1. Ulos
Jugia.
Ulos ini
disebut juga “ulos naso ra pipot atau “pinunsaan”.
Biasanya
ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos
“homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” (berupa lemari
pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak
diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau
kata lain “naung gabe” (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya
laki-laki dan perempuan). Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau belum
mempunyai keturuan walaupun telah mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang
tua tersebut belum bisa disebut atau digolongkan dengan tingkalan saur matua.
Hanya orang yang disebut “nagabe” sajalah yang berhak memakai ulos tersebut.
Jadi ukuran hagabeon dalam adat suku Batak bukanlah ditinjau dari kedudukan
pangkat maupun kekayaan.
Tingginya
aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan benda langka hingga
banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering menjadi barang warisan orang
tua kepada anaknya dan nialainya sama dengan “sitoppi” (emas yang dipakai oleh
istri raja pada waktu pesta) yang ukurannya sama dengan ukuran padi yang
disepakati dan tentu jumlah besar.
2. Ulos
Ragi Hidup.
Ulos ini
setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos ini adalah yang
paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat pemakainya dalam upacara
adat Batak .
Ulos ini
dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara
suka cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat
pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan
semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si
habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain, yang
dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu.
Dalam
system kekeluargaan orang Batak. Kelompok satu marga ( dongan tubu) adalah
kelompok “sisada raga-raga sisada somba” terhadap kelompok marga lain. Ada
pepatah yang mengatakan “martanda do suhul, marbona sakkalan, marnata do suhut,
marnampuna do ugasan”, yang dapat diartikan walaupun pesta itu untuk
kepentingan bersama, hak yang punya hajat (suhut sihabolonan) tetap diakui
sebagai pengambil kata putus (putusan terakhir). Dengan memakai ulos ini akan
jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah.
Pembuatan
ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan
secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan orang
yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang.
Kepala ulos atas bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan
bagian tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya
dikerjakan lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan
(diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut ulos “Ragi Hidup”.
Mengapa
harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu
tertentu menurut “hatiha” Batak (kalender Batak). Bila dimulai Artia (hari
pertama) selesai di Tula (hari tengah dua puluh).
Bila
siorangtua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang sulung sedang
yang lainnya memakai ulos “sibolang”. Ulos ini juga sangat baik bila diberikan
sebagai ulos “Panggabei” (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang
meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi Hidup sama dengan ulos jugia.
Pada
upacara perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos “Pansamot” (untuk
orang tua pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada
pengantin oleh siapa pun. Dan didaerah Simalungun ulos Ragi Hidup tidak boleh
dipakai oleh kaum wanita.
3. Ragi
Hotang.
Ulos ini
biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai ulos
“Marjabu”. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti
rotan (hotang).
Cara
pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan
pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah
kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti terikat. Pada jaman
dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan
ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak) tersebut.
4. Ulos
Sadum.
Ulos ini
penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana
suka cita. Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya dipakai sebagai
panjangki/parompa (gendongan) bagi keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja.
Untuk mengundang (marontang) raja raja, ulos ini dipakai sebagai alas sirih
diatas piring besar (pinggan godang burangir/harunduk panyurduan).
Aturan
pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli
Selatan dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah
lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai
hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi sebagai kenang kenangan kepada
pejabat pejabat yang berkunjung ke daerah.
5.Ulos
Runjat.
Ulos ini
biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos
“edang-edang” (dipakai pada waktu pergi ke undangan). Ulos ini dapat juga
diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut versi (tohonan) Dalihan
Natolu diluar hasuhutan bolon, misalnya oleh Tulang (paman), pariban (kakak
pengantin perempuan yang sudah kawin), dan pamarai (pakcik pengantin
perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu “mangupa-upa” dalam acara
pesta gembira (ulaon silas ni roha).
Kelima
jenis ulos ini adalah merupakan ulos homitan (simpanan) yang hanya kelihatan
pada waktu tertentu saja. Karena ulos ini jarang dipakai hingga tidak perlu
dicuci dan biasanya cukup dijemur di siang hari pada waktu masa bulan purnama
(tula).
6. Ulos
Sibolang.
Ulos ini
dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita. Untuk keperluan duka
cita biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya menonjol, sedang bila dalam
acara suka cita dipilih dari warna yang putihnya menonjol.
Dalam
acara duka cita ulos ini paling banyak dipergunakan orang. Untuk ulos “saput”
atau ulos “tujung” harusnya dari jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang
lain.
Dalam
upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai “tutup ni ampang” dan juga
bisa disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang warnanya putihnya menonjol.
Inilah
yang disebut “ulos pamontari”. Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala
peristiwa adat maka ulos ini dinilai paling tinggi dari segi adat batak.
Harganya relatif murah sehingga dapat dijangkau orang kebanyakan. Ulos ini
tidak lajim dipakai sebagai ulos pangupa atau parompa.
7.Ulos
Suri-suri Ganjang.
Biasanya
disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk sisir memanjang.
Dahulu ulos ini diperguakan sebagai ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu
margondang (memukul gendang) ulos ini dipakai hula-hula menyambut pihak anak
boru. Ulos ini juga dapat diberikan sebagai “ulos tondi” kepada pengantin. Ulos
ini sering juga dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe. Ada keistimewaan ulos
ini yaitu karena panjangnya melebihi ulos biasa. Bila dipakai sebagai ampe-ampe
bisa mencapai dua kali lilit pada bahu kiri dan kanan sehingga kelihatan
sipemakai layaknya memakai dua ulos.
8. Ulos
Mangiring.
Ulos ini
mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan kesuburan dan
kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai ulos parompa kepada
cucunya.
Seiring
dengan pemberian ulos itu kelak akan lahir anak, kemudian lahir pula
adik-adiknya sebagai temannya seiring dan sejalan. Ulos ini juga dapat dipakai
sebagai pakaian sehari-hari dalam bentuk tali-tali (detar) untuk kaum
laki-laki. Bagi kaum wanita juga dapat dipakai sebagai saong (tudung). Pada
waktu upacara “mampe goar” (pembaptisan anak) ulos ini juga dapat dipakai
sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu. Bila mampe
goar untuk anak sulung harus ulos jenis “Bintang Maratur”.
9. Bintang
Maratur.
Ulos ini
menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang yang teratur
didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam
ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal “sinadongan” (kekayaan) atau hasangapon
(kemuliaan) tidak ada yang timpang, semuanya berada dalam tingkatan yang
rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari dapat dipakai sebagai hande-hande
(ampe-ampe), juga dapat dipakai sebagai tali-tali atau saong. Sedangkan nilai
dan fungsinya sama dengan ulos mangiring dan harganya relatif sama.
10.
Sitoluntuho-Bolean.
Ulos ini
biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak
mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir
sebagai ulos parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan, yang dalam
istilah adat batak dikatakan sebagai ulos panoropi yang diberikan hula-hula
kepada boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena
raginya/coraknya berjejer tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai
untuk melubang tanah guna menanam benih.
11. Ulos
Jungkit.
Ulos ini
jenis ulos “nanidondang” atau ulos paruda (permata). Purada atau permata
merupakan penghias dari ulos tersebut. Dahulu ulos ini dipakai oleh para anak
gadis dan keluarga Raja-raja untuk hoba-hoba yang dipakai hingga dada. Juga
dipakai pada waktu menerima tamu pembesar atau pada waktu kawin.
Pada waktu
dahulu kala, purada atau permata ini dibawa oleh saudagar-saudagar dari India
lewat Bandar Barus. Pada pertengahan abad XX ini, permata tersebut tidak ada
lagi diperdagangkan. Maka bentuk permata dari ragi ulos tersebut diganti dengan
cara “manjungkit” (mengkait) benang ulos tersebut. Ragi yang dibuat hampir
mirip dengan kain songket buatan Rejang atau Lebong. Karena proses pembuatannya
sangat sulit, menyebabkan ulos ini merupakan barang langka, maka kedudukannya
diganti oleh kain songket tersebut.
Inilah
sebabnya baik didaerah leluhur si Raja Batak pun pada waktu acara perkawinan
kain songket ini biasa dipakai para anak gadis/pengantin perempuan sebagai
pengganti ulos nanidondang. Disinilah pertanda atau merupakan suatu bukti telah
pudarnya nilai ulos bagi orang Batak.
12. Ulos
Lobu-Lobu.
Jenis ulos
ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang memerlukannya, karena ulos ini
mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama orang yang sering dirundung
kemalangan (kematian anak). Karenanya tidak pernah diperdagangkan atau disimpan
diparmonang-monangan, itulah sebabnya orang jarang mengenal ulos ini. Bentuknya
seperti kain sarung dan rambunya tidak boleh dipotong. Ulos ini juga disebut
ulos “giun hinarharan”. Jaman dahulu para orang tua sering memberikan ulos ini
kepada anaknya yang sedang mengandung (hamil tua). Tujuannya agar nantinya anak
yang dikandung lahir dengan selamat.
Masih
banyak lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos antara lain: Ragi Panai, Ragi
Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi
Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos
Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul, Ulos Takkup, dan banyak lagi nama-nama ulos yang
belum disebut disini. Menurut orang-orang tua jenis ulos mencapai 57 jenis.
ULOS RAGI
NAPITU
Naginoaranna
ulos ragi napitu, ima:
1.Ulos
tapoltua
2.Ulos
panghopol
3.Ulos
sampetua
4. Ulos
sampuborna
5. Ulos
sabinmaligas
6. Ulos
hembangtua
7. Ulos
nasoraburuk
1. ULOS
TAPOLTUA ( Kesempatan Pertama Sekali seseorang Menerima Ulos yakni baru lahir)
Najolo
Dung sorang dakdanak dipasahat ompungna manang tulangna do ulos di tingki
mangharoani manang martutu aek (zaman pra kristen maridi tu aek pansuran
parhutaan ada ritual). I ma nanidokna sinuaeng on ulos parompa, ulos tapoltua
do digoari angka ompu naparjolo. Tapol-tapol ni anak nabisuk, tapol-tapol ni
boru namarroha.
Ulos
Parompa on di pasahat tingki ulaon:
Ulos Saat
Kelahiran (Mamoholi/Hasosorang Anak Buhabaju)
Tubu ma si
Ucok manang Sorang si Butet , ima anak buhabaju (anak pertama) di keluarga na
imbaru i. Sude do marlas ni roha, sian pihak paranak songon i nang sian
parboru. Mamoholi berasal dari kata pohol, tradisi di Toba, daerah berbukit
yang sangat dingin. Untuk melindungi si orok dari terpaan dinginnya cuaca,
ibunya yang baru melahirkan biasanya tidur atau berbaring di dekat api, di
dapur maupun perapian khusus, temporeer yang dibuatkan unutk itu. Saat di kecil
kedinginan, si ibu mendekat tangannya ke api, lalu hangatnya ditularkan ke
wajah atau badan di anak dengan menempelkan telapak tangan.
Praktek
ini berulang-ulang, saban pagi dan malam.
ULOS
PANGHOPOL
Molo laho
borhat angka doli-doli dohot anakboru mangalului parsingkolaan natimbo manang
mangalului ampapaga nalomak, laho ma ibana manopot huta ni tulangna songon
napabotohon. Diulosi tulangna ma ibana tanda las ni roha ni tulangna. Ima
naginoaranna ulos panghopol.
Molo adong
dakdanak na sai marsahit-sahit diboan natorasna ma dakdanak i tu huta ni
ompungna manang tulangna. Diulosi ompungna manang tulangna ma dakdanak i,
digoari do ulos i ulos panghopol.
ULOS
SAMPETUA (Kesempatan kedua Seseorang Menerima Ulos yaitu saat menikah)
Ima ulos
di tingki ulaon parunjuhon dipasahat natoras pangintubu tu boruna dohot tu
helana patandahon naung hot helana i (sah) marsaripe. Molo pinadomu tu namasa
saonari on didok ma i tarsongon ?akte perkawinan? mangihuthon adat Batak. Ido
umbahen didok natua-tua, napinadomu ni ulos ndang jadi sirangon ni ulos.
Dalam
waktu upacara perkawinan, pihak hula-hula harus dapat menyediakan ulos “si tot
ni pansa” yaitu;
Ulos
marjabu (untuk pengantin),
Ulos
pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki,
Ulos
pamarai diberikan pada saudara yang lebih tua dari pengantin laki-laki atau
saudara kandung ayah,
Ulos
simolohon diberikan kepada iboto (adek/kakak) pengantin laki-laki.
Bila belum
ada yang menikah maka ulos ini dapat diberikan kepada iboto dari ayahnya. Ulos
yang disebut sesuai dengan ketentuan diatas adalah ulos yang harus disediakan
oleh pihak hula-hula (orang tua pengantin perempuan).
Adapun
ulos tutup ni ampang diterima oleh boru diampuan (sihunti ampang) hanya bila
perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual).
Bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon jual)
ulos tutup ni ampang tidak diberikan.
Sering
kita melihat begitu banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh keluarga
dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut “ragi-ragi ni sinamot”. Biasanya yang
mendapat ragi ni sinamot (menerima sebahagian dari sinamot) memberi ulos
sebagai imbalannya. Dalam umpama (pantun) dalam suku Batak disebut “malo
manapol ingkon mananggal”. Pantun ini mengandung pengertian, orang Batak tidak
mau terutang adat. Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan
semula untuk mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima “goli-goli”
dari ragi-ragi ni sinamot. Timbul kedudukan yang tidak sepatutnya
(margoli-goli) sehingga undangan umum (ale-ale) dengan dalih istilah “ulos
holong” memberikan pula ulos kepada pengantin.
Tata cara
pemberian.
Sebuah
ulos (biasanya ragi hotang) disediakan untuk pengantin oleh hula-hula. Orang
tua pengantin perempuan langsung memberikan (manguloshon) kepada kedua
pengantin yang disebut “ulos marjabu”. Apabila orang tua pihak perempuan
diwakilkan kepada keluarga dekat, maka dia berhak memberikan ulos kepada
pengantin, akan tetapi bila orang tua laki-laki yang diwakilkan, maka ulos
pansamot harus diterima secara terlipat. Sedangkan ulos pargomgom (untuk
pangamai) dapat diterima menurut tata cara yang biasa, dan pada peristiwa ini
harus disediakan ulos sebanyak dua helai (ulos pasamot dan ulos pargomgom).
Dalam penyampaian
ulos biasanya diiringi dengan berbagai pantun (umpasa) dan berbagai kata-kata
yang mengandung berkah (pasu-pasu). Setelah diulosi dilanjutkan penyampaian
beras pasu-pasu (boras sipir ni tondi) ditaburkan termasuk kepada umum dengan
mengucapkan “h o r a s” tiga kali.
Sesudah
itu berjalanlah pemberian ulos si tot ni pansa kepada pamarai dan simolohon.
Biasanya pemberian ini disampaikan oleh suhut paidua (keluarga/turunan saudara
nenek).
Setelah
ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari tulang
(paman) pengantin laki-laki.
Urutan
pemberian ulos yang umum berlaku di pesta unjuk di Jakarta sekitarnya adalah
sbb:
Mula-mula
yang memberikan ulos adalah orang tua pengantin perempuan,
Disusul
pihak dongan sabutuha dari orang tua perempuan yang disebut paidua (pamarai),
Disusul
oleh oleh pariban yaitu boru dari orang tua pengantin perempuan
Disusul
oleh pihak tulang pengantin perempuan termasuk horong ni tulang dohot
hula-hula.
Dan yang
terakhir adalah tulang pengantin laki-laki termasuk horong ni tulang dohot
hula-hula.
ULOS
SAMPUBORNA
Ulos sian
amangtua ni namuli patandahon tanggung jawabna, na dos do tu pangintubu. Aut
sura so mangolu be natoras pangintubu ni anak dohot boru, ingkon do
pangolihonon manang pamulion ni amangtua manang amangudana do i.
ULOS
SABINMALIGAS
Sabin dos
do i dohot abit. Molo didok marsabin manghatai, dos do i marabit manghatai,
unang adong hata na tarsubang. Ulos sabinmaligas ima ulos sian namboru ni
namuli manang sian paribanna, patandahon ndang dos tohonan ni ulos sian
hulahula, dohot sian namboru, dohot pariban.
ULOS
HEMBANGTUA
Ima ulos
sian tulang ni namuli, patandahon roha napantis do tulang i mangalehon pasupasu
tu berena asa siripe gabe, siripe horas namanjalosa. I do umbahen sai umpudi
tulang pasahathon ulosna, asa tulang i do pahembanghon pasupasuan (penutup).
ULOS
NASORABURUK
Ulos
nasoraburuk do digoari pauseang. Ai angka ulos nahinataan na diginjang on, ulos
natinonun do i. Alai ianggo ulos nasoraburuk hauma do i manang tano tur.
Adong do
hata Batak mandok, ?seang do pauseang molo so adong marhaseanghon?. Lapatanna,
boru namanjalo pauseang i sai marurat natogu asa adong muse paihut-ihut
pauseang, na jinalo ni natorasna.
Paebathon
Anak Buhabaju
Paebathon
anak buhabaju lapatanna mamboan anak buhabaju i tu huta (jabu) ni ompungna dung
marumur hira-hira 2-3 bulan. Nian ndang apala sude be mangulahon si songon on
di bagasan adat-paradaton. Di ari naung ditontuhon diudurhon paranak ma anakna
dohot parumaenna mamboan pahompuna i tu jabu ni hula-hulana. Udur nasida rap
dohot haha-anggina, boru, bere nasolhot.
Diboan
nasida ma sipanganon na marsaudara dohot angka sipanganon na asing na mambahen
las roha ni hula-hulana. Parboru pe diparade do dekke dohot ulos nalaho
sipasahatonna tu pamoruonna i, songon i molo adong angka ulos sian horong ni parboru.
Molo
najolo di napaebathon anak buhabaju tu ompungna, laos dipangido hela i do tu
simatuana songon indahan arian ni pahompu i, manang didok andor ansimun, boi do
i horbo, hoda, manang hauma. Alai di tingki on ndang pola masa be si songon i.
Alana, biasana, didok (biaya) indahan arian manang andor ansimun i nunga
dipakke laho pasingkolahon boru na i (inang ni dakdanak i). Jadi hira so adong
be di tingki on na mangido si songon i.
ULOS
PANGOSE
Ia
namargoar ulos pangose mangihuthon hatorangan ni angka natua-tua, songon on ma
pardalanna: Olo do na mardongan saripe marrongkap badan, ndang marrongkap
tondi. Lapatanna, ndang tubuan anak nasida ndang tubuan boru (ndang adong
rindangna).
Di sada
tingki gabe marsirang ma nasida sian dos ni roha nasida be. Di jolo ni raja,
sipaulahon ni paranak ma ulos sampetua najinalona hian di tingki pesta unjuk tu
parboru. Ima naginoaranna ulos pangose. Ai nunga mose padan ala so marrongkap
tondi. Dung mulak ulos pangose, i pe asa boi muli boru napinasirangna i.
Najolo ninna
natua-tua, molo marhamulian sada boru naung marsirang, molo ndang mulak ulos
sampetua, dietong nasida do anak natinubuhonna i gabe rindang ni humuliaonna na
parjolo. I do umbahen jolo disungkun halak borua i, naung sirang manang naung
dipagoi, ai padalan pago-pago do paranak dohot parboru tu raja molo masa angka
sisongon i.
Kesempatan
Ketiga dan Terakhir Seseorang Menerima Ulos yakni pada waktu meninggal dunia
Ulos yang
ketiga dan yang terakhir yang diberikan kepada seseorang ialah ulos yang
diterima pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat (status menurut umur dan
turunan) seseorang menentukan jenis ulos yang dapat diterimanya.
Jika
seseorang mati muda (mate hadirianna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos
yang disebut “parolang-olangan” biasanya dari jenis parompa.
Bila
seseorang meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, matompas tataring) maka
kepadanya diberi ulos “saput” dan yang ditinggal (duda, janda) diberikan ulos
“tujung”.
Bila yang
mati orang tua yang sudah lengkap ditinjau dari segi keturunan dan keadaan
(sari/saur matua) maka kepadanya diberikan ulos “Panggabei”.
Ulos
“jugia” hanya dapat diberikan kepada orang tua yang keturunannya belum ada yang
meninggal (martilaha martua) atau di sebut Maulibulung.
Khusus
tentang ulos saput dan tujung perlu ditegaskan tentang pemberiannya. Menurut
para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak “tulang”, sebagai bukti bahwa
tulang masih tetap ada hubungannya dengan kemenakan (berenya). Sedang ulos
tujung diberikan hula-hula, dan hal ini penting untuk jangan lagi terulang
pemberian yang salah.
Tata cara
pemberiannya.
Bila yang
meninggal seorang anak (belum berkeluarga) maka tidak ada acara pemberian
saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga, setelah
hula-hula mendengar kabar tentang ini, disediakanlah sebuah ulos untuk tujung
dan pihak tulang menyediakan ulos saput. Pemberiannya di iringi kata-kata turut
berduka cita (marhabot ni roha).
Memberi
ulos panggabei.
Bila
seseorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh
hula-hula akan memberi ulos yang disebut ulos Panggabei. Biasanya ulos ini
tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi kepada seluruh turunannya
(anak, pahompu, dan cicit).
Biasanya
ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula-hula mulai dari hula-hula, bona
tulang, bona ni ari, dan seluruh hula-hula anaknya dan hula-hula cucu/cicitnya.
Acara
kematian untuk orang tua seperti ini biasanya memakan waktu sangat lama,
adakalanya mencapai 3-5 hari acaranya. Biaya acaranya cukup besar, karena
inilah acara puncak kehidupan orang yang terakhir.
Proses
Pembuatan Ulos di Toba
Pembuatan
benang.
Proses
pemintalan kapas sudah dikenal masyarakat batak dulu yang disebut “mamipis”
dengan alat yang dinamai “sorha”. Sebelumnya hapas “dibebe” untuk mengembangkan
dalam mempermudah pemintal membentuk keseragaman ukuran. Seorang memintal dan
seorang memutar sorha. Sorha ini disederhanakan dengan mengadopsi teknologi
yang dibawa oleh Jepang semasa penjajahan. Sorha yang lebih modern dapat
melakukan pemintalan dengan tenaga satu orang.
Pewarnaan.
Ulos itu
terbuat dari benang, benang dipintal dari kapas. Benang awalnya berwarna putih,
dan untuk mendapatkan warna merah disebut “manubar”, untuk mendapatkan warna
hitam disebut “mansop”. Bahan pewarna ulos terbuat dari bahan daundaunan
berbagai jenis yang dipermentasi agar menghasilkan warna yang dikehendaki disebut
“Itom”. Era tahun 60 an masih ada ditemukan di pasaran toba. Orang yang
melakukan pewarnaan benang ini disebut “parsigira”
Gatip.
Rangkaian
grafis menggunakan motif khusus yang ditemukan dalam ulos diciptakan pada saat
benang diuntai dengan ukuran standard. Untaian ini disebut “humpalan”. Satuan
jumlah penggunaan benang untuk bahan tenun disebut “sanghumpal, dua humpal”
dst. Gatip dibuat sebelum pewarnaan dilakukan. Benang yang dikehendaki tetap
berwarna putih, diikat dengan bahan pengikat terdiri dari serat atau daun
serai.
Unggas.
Unggas
adalah proses pencerahan benang. Pada umumnya benang yang selesai ditubar atau
disop, warnanya agak kusam. Benang ini diunggas untuk lebih memberikan kesan
lebih cemerlang. Orang yang melakukan pekerjaan ini disebut “pangunggas” dengan
peralatan “pangunggasan”. Benang dilumuri dengan nasi yang dilumerkan kemudian
digosok dengan kuas bulat dari ijuk. Nasi yang dilumerkan itu biasanya disebut
“indahan ni bonang”.
Benang
yang sudah diunggas sifatnya agak kenyal dan semakin terurai setelah dijemur
dibawah sinar matahari terik.
Ani
Benang
yang sudah selesai diunggas selanjutnya memasuki proses penguntaian yang
disebut “mangani”. Namun untuk mempermudah mangani, benang sebelumnya “dihuhul”
digulung dalam bentuk bola. Alat yang dibutuhkan adalah “anian” yang terdiri
dari sepotong balok kayu yang diatasnya ditancapkan tongkat pendek sesuai
ukuran ulos yang dikehendaki. Dalam proses ini, kepiawaian pangani sangat
menentukan keindahan ulos sesuai ukuran dan perhitungan jumlah untaian benang
menurut komposisi warna.
Tonun
Tonun
(tenun) adalah proses pembentukan benang yang sudah “diani” menjadi sehelai
ulos. Mereka ini yang lajim disebut “partonun”.
Sirat
Proses
terakhir menjadikan ulos yang utuh adalah “manirat”. Orang yang melakukan
pekerjaan ini disebut “panirat”. Sirat adalah hiasan pengikat rambu ulos.
Biasanya dibentuk dengan motif gorga.
Sumber:
Pinadomuni
(dirangkum oleh) : Sampe Sitorus, SE(A. Hitado Managam Sitorus)
HORAS
BUDAYA BATAK
https://www.facebook.com/1679988325579203/photos/a.1681022525475783.1073741828.1679988325579203/1734961166748585/?type=3&theater
Tidak ada komentar:
Posting Komentar