pasaribu yang didukur prajurit-prajurit Meulaboh dan Aceh dari Kuala Gadang.
Dikisahkan, orang Meulaboh ternyata juga ingin mendapat pembagian kekuasaan di
Barus.
Sultan
Baginda pardosi wafat pada tahun 1241 Hijriyah dan digantikan oleh Putera
Sultan sailan. Setelah Sultan Sailan wafat dia digantikan oleh putranya Sultan
Limba Tua. Di era ini belanda sudah mulai berkuasa. Mereka berhasil menduduki
Barus dengan mengadu domba antara penguasa Hilir dan Hulu Barus yang selama
beberapa genarasi saling bunuh-bunuhan walau mereka sudah terikat tali
perkawinan satu sama laina. Selama tiga generasi berikutnya Kesultanan Batak
yang dipegang oleh Kesultana Pardosi dari Tukka dan Kesultanan Pasaribu
keturunan Kerajaan Hatorusan, Raja Uti, pun akhirnya punah. Kesultanan Pardosi
berakhir ditangan generasi terakhir Sultan Marah Tulang yang menjadi raja pada
tahun 1270 H atau sekitar tahun 1856.
Kesultanan
Pardosi, mulai dari Raja Kadir Pardosi yang masuk agama Islam sampai generasi
terakhir berasal dari satu keluarga dan pewarisan tahta yang dipegang oleh satu
keluarga. Yaitu orang Batak yang berasal dari Tukka.
Silsilah
Dinasti Kesultanan Batak Pardosi di Barus.
Raja
Tua Pardosi Raja Kadir Pardosi Raja Mualif Pardosi Sultan Marah Pangsu Pardosi
(700-an Hijriyah) Sultan Marah Sifat Pardosi Tuanku Maraja Bongsu Pardosi (1054
H) Tuanku Raja Kecil Pardosi Sultan Daeng Pardosi Sultan Marah Tulang Pardosi
Sultan Munawah Syah Pardosi Sultan Marah Pangkat Pardosi (1170 H) Sultan
Baginda Raja Adil Pardosi (1213 H) Sultan Sailan Pardosi (1241 H ) Sultan Limba
Tua Pardosi Sultan Ma’in Intan Pardosi Sultan Agama yang bernama Sultan Subum
Pardosi Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi (1270 H)